Oleh: Furqan Jurdi
Ketua Komunitas Pemuda Madani
PEMILU 2019 adalah pemilu yang paling brutal, menyebabkan ratusan nyawa tumbang dan ribuan raga jatuh tak berdaya.
Ini melebihi dari tragedi Bom Bali, mengalahkan tragedi jatuhnya pesawat, tetapi semua diam dan membisu, hanya santunan yang dibicarakan.
Apakah tidak ada motif lain dari meninggalnya ratusan nyawa itu? Apakah negara atau pemerintah tidak melihat sebuah bencana demokrasi yang merenggut nyawa ini?
Sikap presiden yang pasif terhadap persoalan kemanusiaan dan duka demokrasi yang paling mengerikan ini, justru menimbulkan satu tanda tanya, apakah presiden sedang menyembunyikan bencana ini, atau ini merupakan bentuk kegagalan yang paling tragis dari negara?
Ini bagi saya merupakan satu kegagalan yang telah "direncanakan" sehingga menimbulkan efek yang mengerikan. Para komisioner KPU memiliki tanggung jawab, baik secara moral maupun secara hukum, atas peristiwa ini.
Kematian ini jangan sampai menjadi "tumbal" dari kegagalan demokrasi di bawah kontrol kepemimpinan yang ugal-ugalan. Sebab ini akan menjadi pemicu bergolaknya protes sosial.
Sadar atau tidak, ini memicu terjadinya pembangkangan Sipil. Sebuah perlawanan yang akan lahir dari individu yang melihat ketidakadilan dalam ruang kehidupan bernegara mereka.
Henry David Thoreau dalam tesisnya menyebut sebagai "Civil Disobedience". Apa artinya? Yaitu masyarakat yang tidak memiliki kepercayaan lagi kepada pemerintahan yang berkuasa, kepada lembaga-lembaga pemerintahan, dan para administrasi kaku dari negara.
Sebabnya, karena pemerintahan, lembaga-lembaga dan badan-badan publik tidak terbukti efisien dalam menyelenggarakan kedaulatan rakyat dan mewujudkan keadilan sosial.
Pasifnya negara terhadap persoalan-persoalan politik yang terjadi pada pemilu 2019 akan menambah kejengkelan publik. Tetapi di sisi lain, aktifnya negara dalam merespon isu-isu pemilu justru untuk melindungi kepentingan kekuasaan mereka. Hal tersebut akan memicu gejolak sosial.
Pokok penting dari semua hal yang terjadi yang menyebabkan pembangkangan Sipil adalah negara tidak lagi mampu melayani secara adil apa yang diharapkan oleh rakyat.
Sementara itu, ketidakadilan justru semakin menampakkan diri, dari tabiat curang, hingga membungkam lawan politik semakin meluas. Akibatnya rakyat tidak bisa lagi mempercayai pemerintahan.
Dalam keadaan tersebut, maka tempat untuk menyalurkan emosi dan pikiran dialihkan, dari lembaga resmi negara kepada ruang-ruang publik yang terbuka.
Pidato dan ceramah ketidakadilan menggelegar, rakyat menuntut hak, memprotes tindakan kecurangan, kejahatan terstruktur, sistematis, dan Massif. Tetapi negara justru tidak menampakkan itikad baik.
Keadaan ini diperparah oleh praktek-praktik kecurangan yang ditonton dihadapan publik. Tidak ada satupun solusi dari tuntutan publik akibat kecurangan yang merugikan pihak 02 dan menguntungkan 01.
KPU sebaga lembaga penyelenggara justru memberi jawaban yang membuat publik merasa semakin tidak percaya. Justru mereka memposisikam diri seakan-akan sebaga "korban" informasi, namun gagal untuk menjelaskan kecurigaan publik atas tindakan kecurangan mereka.
Menghadapi siatuasi tersebut guna Untuk mengendalikan informasi, maka dipakailah pasal karet dalam UU ITE, supaya siapapun yang dianggap menyebarkan informasi, meskipun itu benar, akan dianggap menyebar hoax.
Akibatnya ruang sosial menjadi ruang untuk mencari kesalahan publik, bukan sebagai ruang untuk mengoreksi kesalahan negara, malah menjadi ruang untuk "mempidana" warga negara.
Tekanan-tekanan seperti ini akan memaksa kekuatan rakyat untuk mencari jalan yang lebih ekstrim, bahkan justru pembangkangang sipil itu menjadi lebih berani lagi.
Tidak heran, pergerakan massa sudah mulai terjadi, emak-emak sudah mulai berani, berteriak dan meminta keadilan pemilu, kejujuran penyelenggara dan sikap ketidakberpihakan aparat hukum. Tuntunan ini, bisa saja akan berubah menjadi kecaman-kecàman yang keras. Dan tentu akan melahirkan gejolak sosial.
Karena itulah, Pemilu 2019 rentan dengan pembangkangan. Sebab dari semua kegundahan publik itu adalah pemerintahan yang tidak adil, negara dikendalikan menurut selera kekuasaan.
Suara rakyat, yang merupakan manifestasi dari kedaulatan rakyat, justru di duga diselewengkan untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan pihak yang sedang berkuasa.
Sementara di dalam lapisan masyarakat, gejolak untuk melakukan perubahan justru semakin membesar, dan harusnya ini menjadi perhatian bagi KPU untuk bertindak sesuai dengan keadilan dan hati nurani dan pilihan rakyat itu.
Hanya kekuasaan yang nekat, yang berani untuk memanipulasi suara rakyat dan melawan arus pergerakan rakyat yang ingin perubahan. Tetapi dalam sejarah, kekuatan rakyat adalah kekuatan yang tak terkalahkan. (*)