KATA kebenaran di atas sengaja diapit oleh tanda petik karena "kebenaran" berbeda dengan kebenaran. "Kebenaran" adalah kebenaran menurut satu golongan, tapi menurut golongan lain bukanlah kebenaran.
"Kebenaran" telah diyakini sebagai kebenaran oleh satu golongan, tapi belum diyakini sebagai kebenaran oleh golongan lain. Sementara kebenaran adalah "kebenaran" yang diterima oleh semua pihak.
Itulah situasi yang sedang kita hadapi saat ini terkait hasil Pilpres 2019. Bagi pendukung Pasangan Calon 01 (Paslon 01), Jokowi-Amin telah memenangkan Pilpres 2019. Dalilnya adalah hasil quick count, real count KPU, dan hasil rekapitulasi yang hampir rampung mengarah pada kemenangan Paslon 01 dengan selisih belasan juta suara.
Lain hal bagi pendukung Pasangan Calon 02 (Paslon 02). Bagi mereka, yang menang adalah Prabowo-Sandi. Dalilnya adalah hasil perhitungan C1 internal BPN Prabowo-Sandi dimana Paslon 02 meraih 54,24% suara.
Perolehan suara tersebut dinilai lebih masuk akal mengacu kepada realitas kampanye rapat umum terbuka yang menunjukkan antusiasme dukungan rakyat pada Paslon 02. Sebaliknya, kampanye rapat umum terbuka Paslon 01 kerapkali sepi dan diwarnai mobilisasi massa berbayar.
QC dianggap tidak legitimate karena dilaksanakan oleh lembaga survei yang pro Paslon 01. Real count dalam Situng KPU dinilai tidak akurat karena ditemukan banyak data manipulatif. Keputusan Bawaslu akhir-akhir ini tentang "cacat administrasi" KPU dalam mengelola QC dan real count makin menguatkan persepsi tersebut.
Sementara itu proses rekapitulasi suara berjenjang yang dilaksanakan KPU legitimasinya dihantui isu penggelembungan suara dan hadirnya pemilih siluman. BPN Prabowo Sandi sendiri melaporkan adanya indikasi 17,5 juta orang pemilih fiktif dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Secara legal formal, ruang untuk menguji "kebenaran" siapa yang merupakan kebenaran adalah Rapat Pleno KPU. Apabila hasil Rapat Pleno KPU dianggap belum menjadi kebenaran, maka Paslon yang keberatan dapat mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Namun dari wacana yang berkembang, Pihak Paslon 02, nampaknya tidak akan menerima hasil Rapat Pleno KPU dan tidak akan menempuh pengujian melalui MK. Mereka memilih metode "people power" yang kini berganti nama menjadi Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat untuk menunjukkan "kebenaran" mereka sebagai kebenaran, mulai 20-22 Mei 2019.
Jalur non legal-formal tersebut tentu meningkatkan suhu politik dan mudah bermuara pada situasi chaotic. Jalur terjal yang sangat beresiko. Persoalannya, kenapa Paslon 02 sampai menempuh metode tersebut? Kenapa Paslon 02 tidak melihat peluang menang atau mendapatkan keadilan apabila fight di Rapat Pleno KPU dan juga MK? Ini masalah yang serius.
Jelas bahwa ada krisis kepercayaan terhadap KPU dan juga MK. KPU dan MK alih-alih dipersepsi sebagai wasit yang baik (adil) diantara dua kontestan, melainkan wasit yang berkecenderungan mendukung Paslon 01. Benar atau tidak, itu hal lain, persepsi itu ada di Paslon 02 dan pendukungnya.
Apakah persepsi Paslon 02 dan pendukungnya tersebut keliru? Belum tentu, karena persepsi tersebut tidak terbangun tiba-tiba. Saya menduga ada tiga faktor penting yang sama-sama berkontribusi membentuk persepsi tersebut.
Pertama, stigmatisasi pada pihak Paslon 02 sebagai penyebar hoax atau berita palsu. Merebaknya hoax itu sendiri karena media mainstream dikooptasi oleh Paslon 01. Suara kritis media dibungkam. Akibatnya, publik mencari sumber informasi alternatif, yang sayangnya tidak memiliki standar jurnalistik. Jadi stigma tersebut bisa dikatakan diproduksi oleh pihak Paslon 01.
Setiap pendukung Paslon 02 yang kedapatan menyebarkan berita yang merugikan Paslon 01, selalu dianggap menyebarkan hoax dan digeneralisasi sebagai representasi Paslon 02, padahal itu adalah oknum. Akibatnya, semua yang disampaikan oleh pihak Paslon 02 dianggap hoax, meski itu adalah fakta atau kebenaran.
Iklim ini tercipta, dan dampaknya sangat merugikan Paslon 02, karena setiap mereka protes atau melaporkan kecurangan dalam proses Pilpres selalu mendapatkan respon yang tidak wajar atau tidak sesuai harapan dari pihak penyelenggara Pilpres maupun lembaga pemerintahan lainnya. Karena kerapkali seperti itu, kini emosi Paslon 02 dan pendukungnya mencapai titik puncaknya.
Kedua, pernyataan Kepala Staf Kepresidenan, Jenderal (Purn) Moeldoko tentang "perang total" benar-benar meningkatkan intensitas kontestasi Pilpres. "Perang total" dalam prakteknya telah menyeret aparat (polisi), ASN, institusi Pemerintahan, dan BUMN dalam kontestasi Pilpres untuk memenangkan Paslon 01.
Bukti-buktinya sudah banyak diketahui publik. Akibat mengerikan dari langkah tim Paslon 01 ini adalah hilangnya persepsi netralitas lembaga-lembaga negara yang secara tradisi demokrasi seharusnya netral. Paslon 01 juga dipersepsi cross the line , melewati batas kepatutan, demi memenangkan Pilpres 2019.
Ketiga , rendahnya komunikasi egaliter dan merangkul dari pihak KPU maupun MK. Tidak pernah kita mendengar adanya pernyataan yang menegaskan netralitas, jaminan kejujuran dan keadilan bagi semua Paslon, serta ajakan persuasif dari KPU maupun MK. Baik itu dinyatakan kepada publik maupun komunikasi khusus dengan Paslon.
KPU maupun MK terkesan tidak merasa terganggu meski kredibilitas mereka diragukan oleh Paslon 02 dan pendukungnya. Kebuntuan komunikasi ini memperparah atau makin menegaskan persepsi negatif dari dua faktor sebelumnya.
Lantas, kemana semua ini akan bermuara? Saya belum bisa menerkanya. Tapi yang pasti, "kebenaran" memiliki jalannya sendiri untuk menjadi kebenaran. Wallahu a'lam bishshawab. rmol.id
Penulis: Arip Musthopa
Pemerhati Masalah Sosial-Politik [rmol]