MEGA proyek milik China, One Belt One Road (OBOR) kian santer dibicarakan. Terlebih pasca penandatanganan kerjasama peningkatan ekonomi kawasan antara Indonesia dan China pada akhir April 2019 lal.
Mega proyek yang kemudian berganti nama menjadi Belt Road Initiative (BRI) pada 2016 ini nyata-nyata patut diwaspadai. Meski memang negara-negara berkembang sulit untuk tidak tergiur dengan tawaran China.
Melalui BRI ini, Negeri Tirai Bambu rela mengeluarkan 150 miliar dolar AS atau Rp 2 ribu triliun setiap tahun. Pengeluaran fantastis ini demi realisasi obsesi Presiden Xi Jinping membangkitkan kejayaan Jalur Sutra China yang telah dimulai pada 2013. Jalur Sutra ini mengacu pada jalur perdagangan masa lampau melalui Asia yang menghubungkan Timur dan Barat.
Pelaksanaan BRI fokus untuk membantu pendanaan proyek-proyek infrastruktur di berbagai negara. Mulai pembangunan jalan nasional, jaringan rel kereta api, pelabuhan hingga industri energi.
Tercatat, 68 negara yang menjalin kerja sama dengan China lewat BRI. Kondisi mereka, bukannya untung tapi malah buntung.
Pada lima tahun pertama BRI berjalan (2018), ada delapan negara dengan risiko krisis finansial paling tinggi. Yakni, Pakistan, Maladewa, Montenegro, Laos, Mongolia, Djibouti, Kyrgyzstan, dan Tajikistan. Yang lebih parah dari delapan negara tersebut, ada Sri Lanka, yang sudah gagal membayar utang-utangnya kepada China akibat iming-iming proyek infrastruktur.
Sri Lanka memperoleh pinjaman dari China pada 2015. Saat itu Sri Lanka terpojok karena Presiden Mahinda Rajapaksa dituduh melanggar HAM. Kondisinya terkucil. Namun, China tetap mengucurkan dana bertubi-tubi. Jumlahnya mencapai 8 miliar dolar AS atau Rp 116 triliun.
Saat tak sanggup membayar, Sri Lanka harus melewati skema tukar aset yakni dengan menyerahkan 70 persen saham kepemilikan Pelabuhan Hambantota serta hak pengelolaan ke pemerintah China. Hak pengelolaan selama 99 tahun itu mengganti utang 1,1 miliar dolar AS atau Rp 16 triliun.
Yang terbaru adalah Malaysia. PM Mahathir Mohammad yang begitu garang tahun lalu (2018) saat pemilu, dengan menyatakan akan menghentikan seluruh kerja sama Malaysia-China warisan rezim Najib Razak, pada akhirnya harus menyerah.
Setahun menjabat, Mahathir terpaksa berbalik arah. Dengan ringan ia diharuskan mengatakan bahwa Malaysia adalah teman China. Karena pihak pemerintah China telah mengancam Malaysia untuk membayar denda senilai 21,78 miliar ringgit (Rp 74,4 triliun) jika proyek kereta cepat China di Malaysia dihentikan.
Setelah melewati negosiasi yang alot, akhirnya Mahathir mengalah dengan tawaran penurunan biaya hingga 32,8 persen.
Demikianlah, di balik mega proyek BRI itu, hanyalah nama lain bagi China dalam menjalankan kolonialisme utang (debt colonialism). Yakni, sistem untuk mengekang dan menjajah negara dengan lilitan utang. Yang dengan begitu, China bisa memiliki aset atau tanah di berbagai negara.
Tak hanya berhenti di situ, mega bisnis BRI ini mau tidak mau ternyata memiliki konsekuensi sosial-politik khususnya bagi umat Islam.
Dampak BRI begitu nyata bagi kehidupan kaum muslimin di sekitar jalur yang bersangkutan. Ini jelas berbahaya. Kita cermati satu per satu bagaimana kondisi kaum muslimin Uighur, Rohingya, termasuk Sri Lanka. Wilayah tempat tinggal Uighur maupun Rohingya, adalah bagian dari rute jalur sutra modern BRI ini.
Sementara kita juga mengetahui bahwa muslim Uighur dan Rohingya selama ini dilekatkan sebagai muslim “garis keras”, bahkan dianggap pemberontak militan. Hingga pemerintahnya melakukan pemburuan dan pembantaian secara sistematis kepada warga etnis muslim yang bersangkutan. Ini tak ubahnya genosida dan pembunuhan karakter keislaman terhadap mereka.
Di Indonesia, label Islam “garis keras” ini belakangan hari juga digencarkan melalui perang opini yang mengiringi Pilpres di Indonesia akhir April lalu.
Sementara Sri Lanka, dilanda opini Islam moderat untuk memblokade tudingan serangan ISIS pada peristiwa pengeboman gereja saat hari raya Paskah.
Di antara peredaman opini Islam “garis keras” yang terjadi di Indonesia dan Sri Lanka adalah isu pelarangan cadar. Mengingat, opini penegakan Khilafah di Indonesia memang kian bergema. Di mana semua orang sudah tahu, bahwa Khilafah adalah sistem yang akan melegalisasi syariat Islam secara kaffah.
Sedangkan di Sri Lanka, berkembang kabar tentang keberadaan sejumlah tempat yang diduga markas kelompok Islam radikal ISIS, meski sebenarnya umat Islam adalah minoritas di Sri Lanka.
Maka jelas, label “garis keras” ini memang sengaja digencarkan dalam rangka membingungkan umat. Isu-isu bertopik Islam “garis keras” ini tentu harus dipastikan potensi ancamannya terhadap kekuatan hegemoni kapitalisme, dalam hal ini kapitalisme timur milik China.
Label “garis keras” sejauh ini memang dialamatkan kepada kelompok yang teguh memegang syariat Islam secara keseluruhannya. Dan hanya umat Islam sejati yang tidak akan rela tanahnya dirampas oleh penjajah.
Karena itu, tak heran jika Indonesia-China kemudian terkesan buru-buru mengamankan jalur BRI melalui program Global Maritime Fulcrum Belt and Road Initiatives (GMF-BRI) beberapa hari pasca Pilpres. Yakni dengan menyiapkan rancangan Framework Agreement untuk bekerja sama di titik strategis Pelabuhan Kuala Tanjung, Sumatera Utara, sebagai proyek tahap pertama. Selain Sumatera Utara, ada tiga koridor lain bagi proyek BRI ini, yaitu Kalimantan Utara, Sulawesi Utara dan Bali. Semua langkah ini semata demi kelancaran BRI.
Realitanya, kini mega proyek BRI telah berjalan. Efek domino program besar ini tentunya juga besar. Yang paling jelas, adalah gurita kolonialisme utang. Pun ancaman berbagai ketimpangan sosial-sistemik.
Lihat saja, diktatorisme makin tampak di depan mata. Islamophobia sudah luar biasa merebak. Islam moderat semakin diberi panggung. Korupsi kian mengakar bahkan beranak pinak. Sistem hukum dan kriminalisasi kian buta mata dan telinga.
Liberalisasi generasi makin meningkat melalui pergaulan bebas dan hubungan sejenis. Harga BBM dan bahan pangan terfluktuasi bebas. Impor kian bablas. Beragam barang aksesori remeh-temeh semacam peniti pun kita impor dari China. Dan lain sebagainya.
Dari sini, masyarakat tentu bisa menilai, ke mana arah ekstrimitas kebijakan pemerintah. Apakah dengan begini kita masih layak tenang dan berkata bahwa negara ini “sedang baik-baik saja”? []
Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si
Koordinator Lentera
Kampung Inggris, Pare, Kediri, Jawa Timur [rmol]