GELORA.CO - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) memandang rencana pembentukan tim hukum nasional untuk merespons tindakan, ucapan dan pemikiran tokoh oleh Menko Polhukam Wiranto sebagai tindakan yang berlebihan, tidak proporsional, cenderung subjektif tanpa parameter yang jelas dan akuntabel. Lebih jauh, pembentukan tim tersebut berpotensi membungkam kebebasan berpendapat, berekspresi dan berkumpul, termasuk berpotensi mencederai kebebasan pers.
"Karena Wiranto juga menyebutkan akan menutup media yang membantu pelanggaran hukum," kata koordinator Kontras, Yati Andriyani, melalui pesan singkatnya, Selasa 7 Mei 2019.
Ia menambahkan wacana pembentukan tim hukum nasional ini seolah menunjukkan negara tidak memiliki dan tidak mempercayai instrumen serta mekanisme penegakan hukum yang ada. Dan juga menunjukkan lemahnya koordinasi antar lembaga negara mengingat solusi yang ditawarkan dalam menghadapi dinamika politik dan situasi sosial. Dengan membentuk tim ini justru berpotensi terjadi tumpang tindih kewenangan lembaga penegakan hukum dan pengawasan yang ada.
"Kekhawatiran atau kepanikan pemerintah atau kelompok mana pun atas dinamika dan situasi politik yang muncul pasca pemilu tetap harus direspons secara proporsional, terukur dan akuntabel. Di antaranya dengan tetap mengedepankan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia," katanya.
Kebijakan yang dikeluarkan dalam menghadapi dinamika politik tidak boleh mencederai nilai-nilai demokrasi dan HAM, yang menjamin hak kebebasan berpendapat, berekspresi dan berkumpul. Ancaman terhadap pers, pengawasan terhadap tokoh dan warga masyarakat lainnya yang tidak jelas parameternya dan akuntabilitasnya hanya akan memundurkan demokrasi.b
"Sementara aturan negara yang lainnya seperti UU ITE telah cukup ampuh merenggut kebebasan berekspresi warga negara," tegasnya.
Kontras juga mencatat Wiranto kerap kali mengeluarkan usulan yang kontroversial dan mengancam demokrasi. Sejumlah pernyataan dan kebijakan yang keluar sejak Wiranto diangkat menjadi menteri cenderung memberikan ruang gerak kepada penguasa untuk mengambil keputusan-keputusan yang berujung pada kontroversi, melanggengkan impunitas, dan melanggar hukum.
Seperti Wiranto mengatakan bahwa hukuman mati di Indonesia tidak perlu dievaluasi, penyelesaian peristiwa 1965 diselesaikan dengan pendekatan non–yudisial, pembuatan Dewan Kerukunan Nasional, mendukung pembubaran organisasi tanpa mekanisme hukum. Selain itu Wiranto juga mengatakan peristiwa Deiyai di Papua bukan pelanggaran HAM, menyatakan sikap perlawanan hukum yang ia sampaikan di Lembaga Pertahanan Nasional tentang ketidakterkaitannya pada kasus pelanggaran HAM serius di Timor Leste jelang pelaksanaan dan pasca Jajak Pendapat 1999.
"Pernyataan yang kontroversial itu menjadi sulit dibayangkan keluar oleh posisi jabatan publik yang idealnya mampu mengkoordinasikan jaminan pelaksanaan dan perlindungan hukum, politik dan keamanan di Indonesia secara terukur, terpadu dan sistematis," katanya. [vv]