OLEH: DR. SYAHGANDA NAINGGOLAN
PIMPINAN kerajaan Facebook, Mark Zuckerberg melakukan perjalanan ke Paris bertemu dengan Macron, Presiden Republik Prancis, 4 hari lalu, untuk membicarakan peranan FB dalam menyelamatkan demokrasi di Prancis.
Menurut rezim Macron, ujaran kebencian di FB telah merajalela. Demonstrasi anti Macron sudah berlangsung berbulan-bulan. Mereka menggunakan media sosial, seperti FB sebagai sarana komunikasi. Dalam tulisannya, "French 24", "France's 'Yellow Vest': How Facebook fuels the fight", menguraikan bagaimana gerakan demontrasi militan di hampir seluruh Prancis saat ini terbantu dengan Facebook.
Belum jelas apa hasil pertemuan kedua pimpinan negara ini, negara dunia nyata dan dunia maya. Namun, ini adalah pertemuan kedua, setelah sebelumnya Macron mengundang Mark Zuckerberg dan 9 penguasa technology IT dunia, Mei 2018. Pihak Prancis menginginkan akses lebih dalam pada sistem algorithma FB dan pembagian pajak yang seimbang, namun pihak FB mengatakan hanya membicarakan soal "hate speech" di Prancis.
Chris Hughes, Co-founder Facebook sehari sebelum pertemuan kedua pimpinan itu sudah membuat tulisan dengan judul "time to break up Facebook" di Washington Post, dan dikutip seluruh media besar dunia, serta live di CNN. Menurutnya, intinya "Kerajaan Facebook" harus dipecah, saat ini sudah terlalu besar, tidak bisa dikontrol, anti-demokrasi dan anti-Amerika (Un-America). Namun, Mark Zuckerberg tidak peduli, FB akan jalan terus untuk kebebasan "private" manusia, kata Mark.
Di Indonesia juga pergolakan revolusioner sedang berlangsung seperti Prancis. Kebijakan FB tentang kebebasan, sesuai dengan spirit Mark Zuckerberg, sejalan dengan gerakan rakyat. FB memang kelihatannya menempatkan FPI dan HRS dalam "alert" yang disaring algorithma FB untuk di-block. Namun, secara umum, FB tidak membatasi suara-suara gerakan rakyat.
Di FB, suara rakyat saat ini begitu gencar menyebarkan kecurangan rezim Jokowi dan KPU dalam penyelenggaraan pemilu. Hal-hal yang disebut curang antara lain, terkait penggelembungan suara, pengerahan aparatur negara untuk memenangkan #01, kecurangan situng, money politics, "pork barrel politics", perlakuan tidak adil dalam keleluasaan kampanye #02, pencoblosan kertas suara, dll masuk ke dalam daftar yang disebarkan di FB. Termasuk keganjilan banyaknya petugas pemilu yang tewas misterius.
Melawan "Kerajaan Facebook" bagi pemerintah Indonesia bukanlah soal mudah. Sri Mulyani coba membuat jurus menagih pajak FB beberapa waktu lalu. Di Inggris saja mereka gagal menagih pajak ke FB atas iklan perusahaan-perusahaan Inggris, karena FB merasa dia tidak melibatkan Inggris dalam wilayah iklan itu, melainkan Irlandia. Di Amerika, malah FB tidak peduli dengan Trump yang marah karena Alex Jones, tokoh Republican, di-ban (block) FB. Apalagi Indonesia?
FB yang mengontrol medsos kita, termasuk WA dan Instagram, kelihatannya menjadi momok berat buat pemerintahan melawan kebebasan sipil di era ini. ( Beberapa waktu lalu pemerintahan, misalnya, meminta WA membatasi forward, dari 20 forward menjadi 5. Namun, pembatasan ini tidak berarti, sebab forward berkali-kali (dikali 5) tetap bisa). Sementara spirit demokrasi yang sudah berlangsung 20-an tahun sulit untuk ditarik mundur ke belakang.
Namun, spirit pemerintahan untuk mendegradasi demokrasi terus berkembang. Wiranto sudah membuat tim "memata-matai" tokoh2 oposisi, mirip seperti masa orde baru yang otoriter. Termasuk memata-matai media (medsos) yang tidak sejalan dengan rezim berkuasa.
Tokoh-tokoh oposisi, seperti Kivlan Zen, Eggi Sujana, Ustaz Bachtiar Nasir, Lieus Sungkharisma dan Ustaz Haikal Hasan, sudah mulai dipanggil polisi dengan pasal perbuatan Makar atau lainnya. Malah anggota Tim Hukum Wiranto itu, Prof Romli Atmasasmita, membocorkan bahwa sudah ada 13 tokoh yang dimata-matai mereka.
Perbuatan rezim Jokowi ini sudah banyak ditentang, baik dari kalangan DPR, maupun pendukung utama Jokowi sendiri, seperti Gunawan Muhammad, pemilik Tempo. Namun, kelihatannya semangat pembungkaman ekspresi dan demokrasi akan terus berlangsung. Menurut Rizal Ramli, misalnya, kita kembali mundur ke masa 20 tahun silam, di mana demokrasi didambakan kehadirannya. Persis ketika demokrasi berlangsung, tahanan politik seperti Budiman Sudjatmiko, Dita Indah Sari, Sri Bintang Pamungkas, Timsar Zubil (hukuman mati), Xanana Gusmao dan ribuan tahanan politik Soeharto dibebaskan. Kebebasan berpendapat dan berorganisasi/berserikat dimajukan.
Seberapa mampu langkah-langkah Wiranto membungkam demokrasi atau menjinakkannya dalam dunia Facebook dan medsos saat ini? Tentu kelihatannya susah. Sebab, dalam dunia baru di mana FB dan medsos lainnya menjadikan seluruh manusia alias tiap-tiap orang menjadi manusia bebas yang anti pengekangan, tidak terlalu tergantung pada aktor. Meski semua aktor oposisi ditangkap, misalnya, belum tentu rakyatnya bisa berhenti berekspresi bebas.
Penutup
Demokrasi sudah berlangsung selama 21 tahun, sejak Soeharto tumbang. Kebebasan sipil telah menjadi tiang utama berpolitik. Saat bersamaan "Kerajaan Facebook" dan media sosial lainnya datang memberikan spirit kebebasan dan anti negara. Semua dunia saat ini memikirkan adanya demokrasi yang bermartabat, yakni demokrasi tanpa kebencian dan permusuhan. Dan dunia nyata memohon kepada Kerajaan Facebook untuk membantu.
Lalu kita harus bagaimana?
Jika demokrasi harus diselamatkan, maka dalam dunia sekarang ini adalah mengubah "mindset" bisa menggunakan struktur mengendalikan kultur dan prilaku masyarakat. Cara berpikir baru adalah duduk bermusyawarah menentukan ulang kesepakatan-kesepakatan, bukan mendikte secara sepihak.
Macron sudah berkali-kali mengajak oposisi "Yellow Vast" kepada jalan dialog, sekaligus meminta bantuan Mark Zuckerberg. Namun, jika niatnya pembungkaman pasti tidak berhasil.
Indonesian tentunya juga membutuhkan langkah-langkah tanpa kekerasan dalam mempertahankan demokrasi. Namun janji Wiranto membuat Dewan Kerukunan Nasional sejak awal 2017 tidak kunjung ditepati.
Saatnya berpikir jernih. []
Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang-Merauke Circl [rmol]