Oleh Dr. Syahganda Nainggolan, MT
HENDROPRIYONO mantan kepala Badan Intelijen Negara membuat pernyataan dalam tweeter nya,
"Yg perlu diselesaikan segera dlm hasil pemilu ini adalah pertentangan antar bgs Indonesia sendiri, karena terus menerus dihasut dan diadu domba oleh Arab-Arab WNI yg mnjadi provokator."
Dalam twetter tersebut ditampilkan poster wajah kakek tua Jawa dengan kalimat “Jancuk, sampean itu sopo, koq ribut-ribut neng negoroku” yang ditujukan pada ketua GNFP Uluma Yusuf Martak dan HRS.
Buat seorang intelijen yang terkoneksi dengan kasus pembunuhan tokoh HAM Munir, Theys Eluay, dan pembantaian ribuan orang di Lampung agak ganjil melihat postingan seperti ini. Pertama, Hendro membelah isu kebangsaan berdasarkan urusan Pribumi dan Non Pribumi. Kedua, para ulama yang ada di kubu Prabowo Subianto adalah Arab-Arab provokator. Ketiga, Hendropriyoni (HP) mengakui adanya pertentangan antar kelompok Bangsa Indonesia, yang bisa diselesaikan jika orang-orang Arab tidak terlibat.
Pembelahan isu kebangsaan Pribumi vs Non Pribumi terasa ganjil keluar dari mulut Hendro. Sebab, amandemen pasal 6 UUD45 yang asli di mana disebutkan hanya Pribumi yang berhak jadi Presiden RI, menjadi semua warga negara, baik Pribumi maupun Non Pri, dimotori oleh Prof. J Sahetaphy, PDIP, yang pidatonya viral.
Dalam pidato Sahetaphy itu disebutkan sudah saatnya orang-orang non Pribumi mempunyai kesempatan yang sama untuk memimpin Indonesia. PDIP tempat bernaung Sahetaphy sama dengan tempat Hendropriyono menapak karir puncaknya.
Keanehan ini mungkin saja terkait dengan kehadiran HP dalam acara di Yogyakarta bersama jenderal-jenderal purnawirawan dan Sri Sultan HB X baru-baru ini membahas langkah untuk kembali kepada UUD45 Asli. Dimana hadir juga antara lain Prijanto, Taufiqurrahman Ruky, dan Hariman Siregar.
Jika postingan ini merupakan keyakinan politik Hendro bahwa bangsa kita harus kembali ke UUD45 Asli, khususnya pasal 6 tadi, maka pekerjaan besar kita terbuka kembali, siapakah (calon) presiden yang benar-benar asli? Bagaimana jika presiden tersebut hanya bapaknya yang pribumi? Atau sebaliknya?
Hak-hak politik Pribumi dalam pasal 6 UUD45 yang asli tentang Presiden harus Pribumi pernah saya tanyakan kepada Amien Rais. Namun, Amien mengatakan bahwa ukuran pribumi itu sulit ditentukan.
Dalam pembelahan bangsa kita di masa penjajahan memang Belanda membagi 3 kelompok sosial, yakni Eropa, Timur Asing (Cina, Arab, Pakistan, India, dlsb) dan Pribumi. Orang-orang pribumi dalam strukrur sosial adalah kaum koeli, sedangkan Timur Asing statusnya di atas pribumi.
Perbedaan orang-orang Arab, meskipun status sosialnya lebih tinggi, karena kesamaan agama yakni Islam, telah membaur bersama Bangsa Indonesia. Bahkan, umumnya mereka menjadi pemuka agama karena secara alamiah mereka lebih dalam mempelajari agama.
Tidak heran kemudian ketika dalam sejarah kelompok timur asing seperti Souw Beng Kong dan Po An Tui bersekutu dengan Belanda mempertahankan kolonialisme, Baswedan dkk memilih berjuang bersama Pribumi mengusir penjajahan.
Peranan kepahlawanan orang-orang Arab pada kenyataannya menghilangkan prasangka sosial antara orang2 Pribumi vs Arab. Dan ini terjadi sampai saat ini dimana ketokohan para habaib tidak mengalami delegitimasi maupun degradasi. Ormas-ornas besar seperti NU dan Muhammadiyah tidak menegasi Said Aqil Sirod dan Amin Rais menjadi ketua umumnya, bahkan dua periode.
Apakah kemudian orang2 Arab tidak berhak untuk menjadi Presiden? Jika kita mengacu pada UUD45 tidak Asli, yang berlaku saat ini, maka hal itu tidak menjadi isu lagi.
Namun, secara sosial, ketika Hendropriyono membelah WNI Asli vs. WNI Arab, tentu kita perlu merenungkan konsekwensinya ke depan.
Pertanyaan berikutnya benarkah ulama2 WNI Arab itu penghasut?
Ulama 212 saat ini terdiri dari orang2 keturunan Arab maupun tidak. Ustad Bachtiar Nasir, Ust. Abdul Somad, AA Gym, KH Abdullah Rosyid Safei, Ust. Arifin Ilham, Eggy Sujana, dll adalah pribumi. Dalam perjalanan sejarah kepemimpinan, orang2 Islam tidak membedakan pribumi vs. Arab, melainkan ketulusan leadership mereka yang jadi ukuran. Dalam sejarah Katolik juga, misalnya, pimpinan Katolik dunia, Paus, tidak ditentukan berdasarkan kebangsaan mereka. Begitu juga ideologi2 lain, seperti Komunis.
Dengan demikian membelah kelompok ummat Islam, khususnya dalam naungan 212, antara WNI Arab vs Pribumi tidak mungkin memecah persatuan mereka. Keputusan Ijtima Ulama mengangkat Prabowo sebagai capres dan Ijtima Ulama ke -3 memeprsoalkan pemilu curang, adalah suatu bonding yang terikat kuat. Konsekwensinya, Hendropriyono mempunyai kesalahan berpikir bahwa persoalan saat ini adalah persoalan WNI Arab.
Apakah mereka provokator?
Ijtima Ulama adalah pernyataan kebersamaan. Seorang provokator biasanya bekerja tunggal atau kelompok kecil. Sebaliknya, ulama Arab yang dicela Hendro ini bekerja secara keorganisasian, dengan tanggung jawab keummatan yang besar.
Selain itu, pikiran dan tindakan ulama ini adalah untuk mendorong agar Bangsa Indonesia menemukan pemimpin sejati, yakni pemimpin yang dipilih berdasakan fairness dan trust. Hanya dengan cara itu suara rakyat menemukan keabsahannya.
Jadi, menuduh HRS dan GNPF ulama sebagai WNI Arab provokator adalah misleading, dan berbahaya bagi kerukunan Bangsa serta keselamatan demokrasi.
Penutup
Segregasi bangsa kita sudah nyata. Sebuah Divided Society. So what?
Pilihan pertama adalah mengakui ini sebagai kesalahan elite-elite bangsa semua, tidak memblame WNI Arab dll. Jika pengakuan kesalahan dilakukan, maka tindaklanjutnya adalah mencari akar persoalan, ada di mana? Apa 3 hal kunci? Misalnya, apakah ini berakar pada kerakusan elite-elite lmemeperkaya diri? Ataukah karena ketimpangan sosial dan oligarki ekonomi yang terlalu sombong? Ataukah dendam sejarah orde lama vs orde baru?
Pilihan kedua, kita memikirkan adanya dua Presiden di Indonesia, seperti di Venezuela. Di provinsi mana kemenangan Prabowo, dia sebagai Presiden, sebaliknya di mana Jokowi menang, dia Presiden. NKRI sebagai payung tetap eksis, menaungi dua wilayah atau gabungan wilayah administrasi.
Pilihan pertama mengandung konsekwensi adanya sanksi politik terhadap elite-elite nasional yang terlibat dalam membelah bangsa kita. Sedangkan pilihan kedua, mengandung konsekwensi bahwa kesatuan kita tidak seperti yang dulu, tapi persatuan baru.
Dengan pikiran seperti di atas, kita tidak boleh menyalahkan ulama-ulama dengan menyebut WNI Arab. Mereka bukan kelompok penikmat dari perampokan-perampokan kekayaan alam kita. Mereka adalah kelompok penjaga keutuhan bangsa, setidaknya bangsa Indonesia. (*)