Oleh: Surya Darma Hamonangan Dalimunthe*
PADA debat calon presiden beberapa waktu yang lalu, banyak orang yang heran mengapa Prabowo hampir tidak pernah menyerang Jokowi dan partai pendukungnya secara frontal walaupun Prabowo sendiri dan partai pendukungnya sering kali diserang habis-habisan oleh Jokowi.
Waktu itu, seorang teman salah seorang intelektual publik Sumatera Utara yang paling berpengaruh mengatakan, sebagai mantan Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad), Prabowo tentu punya strategi sendiri untuk nantinya menyerang Jokowi.
Kemungkinan besar di akhir-akhir waktu kampanye, kata teman tersebut. Contohnya adalah kemenangan Liverpool melawan Barcelona pada musim Liga Champions tahun ini.
Namun, sampai sekarang kita tahu, hal ini tidak terjadi. Salah satu contoh yang mencolok adalah pada sesi debat tentang korupsi. Banyak yang terheran-heran kenapa Prabowo tidak membalas serangan Jokowi tentang keberadaan calon anggota legislatif (caleg) bekas koruptor di partai Gerindra.
Misalnya, Prabowo bisa mengatakan bahwa keputusan untuk mengizinkan caleg seperti ini mengikuti pemilihan umum (pemilu) terletak di tangan pemerintah yang berkuasa, yang sedang dipimpin oleh Jokowi. Atau lebih frontal lagi, Prabowo bisa mengatakan bahwa caleg-caleg seperti itu tidak kalah banyaknya di partai pendukung Jokowi, terutama partai PDI-P.
Namun, nyatanya tidak. Jawaban Prabowo lebih banyak terfokus ke dalam, yaitu kepada partainya sendiri. Dia cukup menyatakan bahwa keberadaan para calon tersebut diizinkan oleh hukum yang berlaku, tidak melanjutkan dengan serangan balik yang diharapkan banyak pihak. Mengapa?
Salah satu jawaban yang paling mencerahkan kepada pertanyaan ini datang dari Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute.
Begitu menariknya jawaban yang ditulis dalam akun media sosialnya ini, sehingga layak dikutip utuh:
“Ketika Jokowi menyerang adanya caleg koruptor di partainya. Prabowo punya dua pilihan. Sekadar bertahan membela partainya. Atau sekaligus hantam balik PDIP dengan hal yang sama. Prabowo memilih yang pertama. Kalau opsi kedua yang diambil implikasinya merugikan Prabowo tapi tidak buat Jokowi. Dalam situasi ketika potensi terjadinya pengalihan dukungan dari konstituen dari genealogi nasionalis. Menyerang balik PDIP sebagai sarang koruptor soal mudah tapi tidak taktis. Sebab bisa menciptakan ill-fill di lapisan konstituen nasionalis yang mulai menimbang Prabowo sebagai alternatif. Dan mereka bukan di PDIP saja.”
Lalu, “Dalam pikiran dan feeling seorang mantan komandan tempur pasti Prabowo merasa PDIP seakan benteng yang sengaja dibuka untuk diserang dengan mudah. Naluri perwira tempur selalu mengatakan benteng yg terbuka buat diserang dengan mudah pasti dipasang ranjau. Dan Prabowo secara taktis menghindari ranjau untuk mengamankan yang strategis. Menurut ini bukan tega atau nggak tega. Tapi kearifan.”
Kearifan tentang korupsi ini sebenarnya perlu lebih dipahami lebih mendalam lagi. Misalnya, kalau sekarang ditanya negara manakah yang paling korup di dunia, Indonesia pasti menjadi kandidat jawaban banyak orang.
Namun, kalau hal serupa ditanyakan kepada mereka yang benar-benar mengerti, jawabannya pasti mengejutkan. Antara negara yang paling korup itu adalah negara-negara mantan penjajah seperti Inggris.
Simak saja tulisan George Monbiot dalam kolomnya di media The Guardian yang berjudul “Let’s not fool ourselves. We may not bribe, but corruption is rife in Britain.”
Monbiot mempertanyakan kenapa Inggris mendapatkan ranking 14 dari 177 negara dalam indeks korupsi Transparency International, sedangkan sehari-harinya media Inggris mengabarkan tentang berbagai korupsi yang terjadi di sana.
Jawaban Monbiot adalah: “Indeks tersebut yang salah. Definisi tentang korupsi sangat sempit dan tebang pilih. Praktek-praktek umum di negara-negara kaya yang seharusnya dimasukkan sebagai korupsi tidak diikutkan; sedangkan praktek-praktek umum di negara-negara miskin ditonjolkan.”
Salah satu praktek korup yang paling mencolok di negara-negara kaya seperti Inggris, Swiss, Singapura, Luxembourg, dan Jerman, adalah pengemplangan pajak dan pencucian uang di seluruh dunia yang difasilitasi lembaga-lembaga keuangan di negara-negara ini. Ironisnya, negara-negara yang disebut ini adalah negara-negara yang dianggap paling tidak korup menurut indeks Transparency International.
Sebagai seorang presiden dalam era Reformasi, Megawati tentu bisa merasakan kearifan Prabowo dalam berbagai tindakan dan ucapannya selama pemilu 2019 ini.
Sebaliknya, Megawati pasti bisa merasakan ketidakarifan Jokowi dalam menghadapi berbagai perkembangan yang terjadi dalam satu bulan terakhir ini. Sangat banyak rekor buruk yang diciptakan oleh rezim pemerintahan Jokowi sebelum, pada, dan setelah hari pencoblosan pada 17 April 2019.
Antara lain, kegagalan untuk mengusut secara tuntas secepat-cepatnya tentang penyebab kematian ratusan para anggota KPPS yang menimbulkan spekulasi hebat di tengah masyarakat.
Lalu, ditangkapnya para pendukung Prabowo dengan alasan makar dan alasan-alasan lain yang sepertinya dicari-cari. Tindakan penangkapan semasif ini belum pernah terjadi sejak reformasi Indonesia bergulir.
Dari Habibie, Gus Dur, Megawati sendiri, hingga SBY, belum pernah petahana terlihat sedemikian takutnya sehingga lembaga negara yang seharusnya menjadi pelayan, pelindung dan pengayom seluruh masyarakat, bersikap sebaliknya terhadap sebagian masyarakat yang kebetulan berseberangan dengan rezim pemerintahan yang sedang berkuasa.
Dalam kondisi yang tampaknya menjadi semakin panas akhir bulan Mei ini, diperlukan kedinginan kepala seorang negarawan berpengalaman seperti Megawati untuk menasihati Jokowi agar menyadari bahwa tindakan represif hanya akan mengobarkan semangat perjuangan rakyat yang berseberangan dengannya.
Hal ini telah dialami Megawati dan PDI-P sendiri beberapa tahun sebelum reformasi. Waktu itu, atas nasihat berbagai pihak, pemimpin yang berkuasa, Soeharto, akhirnya mengundurkan diri demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, dan menghindari pertumpahan darah sesama rakyat (buku ‘Berhentinya Soeharto, Fakta dan Kesaksian Harmoko’; artikel ‘Cerita di Balik Mundurnya Soeharto’, Kompas, 21/05/2016).
Hal yang sama sebenarnya dilakukan ayah Megawati, Soekarno, ketika Soeharto mengambil alih kekuasaan dengan memanfaatkan Surat Perintah 11 Maret 1966. Teguh Santosa, pimpinan redaksi RMOL, dalam tulisan di situsnya berjudul Mengapa Bung Karno Tak Mau Memukul Soeharto mengatakan bahwa, “Sejumlah petinggi militer yang masih setia pada Sukarno ketika itu pun merasa geram. Mereka meminta agar Sukarno bertindak tegas, memukul Soeharto dan pasukannya. Tetapi Sukarno menolak.”
Lalu, “Sukarno tak mau terjadi huru-hara, apalagi sampai melibatkan tentara. Perang saudara, menurut Sukarno, adalah hal yang ditunggu-tunggu pihak asing " kaum kolonial yang mengincar Indonesia " sejak lama. Begitu perang saudara meletus, pihak asing, terutama Amerika Serikat dan Inggris akan mengirimkan pasukan mereka ke Indonesia dengan alasan menyelamatkan fasilitas negara mereka, mulai dari para diplomat kedutaan besar sampai perusahaan-perusahaan asing milik mereka.”
Megawati dapat memberikan nasihat agar Jokowi meneladani kearifan Bapak Proklamasi dan Bapak Pembangunan Indonesia dalam hal persatuan dan kesatuan bangsa, serta keamanan dan kedamaian rakyat.
Berhenti segera dan sementara dari jabatan Presiden agar rakyat yang tidak puas dengan penyelenggaraan Pemilu 2019, yang harus diakui adalah salah satu yang terburuk di dunia berdasarkan jumlah kematian di tengah situasi damai, mendapatkan rasa keadilan. Sementara itu, seluruh aspek dan unsur pemilu harus diaudit secara terbuka oleh tokoh-tokoh dari luar negeri yang integritasnya tidak bisa diragukan.
Sebagai mantan presiden dan ketua partai yang menugaskan Jokowi, nasihat Megawati ini pasti didengar dan dipertimbangkan serius. Semoga saja kemudian dilaksanakan oleh Jokowi sehingga Indonesia yang kita kenal, seperti bait sajak Chairil Anwar, dapat “hidup seribu tahun lagi”. Insya Allah!
*) Penggagas Intelektual Independen Indonesia.Artikel ini dimuat pertama kali di Harian Waspada, Medan, Rabu, 22 Mei 2019.