GELORA.CO - Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) memandang gerakan 22 Mei 2019 tidak bisa disebut sebagai people power dan juga tidak bisa dipandang sebagai aksi melawan hukum, apalagi dianggap sebagai gerakan makar.
Menurut Ketua HMI Cabang Jakarta Pusat Utara, Fadli Rumakefing, saat ini suasana sosial kebangsaan Indonesia sedang dalam ketegangan demokrasi. Hal tersebut adalah konsekuensi dari ikhtiar masyarakat dalam menyambut pengumuman pemenang Pilpres 2019.
Ikhtiar itu, lanjutnya menimbulkan ketegangan yang juga dikompori oleh elit-elit politik hingga membuat suasana semakin mencemaskan.
"Gerakan-gerakan yang disebut people power tidak cocok untuk ditafsirkan dalam gerakan makar. Gerakan masyarakat tersebut lebih cocok untuk ditafsirkan dalam Society Power," kata Ketua HMI Cabang Jakarta Pusat Utara, Fadli Rumakefing kepada wartawan, Senin (20/5).
Menurutnya, hal tersebut terjadi karena kondisi yang ada pada kontestasi pemilu saat ini dimana terdapat kondisi dua arah antara pendukung masing-masing kandidat Presiden dan Wakil Presiden. Baik TIM Sukses, Relawan dan simpatan dalam memperjuangkan kemenangan kandidat masing-masing.
Menurut Fadli, negara demokrasi seperti Indonesia memiliki aturan main Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Hal itu diatur dalam Konstitusi yakni; UUD 1945 Pasal 28E dan UU Nomor 9 Tahun 1998.
Dan kebebasan menyatakan pendapat itu, lanjutnya, jelas sangat berbeda dengan apa yang disebut makar.
Ia menjelaskan, definisi makar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesua (KBBI) yakni (1). Akal busuk; tipu muslihat, (2). Perbuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang (membunuh) orang, dan sebagainya, (3). Perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah.
Olehnya itu dalam rangkah dan upaya menghindari konflik horizontal dalam masyarakat dan demokrasi Indonesia, ia mengimbau untuk semua pihak untuk mengedepankan demokrasi yang sehat, berdemokrasi yang konstitusional.
"Menghargai berbagai ragam pemikiran yang disalurkan dalam ruang demokrasi," pungkasnya. [rmol]