GELORA.CO - Politikus PAN Mustofa Nahrawardaya ditangkap polisi. Pemilik akun @AkunTofa itu diduga menyebarkan hoaks dalam salah satu unggahan di akun Twitternya.
Kasus serupa pernah melibatkan simpatisan Jokowi-Ma'ruf, Ulin Yusron. Saat itu, Ulin sempat menyebarkan identitas terduga pengancam penggal Jokowi ke media sosial.
Perkara yang menimpa Mustofa berawal saat dirinya mengunggah video berisi oknum polisi memukuli seorang pria. Hal itu diduga terjadi saat kericuhan terjadi di Tanah Abang, pada 21-22 Mei 2019.
Mustofa turut menyampaikan akibat pemukulan itu, seorang anak bernama Harun tewas. Tapi, belakangan dia meralat unggahannya.
Unggahan itu, sontak viral. Sebagian pihak sempat menyebut video itu bukanlah di Indonesia, tapi di Thailand.
Wartawan mencoba menelusuri lokasi yang disebut-sebut sebagai tempat penganiayaan itu terjadi. Lokasinya, berada di depan salah satu masjid di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Wartawan juga menyambangi rumah Harun (15), bocah yang disebut Mustofa tewas akibat dipukuli. Namun, keluaraga memastikan orang yang dipukuli itu bukanlah Harun.
Polisi kemudian membenarkan adanya pengeroyokan oleh oknum polisi. Tapi, pria yang dipukuli tidak tewas. Pria itu, bernama Andriyansyah alias Andri Bibir. Andri Bibir lalu memberikan pertanyaan soal kejadian itu.
"Betul saya dan kejadian saat itu, memang pas di video itu saya sempat melarikan diri. Tapi ternyata di belakang ada sekomplotan Brimob dan saya balik kembali lagi ke lapangan itu, dan ternyata saya ditangkap," kata Andri.
Wartawan kembali menelusuri lokasi untuk mengetahui sosok Andri. Rupanya, warga tidak mengenal Andri.
"Bukan, bukan (anak sini), saya tahu kalau anak sini," kata Ketua RT 02 Kampung Bali Winda Deviati, di kediamannya, Sabtu (25/5).
Sementara itu, salah satu warga berinisial I yang ditemui kumparan di sekitar lokasi mengaku kenal dengan Andri. I juga mengaku tahu siapa saja orang-orang yang diamankan di parkiran tersebut saat aksi kericuhan.
"Dia justru enggak tidur di situ, si Andri, kalau yang tidur di situ si Markus, si Lubis," ungkap I.
Menurut I, selain Andri, ada tiga orang lainnya yang ikut diamankan di parkiran yakni Markus, Lubis, dan Julianto. Selain itu, ada juga satu tukang ojek yang diamankan bernama Iyo saat dia tengah tertidur di pangkalannya.
Mereka kemudian masuk dalam 11 orang yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kericuhan 21-22 Mei 2019.
Lalu, pada Minggu (26/5), polisi menjemput Mustofa di rumahnya di Pejaten, Jakarta Selatan. Tim IT BPN Prabowo-Sandi itu dijemput penyidik Bareskrim Polri sekitar pukul 02.00 WIB.
“Sudah ditangkap ya,” kata Kasubdit 3 Siber Bareskrim Polri Rickynaldo Chairul kepada kumparan, Minggu (26/5).
Tak lama setelah itu, polisi menetapkan Mustofa sebagai tersangka. Saat ini, dia masih diperiksa di Dit Siber Bareskrim Polri.
“Sudah jadi tersangka,” tambah Rickynaldo.
Nasib berbeda dialami oleh Ulin. Saat itu, Ulin mengunggah identitas lengkap pria bernama Cep Yanto dan Dheva Suprayoga yang diduga mengancam akan memenggal kepala Jokowi saat demo di Bawaslu.
Tindakan Ulin ini sempat menjadi sorotan karena sebenarnya, penyebaran data pribadi tanpa izin.
"Saya kira enggak boleh ya, itu UU Adminduk bisa dikejar dan bisa dituntut itu," kata Tjahjo di usai menghadiri acara bebas malaria di Desa Budaya Kertalanggu, Denpasar, Bali, Senin (13/5).
"Bisa kita laporkan ke polisi, yang berhak (menindak) itu adalah polisi," lanjut dia.
Undang-undang yang dimaksud, yakni Berdasarkan Pasal 95A UU Administrasi Kependudukan (Adminduk) menjelaskan, 'Setiap orang yang tanpa hak menyebarluaskan Data Kependudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (3) dan Data Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1a) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah)'.
Polisi akhirnya berhasil menangkap pengancam Jokowi. Tapi, pelakunya berbeda dengan identitas yang diunggah oleh Ulil. Pelaku yang ditangkap bernama HS. Ulil lalu meralat ucapannya dan meminta maaf. Permintaan maaf itu diunggah kembali lewat akun instagramnya.
"Mohon maaf kepada nama2 yang disebut dan keliru. Ini murni kesalahan menerima informasi dan mengolahnya. Terima kasih yang sudah meramaikan percakapan soal penggal sehingga telah menutupi demo," begitulah kurang lebih ucapan permintaan maafnya.
Terkait tindakan pidana, Polri juga angkat bicara. Saat itu, Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan, tidak bisa menindak karena belum menerima laporan dari warga yang dirugikan atas tindakan itu.
"Masyarakat yang dirugikan, kita belum bertindak dulu. Kita melakukan koordinasi dengan Dirjen Dukcapil juga menyangkut masalah UU Kependudukan itu," ungkap Dedi di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (16/5). [kp]