GELORA.CO - Rata-rata para komisioner dan staf KPU baru bisa tidur setelah subuh selama Ramadan ini, untuk menuntaskan rekapitulasi suara Pemilu Serentak 2019. Mengonsumsi vitamin, kurma, dan madu salah satu cara untuk menjaga stamina.
KETEGANGAN itu muncul ketika hingga akhir April lalu tidak kunjung ada rekapitulasi yang tuntas. Baik di tingkat provinsi maupun wilayah pemilihan luar negeri.
’’Kami berhitung, ini bisa selesai nggak, dalam 35 hari,’’ tutur Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman saat berbincang dengan Jawa Pos di sela berbuka puasa di bilangan Jakarta Selatan, Rabu (22/5).
Kekhawatiran itu cukup beralasan. Sebab, Arief berkaca pada Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg) 2014 yang masih terpisah dengan pilpres. Saat itu KPU diberi waktu 30 hari untuk menyelesaikan rekapitulasi nasional. Kala itu KPU ketuk palu pengesahan rekapitulasi 15 menit sebelum tenggat berakhir.
Karena itu, sejak awal Arief dan para komisioner KPU lain, yaitu Hasyim Asy’ari, Evi Novida Ginting, Pramono Ubaid Tanthowi, Viryan Azis, Wahyu Setiawan, Ilham Saputra, merancang agar rekapitulasi dilakukan simultan. Begitu ada satu wilayah selesai, level di atasnya langsung membuka pleno dan menyidangkannya.
Tidak menunggu semua atau beberapa wilayah lain selesai. Terbukti, sepekan menjelang ketuk palu 21 Mei lalu, KPU DKI Jakarta baru berhasil menuntaskan rekapitulasi kecamatan 100 persen.
Begitu rekapitulasi Provinsi Papua bisa disahkan, Arief dkk lega. Arief langsung menskors rapat untuk menyiapkan penetapan hasil pemilu. Pada Selasa, 21 Mei, pukul 01.46, berita acara penetapan rekapitulasi nasional mulai dibacakan. Dan, selesai sekitar setengah jam kemudian.
Semua saksi peserta pemilu hadir. Baik saksi kedua paslon presiden dan wakil presiden, saksi parpol, maupun beberapa saksi DPD.
Awak media juga masih bertahan di dalam ruang. Belasan kamera televisi menyorot penetapan hasil rekapitulasi tersebut.
Para fotografer bersiap di tempatnya untuk menangkap salah satu momen paling krusial dalam tahapan Pemilu 2019 itu. Semua data dan angka dibacakan secara terperinci, tak ada yang ditutupi.
Bagi Arief, penetapan lebih awal dari tenggat 22 Mei itu bukan hal aneh. Melainkan sebuah anugerah yang muncul di tengah kekhawatiran KPU tidak mampu menyelesaikan rekapitulasi tepat waktu.
’’Di kecamatan itu rekapitulasi sering kali sampai dini hari. Begitu pula di tingkat kabupaten/kota hingga nasional,’’ tutur alumnus FISIP Universitas Airlangga, Surabaya, tersebut.
Karena itu, menjadi lumrah ketika tanggungan rekapitulasi di level tertentu selesai, hasilnya langsung disahkan saat itu juga. Tidak menunggu esok. Itulah yang terjadi pula saat rekapitulasi di level nasional.
KPU tidak menunggu 22 Mei. Ketika rekapitulasi selesai 21 Mei dini hari, saat itu juga disahkan. Arief hanya meminta jeda waktu sejenak untuk menggandakan dokumen.
Selama masa rekapitulasi, Arief dan para komisioner harus berjibaku dengan ratusan dokumen. Sebanyak 130 dokumen pilpres dan pileg DPR luar negeri, 34 dokumen pilpres dalam negeri, 80 dokumen pileg DPR dalam negeri, dan 34 dokumen pileg DPD. Artinya, secara keseluruhan, ada 274 dokumen yang harus dibacakan dan dibahas.
Karena rekapitulasi nasional baru bisa dimulai pada 4 Mei, berbagai strategi dijalankan agar tidak terlambat. Salah satunya, membuat dua panel rekapitulasi yang digarap secara paralel. Juga, menerapkan sistem simultan dalam rekapitulasi.
Kondisi tersebut memaksa para komisioner dan staf KPU bekerja keras. Mereka harus tampil prima dalam kondisi yang nyaris tanpa jeda. ’’Apalagi saat Ramadan, umumnya kami baru bisa tidur setelah subuh,’’ tutur pria asal Surabaya itu.
Ketika pleno diskors tengah malam, baru para personel di KPU bisa beristirahat. Atau beranjak pulang paling cepat satu sampai dua jam setelahnya. Padahal, paginya pleno harus dimulai lagi pukul 10.00.
Untuk menyiasati potensi kelelahan, Arief punya asupan khusus selama Ramadan. ’’Tiap sahur, saya konsumsi vitamin, kurma, dan madu,’’ ujarnya.
Kombinasi tiga suplemen itu, menurut dia, mampu membuatnya tetap fokus. Meskipun, dalam beberapa kesempatan, mantan komisioner KPU Jatim tersebut tetap tampak pucat.
Momentum bersama keluarga pun harus dikorbankan. Lagi-lagi, Arief punya cara. Beberapa kali sang istri, Imawati, dihadirkan ke KPU hanya untuk berbuka puasa.
Tentu bersama putra bungsunya yang belum genap berusia 50 hari, Tsabits Elhaq Budiman. ’’Jadi, anaknya Budiman yang menjaga kebenaran,’’ terangnya tentang nama si buah hati, lantas tersenyum.
Nama Tsabits dipilih juga tidak lepas dari momentum pemilu. Nama itu terinspirasi dari nama juru bicara Nabi Muhammad, Tsabits bin Qais.
Pemilihan nama tersebut didasarkan pada kesadaran bahwa pemilu harus berintegritas dan berpegang pada kebenaran. ’’Selain doa untuk anak, sebenarnya nama itu sekaligus mengingatkan diri saya sendiri untuk berpegang pada kebenaran,’’ urai Arief.
Ada cerita tersendiri terkait kelahiran Tsabits. Awalnya, dokter memperkirakan kelahiran si jabang bayi akan berlangsung 15–20 April.
Di situlah Arief Khawatir. Sebab, 17 April merupakan puncak pemilu. Tapi, rupanya, Tuhan berkehendak lain. Pada pemeriksaan berikutnya, dokter memprediksi Tsabits akan lahir sebelum 12 April.
Kondisi Imawati mengharuskannya melahirkan dengan cara Caesar. Dokter pun mengusulkan agar persalinan berlangsung pada 4 April. Namun, Arief menawar. Dia menanyakan kepada dokter, apakah bisa bila operasi dilakukan 5 April siang, setelah salat Jumat.
Alasan memundurkan hari itu pun bukan karena alasan religius. Misalnya, hari baik atau semacamnya. ’’Terus terang, 4 April itu ada rapat di KPU yang tidak bisa saya tinggalkan,’’ tuturnya.
Satu hal yang tidak banyak diketahui publik adalah berbagai teror yang mengancam para personel komisioner KPU sepanjang proses rekapitulasi. Mulai teror pesan ancaman dari nomor tidak dikenal hingga ancaman terbuka lewat akun media sosial. Apalagi, para komisioner KPU mengelola akun sendiri.
Arief mengaku sudah terbiasa dan sengaja menyiapkan diri untuk menghadapi hal tersebut. Karena itu, ancaman personal biasanya diabaikan.
’’SMS yang mengancam keselamatan saya, mengancam mengebom saya. Bukan sekadar mengebom kantor saya ya,’’ ungkap pria kelahiran 2 Maret 1974 itu.
Termasuk ketika dia dituding mengesahkan rekapitulasi secara sembunyi-sembunyi. Padahal, prosesnya saat itu sangat terbuka dan semua pihak bisa melihat. ’’Keputusan rahasia apa, wong semua keputusannya dibacakan,’’ ucapnya, lantas tertawa.
Berbeda halnya bila ancaman itu berkaitan dengan institusi KPU. Misalnya, tudingan surat suara tujuh kontainer yang dicoblos terlebih dahulu.
Karena menyangkut legitimasi penyelenggaraan pemilu, dia dan para komisioner langsung menindaklanjuti. Sementara itu, ancaman personal biasanya diabaikan. ’’Saya harus menambah kewaspadaan saja,’’ katanya.
Bagi Arief, hikmah rekapitulasi kali ini adalah masyarakat semakin mengetahui bahwa pemilu adalah sebuah proses yang panjang dan transparan. Setiap tahapannya bukan hanya bisa, namun wajib, diberitahukan kepada publik. Tinggal apakah publik mau terus mengikuti proses yang transparan itu karena durasinya teramat panjang.
Arief menambahkan, setelah pemilu selesai nanti, dia belum akan berleha-leha. ’’Saya akan melanjutkan amanat yang saya terima sampai selesai,’’ tambahnya.
Juni mendatang KPU harus mempersiapkan tahapan pilkada serentak 2020. Undang-undang sudah memutuskan bahwa pemungutan suara Pilkada 2020 berlangsung pada September. Maka, setahun sebelumnya tahapan harus dimulai. Sebuah tugas berat yang kembali menanti Arief dkk. [jpnn]