Dalam 10 Hari, Politikus hingga Guru Dicokok karena Dugaan Makar dan UU ITE

Dalam 10 Hari, Politikus hingga Guru Dicokok karena Dugaan Makar dan UU ITE

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Sejumlah nama dari barisan pendukung capres dan cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno ditangkap polisi. Di luar nama-nama tenar, ada pegawai kecamatan, guru honorer, hingga pilot yang ditangkap aparat selama kurun waktu 10 hari terakhir.

Mereka ditangkap karena terkait dengan dugaan penghinaan, makar, hingga ancaman kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Penangkapan mereka terjadi saat isu persaingan Pilpres masih panas, meski pemungutan suara sudah usai, juga setelah hasil rekapitulasi suara sudah diumumkan.

Ada Mustofa Nahrawardaya yang ditahan polisi mulai 27 Mei setelah diperiksa penyidik. Salah satu penggawa Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi sekaligus caleg PAN itu dijerat dengan Pasal 14 ayat (1) dan (2) UU Nomor 1 Tahun 1946 atau Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Setelah diperiksa penyidik, polisi menambahkan jeratan Pasal 45 huruf a, Pasal 28 UU ITE, dan Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946.

"Ditahan untuk 20 hari ke depan. (Pertimbangan menahan) Ancaman hukuman di atas 5 tahun," kata Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Senin (27/5/2019).

Polri menjelaskan, posting-annya di media sosial menjadi alasan Mustofa dijadikan tersangka dan ditahan. Mustofa disebut memutarbalikkan fakta terkait video viral berisi rekaman tindakan eksesif personel Brimob. Mustofa mengunggah video itu di media sosial dengan menempelkan keterangan bahwa yang dipukuli adalah Harun Rasyid yang kini telah meninggal, padahal yang dipukuli adalah Andri Bibir yang masih hidup. Semua itu terkait dengan kerusuhan 22 Mei 2019.

"Bahwa yang bersangkutan memutarbalikkan fakta," kata Iqbal. Andri Bibir sendiri adalah pria 30 tahun yang telah buka suara bahwa dialah yang dipukuli di dekat Masjid Al Huda, Kampung Bali, Tanah Abang, sebagaimana video viral yang diunggah Mustofa. Andri ditangkap dan menjadi tersangka bersama 10 orang lain yang merusuh pada aksi 22 Mei di sekitar Kantor Bawaslu, Jakarta Pusat.

Di Aceh, penangkapan terhadap orang yang diduga menyebar hoax terkait aksi 22 Mei dialami oleh pria berinisial KAS (44) pada 25 Mei pukul 22.30 WIB malam. Dia adalah PNS kantor camat di Aceh Barat Daya (Abdya). Selain menyebar hoax, dia memasang ujaran kebencian terhadap Presiden Jokowi.

"Kata-kata ujaran kebencian terhadap kepala negara serta unsur SARA dilakukannya melalui akun Facebook miliknya sekitar tanggal 23 Mei lalu," jelas Direktur Reserse Kriminal Umum (Dir Reskrimum) Polda Aceh Kombes Agus Sarjito kepada wartawan, Senin (27/5). KAS masih diperiksa untuk mengetahui motif sebenarnya. Berdasarkan keterangan polisi, KAS mengakui telah menyebarkan unggahan itu, namun tidak ada maksud menghina, juga tak berpihak kepada salah satu capres.

Tepat sepekan lalu, yakni 21 Mei, Lieus Sungkharisma ditahan oleh polisi untuk 20 hari pertama. Pendukung Prabowo itu ditangkap polisi di kawasan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat, dan digelandang ke Markas Polda Metro Jaya pada 20 Mei. Sebelumnya, Lieus sempat mangkir dari pemeriksaan polisi untuk diperiksa sebagai saksi karena dia beralasan belum memiliki pengacara untuk mendampinginya.

Lieus Sungkharisma dilaporkan ke polisi atas aduan tindak pidana penyebaran berita bohong (hoax) dan melanggar Pasal 14 dan/atau Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 107 jo Pasal 87 KUHP dan/atau Pasal 163 bis jo Pasal 107 KUHP. Cawapres Sandiaga Uno menyayangkan penangkapan tersebut. Dia menilai, bila semua dikategorikan makar maka dapat memberangus kebebasan demokrasi.

"Satu lagi pendukung Prabowo-Sandi yang dikriminalkan, disangkutkan kepada masalah hukum. Kalau kita terlalu mudah semuanya di kategorikan sebagai kegiatan makar akan memberangus kebebasan berdemokrasi kita," kata Sandi di Mal Pelayanan Publik, Epicentrum, Jakarta Selatan, Senin (20/5).

Eks Komandan Jenderal Kopassus Mayjen TNI (Purn) Soenarko juga ditangkap aparat. Dia kemudian menjadi tahanan Polri dan dititipkan di Rumah Tahanan (Rutan) Guntur. Dijelaskan oleh Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Sisriadi, Soenarko terkait kasus penyelundupan senjata. Hal ini diketahui publik pada 21 Mei juga. Menko Polhukam Wiranto menyebut Soenarko berpotensi mengancam keamanan nasional.

"Mayjen Soenarko ya, itu memang sudah dipanggil, diperiksa, dan sekarang sudah menjadi tersangka dan ditahan di Rutan POM Guntur dengan tuduhan memiliki dan menguasai senjata api ilegal, situasi seperti ini tidak diizinkan dan diperbolehkan," kata Wiranto di kantornya, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (21/5) lalu.

Sebelumnya, Senin (20/5), Soenarko dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh pengacara bernama Humisar atas tuduhan makar. Ketua Bidang Ketahanan Nasional Partai Gerindra itu dilaporkan dengan pasal makar. Pelapor menilai Soenarko memprovokasi lewat pernyataannya yang mengadu domba dan menimbulkan gejolak di masyarakat.

Pada 19 Mei, Polda Jawa Timur mengumumkan penahanan terhadap seorang guru honorer asal Pamekasan, Madura, bernama Anwar (35). Anwar memasang ujaran bunuh Presiden Jokowi di Facebook. Polda Jatim menjerat Anwar dengan UU ITE Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45A ayat 2 dan Pasal 207 KUHP. Ancaman hukumannya paling lama 6 tahun dan denda Rp 1 miliar.

Pada 18 Mei, seorang pilot berinisial IR diamankan Satreskrim Polres Jakarta Barat di rumahnya di Surabaya, Jawa Timur. IR diduga menyebarkan ujaran kebencian di media sosial. Konteksnya adalah menjelang aksi 22 Mei, yakni aksi massa terkait protes terhadap Pemilu 2019. Narasi medsosnya dinilai mengandung teror dan hasutan. Salah satunya, IR menghasut masyarakat untuk melakukan perlawanan pada 22 Mei 2019.

Sementara itu, Kapolres Jakbar Kombes Hengki Haryadi mengatakan IR ditangkap setelah pihaknya melakukan patroli siber. Densus 88 Antiteror ikut mendalami keterkaitan IR dengan jaringan teroris. Hengki menyatakan IR patut diduga melakukan upaya makar. [dtk]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita