GELORA.CO - Penanganan aksi massa oleh pihak kepolisian dalam dua hari terakhir belum menunjukan hasil yang positif. Alih-alih membaik, ketegangan di ibukota justru terasa semakin meningkat.
Demikian disampaikan Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahudin, Kamis (23/5).
Ada kesan, para demonstran seperti kurang percaya pada polisi yang diterjunkan untuk mengamankan jalannya aksi. Tidak sekedar meneriakan yel-yel bernada sindiran, mereka bahkan terlihat agresif menyerang aparat kepolisian.
Menurut Said, situasi itu memberi indikasi tingginya resistensi dari massa aksi kepada anggota polisi. Sementara pada sisi yang lain, kehadiran prajurit TNI di tengah massa justru disambut positif.
"Kalau kita lihat di lapangan dan dari pemberitaan media kan terasa sekali respons bersahabat yang ditunjukan oleh para demonstran kepada prajurit TNI. Himbauan para tentara relatif didengar dan dipatuhi oleh massa," sebutnya.
"Hal itu saya kira perlu menjadi perhatian dari pemerintah. Strategi pengamanan aksi tampaknya perlu lekas dievaluasi. Jika pemerintah tidak segera mencarikan solusinya, dikhawatirkan gelombang aksi massa akan lebih masif dan berkelanjutan. Kondisi yang lebih buruk dapat saja terjadi," ujar Said melanjutkan.
Jelas Said, kita tentu tidak menginginkan hal itu terjadi. Oleh sebab itu, jika sampai hari ketiga situasi di ibukota, termasuk aksi di daerah lain tidak kunjung mereda, pemerintah dapat mempertimbangkan untuk menempatkan TNI sebagai garda terdepan pengamanan aksi.
"Tetapi perlu dicatat, gagasan ini tidak dimaksudkan untuk mengembalikan fungsi tentara dibidang keamanan. Itu tetap menjadi tugas kepolisian. Penempatan prajurit TNI dimaksud hanya bersifat sementara dan terbatas untuk mengamankan aksi massa. Bagaimana pun situasi yang tidak normal terkadang tidak selalu bisa diatasi dengan cara-cara yang normal," tutupnya. [rmol]