Oleh: Chazali H. Situmorang*
KOORDINATOR Relawan Informasi Teknologi (IT) BPN 02, Mustofa Nahrawardaya membawa lebih dari 73 ribu lembar temuan kesalahan dari input sistem hitung atau Situng milik Komisi Pemilihan Umum (KPU). Bukti tersebut dibawanya ke Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu untuk ditindaklanjuti sebagai dugaan pelanggaran Pemilu 2019.
"Sebanyak 73.715 kesalahan input data Situng atau sebesar 15,4 persen dari total 477.021 TPS yang telah diinput. Data kesalahan ini kami capture dan barang bukti dibawa, diserahkan ke Bawaslu," kata Mustofa di Kantor Bawaslu RI, Jakarta Pusat, Jumat (3/5).
Menurut temuannya, kesalahan terbesar ditemukan di Jawa Tengah sebanyak 7.666 TPS, Jawa Timur 5.826 TPS, Sumatera Utara 4.327 TPS, Sumatera Selatan 3.296 TPS, dan Sulawesi Selatan 3.219 TPS. Mustofa mengklaim kesalahan tersebut sangat brutal.
"Batas toleransi kesalahan dalam sistem IT paling tinggi 0,1. Kami menemukan sampai 15,4 persen," lanjut Mustofa.
Bawaslu jangan main-main dengan laporan Tim IT BPN 02 tersebut. Dalam waktu dua hari ini, Bawaslu harus segera melakukan langkah cepat dengan membuat kebijakan memerintahkan Ketua KPU menghentikan proses Situng KPU. Mensterilkan ruangan IT KPU, dan memblokir semua pergerakan terkait aktivitas IT KPU. Petugas entry data tidak boleh meninggalkan area kantor KPU dalam jangka waktu tertentu.
Dengan cepat Bawaslu, meminta bantuan KPK, khususnya para penyidik ahli IT KPK, untuk masuk ke ruang IT KPU, melakukan investigasi atas dugaan kecurangan ataupun penipuan entry data, sehingga merugikan dan mengabaikan hak rakyat.
Kenapa Bawaslu harus minta bantuan KPK. Sebab yang diduga melakukan kecurangan atau fraud berupa abuse of power adalah Komisioner KPU. Dan para komisioner KPU adalah pejabat Negara. Urusan sogokan tas bermerek, jam bermerek dan barang mewah lainnya, sedikit uang, dengan nilai total sekitar Rp 500 juta, yang diduga dilakukan Bupati Talaud yang cantik, tidak ada ampun masuk tahanan KPK , dan langsung pakai rompi oranye. Ternyata rompi oranye tersebut, semakin menambah kecantikan sang Bupati (maaf kalau mata saya yang salah melihatnya di TV).
Urusan hajatan Pemilu ini menyangkut dana triliuan rupiah (sekitar Rp25 triliun), menghasilkan nyawa melayang hampir 500 orang, dan ribuan sakit, para petugas KPPS, dan petugas Bawaslu. Bukan itu saja, ratusan juta hak suara rakyat yang dipermainkan, dimanipulasi, sehingga hampir di semua provinis terjadi protes, keributan, antara petugas KPU (KPPS), saksi Paslon, dan rakyat yang sangat peduli dengan hak suaranya. Bahkan gesekan dengan Polisi tidak bisa dihindarkan, karena sikap Polisi yang terlalu represif, dan terkesan melindungan salah satu Paslon. Itu semua ibarat parodi yang dipertontonkan bangsa ini keseluruh dunia.
Kalau Bawaslu tidak minta bantuan KPK, saya menyarankan agar Tim IT BPN 02, membuat pengaduan yang sama atas nama masyarakat, melaporkan kecurangan yang dilakukan oleh pejabat negara (Komisioner KPU) dengan membawa dua alat bukti yang cukup yaitu berkas/dokumen kecurangan, dan para saksi yang siap dikonfirmasi oleh KPK.
KPK sering mengungkapkan, bahwa kecurangan atau fraud atau korupsi, dimulai dari kebijakan pejabat negara yang diberi wewenang dan kekuasaan untuk membuat kebijakan mulai dari perencanaannya, sampai dengan implementasinya.
Ada teman yang bertanya pada saya, kenapa harus ke KPK? Kenapa tidak ke Kapolri, atau Jaksa Agung? Atau kenapa tidak menunggu selesai perhitungan, baru dilaporkan ke MK?
Argumentasi saya uraikan pada teman yang tidak sependapat dengan pemikiran saya tersebut. Pertama, jika ke Kapolri dan Jaksa Agung, kedua instrumen hukum tersebut merupakan pejabat yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Sedangkan Presidennya adalah Petahana Paslon 01 yang ikut bertarung. Akan terjadi conflict of interest. Dikhawatirkan proses penyildikannya tidak berjalan dengan fair.
Kedua, jika diajukan ke Majelis Mahkamah Konstitusi, persyaratannya selesai dulu tahapan Pemilu, baru jika ada yang tidak puas diselesaikan. Terlanjur kecurangan sudah semakin menggunung, bukti-bukti semakin menumpuk, waktu untuk proses pengadilan ada limit waktu, dan jumlah hakim terbatas. Dikhawatirkan jika dipaksakan, akan ada Hakim MK yang sakit dan tewas, karena mereka umumnya sudah sepuh. Jika ada Hakim MK yang meninggal siapa tanggung jawab?
Ketiga, sudah tepatlah KPK masuk melakukan investigasi, demi kepentingan bangsa dan negara. Tidak perlu menunggu kecurangan semakin menumpuk, apa lagi terus berlangsung setiap hari, bahkan masih ada saja yang meninggal petugas KPPS setiap harinya. Jika penyidik terbatas, lebih baik longgarkan dulu perburuan OTT Bupati/Walikota, karena adanya big fish di depan mata.
Dugaan saya, Bawaslu tidak akan ingin atau tidak berani untuk meminta bantuan KPK melakukan penyelidikan atau investigasi terhadap Komisioner KPU. Karena itu kita dorong Koordinator Relawan Informasi Teknologi (IT) BPN 02, Mustofa Nahrawardaya untuk segera melapor ke KPK. Dengan semboyan KPK ‘berani mengatakan jujur’ akan sangat antusias menerima Pak Mustafa. Insya Allah.[***]
*) Pemerhati Kebijakan Publik-Dosen FISIP UNAS