Oleh Dr. Syahganda Nainggolan (Sabang Merauke Circle)
Jokowi telah merestui ibukota Indonesia pindah dari Jawa. Demikian berbagai berita menghiasi media beberapa hari ini. Alasan pindah ibukota ini mirip seperti Sukarno dulu mengusulkan Kalimantan Sebagai ibukota Indonesia. Alasannya adalah agar negara kita tidak Jawa centris.
Pindah ibukota biasa terjadi di dunia. Belanda memindahkan ibukotanya dari Amsterdam ke Den Haag, Amerika dari New York ke Washington DC, misalnya. Salah satu alasan pemindahan ini adalah memisahkan aktifitas kota bisnis dengan politik.
Persoalannya di Indonesia saat ini isu pemindahan ibukota bersamaan dengan adanya isu pilpres, di mana Jokowi diperkirakan kalah di luar Jawa, khususnya Sumatra, baik oleh prof Mahfud, maupun majalah Tempo. Sehingga pengangkatan isu ini terkesan ingin mengobati atau pelipur lara rakyat luar Jawa.
Logika memindahkan ibukota ke luar Jawa, dalam situasi pembangunan yang timpang (sekitar 60% investasi tetap di Pulau Jawa sampai saat ini), adalah lebih kepada "lip service" alias propaganda politik saja. Kegelisahan rakyat luar Jawa sesungguhnya saat ini terjadi karena representasi kepemimpinan nasional, jika Jokowi menang, karena wisdom pasangan presiden/wakil presiden yang harusnya Jawa/luar Jawa telah dilanggar. Bahkan, ketika Indonesia merdeka, wisdom yang berkembang, Indonesia membuat adanya jabatan Perdana Menteri, untuk orang non Jawa, sehingga keterwakilan kepemimpinan nasional semakin lengkap.
Situasi nasional saat ini, baik dari fakta sosial adanya pembelahan sosial pendukung Jokowi yang berbasis Jawa dan Islam Nusantara versus pendukung Prabowo berbasis luar Jawa dan Islam militan, dan propaganda professor Mahfud MD bahwa pendukung Prabowo Islam radikal, menelurkan bara api yang mempertanyakan pentingnya Indonesia sebagai negara kesatuan. Ditambah lagi, Yusril Izha Mahendra, sejak awal sudah mengatakan bahwa pasal "NKRI" 6A UUD 45 tidak diperlukan (bahwa kemenangan capres harus mempertimbangkan sebaran wilayah kemenangan).
Jika situasi ke Indonesiaan saat ini hanya ditanggapi dengan isu pemindahan ibukota, bukan isu kepemimpinan nasional yang sungguh2 mewakili keberagaman suku bangsa dan daerah, maka rakyat bisa jadi bukan merindukan ibukota NKRI, melainkan mulai merindukan ibukota negara persemakmuran ataupun federal. [tsc]