GUBERNUR Jawa Timur (Jatim) Khofifah Indar Parawansah meluncurkan kartu sakti yaitu Kartu Jatim Berdaya pada akhir Maret lalu. Pemilik kartu berhak mendapat pinjaman hingga Rp 50 juta dengan bunga 6 persen. Seribu pelaku IKM dan UKM dengan omset di bawah Rp 1 miliar menerima kartu ini. Khofifah berharap agar kartu Jatim Berdaya ini menjadi pintu masuk bagi penguatan pelaku usaha wanita kategori kreatif di Jatim. Yakni mendorong agar UMKM Jatim bisa menjadi pelaku usaha yang petarung.
Namun sejumlah pengamat meragukan efektivitas kartu ini karena justru diberikan pada pengusaha yang sudah mantap usahanya, yakni sudah memiliki manajemen keuangan yang bagus. Sementara banyak pedagang kecil (PKL) yang sangat membutuhkan bantuan modal, namun tak mendapatkannya.
UMKM, Tulang Punggung Ekonomi Jatim
Mantan Gubernur Soekarwo menegaskan bahwa UMKM adalah tulang punggung (backbone) ekonomi Jatim (jatimprov.go.id, 22/6/2018). Jumlah UMKM di Jatim sebanyak 12,1 juta dan memberi sumbangan besar pada ekonomi Jatim. Kontribusi UMKM pada PDRB mencapai Rp 1.161 triliun (57,5 persen). UMKM menyumbang 74,36 persen dari total investasi. UMKM juga menyerap 18,95 juta tenaga kerja yakni 90 persen dari total angkatan kerja.
Dari data di atas, tampak bahwa UMKM menjadi tumpuan ekonomi Jatim. Namun, bersandar pada UMKM tak menjadikan Jatim sejahtera. Meski pertumbuhan ekonominya sebesar 5,5 persen, ketimpangan ekonomi di Jawa Timur sangat tinggi. Terjadi disparitas yang tajam antara Surabaya dan Madura, meski keduanya berdekatan. Disparitas juga antara wilayah utara dan selatan Jatim. Ring 1 (Surabaya dan sekitarnya) menyumbang lebih dari 50 persen ekonomi Jatim, sementara Madura hanya 4 persen. Khofifah bahkan menyebut kemiskinan akut di desa menjadi masalah Jatim. Angka kemiskinan di wilayah desa bisa mencapai 11,6 persen. Terkait kesenjangan ekonomi, Soekarwo menyatakan bahwa hal itu merupakan dampak dari liberalisasi yang sulit dielakkan. Fenomena Crazy Rich Surabaya, mengkonfirmasi pernyataan Soekarwo bahwa ada Singapura di Surabaya. Jelaslah bahwa meski secara angka Jatim seolah sejahtera, realitanya tidak demikian. Menjadikan UMKM sebagai backbone bukanlah solusi tepat untuk menuju Jatim sejahtera.
Potensi Ekonomi Jatim
Produk UMKM adalah produk non strategis, meski dibalut dengan bahasa indah yakni industri kreatif. Misalnya makanan, minuman, aksesoris, mainan, dll. Nilai ekonomisnya rendah. Di dalam negeri, produk UMKM tergusur dengan banjir produk China yang harganya lebih murah. Jika dipasarkan di luar negeri, produk UMKM juga sulit bersaing. Penyebabnya adalah kurangnya modal, tidak paham manajemen keuangan, berbiaya tinggi, tidak menguasai pasar dan kurangnya dukungan pemerintah. Belum lagi ketatnya standard mutu di negara tujuan ekspor. Jadi UMKM tak bisa untuk dijadikan sebagai tulang punggung ekonomi Jatim. Jika bergantung pada UMKM, Jatim tak akan meraih kesejahteraan.
Penetapan UMKM sebagai backbone ekonomi merupakan kebijakan yang salah. Karena sebenarnya Jatim memiliki sumber daya alam yang strategis yaitu minyak dan gas. Dengan 31 blok WKP (wilayah kerja pertambangan) berstatus eksploitasi, Jatim menduduki peringkat ketiga penghasil migas nasional setelah Kalimantan Timur dan Riau. Selain 31 blok WKP yang dieksploitasi, di Jatim juga terdapat 32 blok WKP berstatus eksplorasi. Total potensi minyak di Jatim yang sudah diketahui 583.475,5 juta barel, sedangkan gas bumi 10.301,7 miliar meter kubik. Pulau Madura sangat kaya akan migas, bahkan Madura dibaratkan duduk di atas ladang migas. Jika potensi migas ini dikelola oleh pemerintah dan hasilnya untuk rakyat, maka akan terwujud kesejahteraan bagi Jatim.
Sayangnya saat ini migas di Jatim dikelola swasta yang kebanyakan asing. Blok Cepu di Bojonegoro dikelola oleh Exxon Mobil. Madura Daratan hak eksplorasinya dipegang oleh Exspan Nusantara, anak perusahaan Medco. Sedangkan potensi migas offshore (lepas pantai) dibagi-bagi antara ConocoPhillips, Santos, Kodeco, Arco dan beberapa yang lain. Pemprov Jatim dan Pemkab setempat hanya mendapat jatah Participating Interest (PI) sebesar 10 persen. Itupun dengan syarat harus menyetorkan dana sebesar Rp 2 triliun. Sehingga Pemprov dan Pemkab menggandeng swasta lagi untuk membuat badan usaha untuk bisa memenuhinya. Akhirnya rakyat sebagai pemilik kekayaan alam Jatim tak merasakan manfaatnya, bahkan empat kabupaten di Madura justru masuk kabupaten termiskin di Jatim. Padahal pengamat perminyakan, Kurtubi, dalam Konferensi Guru Besar Indonesia (KGBI) ke 5 di Yogyakarta menyatakan jika tambang minyak dan gas Indonesia dikelola pemerintah, pendapatannya akan mencapai tiga kali APBN indonesia saat ini. Hal yang sama pastinya juga berlaku untuk Jatim. Kedaulatan negara pun terjaga, kita tidak dikuasai korporasi asing.
Menguntungkan Perbankan
Peluncuran Kartu Jatim Berdaya hanya akan menguntungkan perbankan. Bantuan modal pada UMKM hakikatnya adalah utang, bukan hibah cuma-cuma. Meski pengusaha UMKM membayar bunga "hanya" 6 persen, sebenarnya Bank Jatim menerima bunga 9 persen. Selisih bunga 3 persen dibayar oleh Pemprov Jatim. Hal ini sangat menguntungkan perbankan karena membantu pencapaian target kredit. Jika sudah jelas Kartu Berdaya Jatim tak cukup sakti untuk menyejahterakan Jatim, bahkan hanya memperkaya perbankan, tampak jelaslah pada kepentingan siapa Pemprov Jatim berpihak. []
Ragil Rahayu
Pengamat ekonomi Jawa Timur, anggota Komunitas Revo-Ekonomi, tinggal di Sidoarjo.
[rmol]