GELORA.CO - Menkopohukam Wiranto perlu mengklarifikasi apakah maksud pernyataannya yang ingin menutup media yang dianggap melawan hukum hanya ditujukan kepada media non-pers, ataukah termasuk juga media pers.
Pernyataan itu disampaikan Wiranto di kantornya di Jalan Medan Merdeka Barat, Senin siang kemarin (6/5).
Wiranto diingatkan bahwa media non-pers (termasuk media sosial) dan media pers memiliki banyak sekali perbedaan pengaturan dan dampak hukumnya.
Demikian disampaikan pakar hukum pers Wina Armada Sukardi, dalam keterangannya Selasa pagi (7/5).
“Saya mengingatkan, terhadap pers nasional tidak dikenakan pembredelan dan penyensoran, oleh siapapun. Pembredelan dan penyensoran bukan hanya melanggar UU Pers 40/1999 tetapi juga mengancam kehidupan demokrasi bangsa Indonesia dan karena itu sekaligus melanggar UUD 1945,” ujar Wina Armada.
Dia menambahkan, salah satu peranan pers adalah melakukan koreksi terhadap kepentingan umum. Artinya, tugas pers antara lain memang melakukan kritik.
Di sisi lain, mantan anggota Dewan Pers ini menambahkan, masyarakat masih banyak yang belum sadar bahwa menggunakan sarana teknologi informasi seperti media sosial berarti menyebarluaskan informasi ke jutaan orang.
“Sehingga jika kita membuat berita bohong, hoax, fitnah dan mencemarkan nama baik orang lain, kita harus mempertanggungjawabkannya secara hukum, termasuk dapat dikenakan UU ITE,” sambung Wina Armada.
“Kita perlu menyadari setiap penyebaran informasi melalui media sosial yang tidak benar, bakal memiliki dampak hukum,” demikian Wina Armada. [rmol]