UTANG pemerintah naik 42 persen sepanjang tahun 2014-2019
Oleh: Salamuddin Daeng
Pemerintah Indonesia sekarang sedang terbelit masalah keuangan yang cukup melilit. Pemerintah berkali kali menaikan suku bunga obligasi Negara untuk menarik minat pembeli surat utang Negara.
Kebijakan ini membahayakan keuangan nasional karena bunga surat berharga pemerintah melebihi bunga deposito perbankan. Pemerintah menjebak dirinya dalam kebijakan yang membahayakan keuangan negara dan sekaligus membuat sektor perbankan terpuruk. (Baca link ini)
Tidak hanya itu berbagai langkah diplomasi luar negeri dilakukan pemerintah untuk mendapatkan utang, termasuk menjadi bagian dari proyek One Belt One Road (OBOR).
Kebijakan ini menyimpang dari strategi hubungan luar negeri bebas aktif, akan tetapi hubungan yang didasari oleh keinginan untuk mengemis utang yang justru menyeret negara dalam ketergantungan pada asing.
Kebijakan pemerintah yang bersandar pada utang amatlah membahayakan baik dilihat dari sisi kondisi fiscal maupun sisi makro ekonomi. Penerimaan Negara yang relatif kecil dan pendapatan perkapita masyarakat Indonesia yang relatif rendah, tidak memungkinkan bagi Indonesia untuk mengambil utang seperti Negara Negara berkembang lainnya.
Karena dapat menjadi pukulan balik bagi keuangan Negara dan beban rakyat. Beban bunga dan polok utang akan makin membesar dan untuk menutupinya maka pajak. Sewa. Tarif barang publik akan makin mencekik.
Mengingat utang pemerintah Indonesia sudah cukup besar. Utang pemerintah sampai dengan Maret Tahun 2019 mencapai Rp 5.066 triliun.
Utang pemerintah tersebut terdiri dari Utang Luar Negeri Pemerintah (ULN) senilai Rp 2.644 triliun dan Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp 2.421 triliun. (Diolah dari Data Bank Indonesia, Tahun 2018).
Utang Pemerintah telah bertambah sangat cepat. Antara tahun 2014 hingga Maret 2019 utang pemerintah telah bertambah sekitar Rp 2.140 triliun.
Jumlah tambahan utang tersebut hampir separuh (42 persen) dari jumlah utang pemerintah yang sepanjang sejarah republik ini berdiri.
Tambahan utang pemerintah yang paling besar sepanjang tahun 2014 hingga 2018 berasal dari SBN senilai Rp 1.337 triliun dan sisanya tambahan dari utang bilateral dan multilateral senilai Rp 802 triliun.
Berdasarkan data APBN tambahan utang pemerintah dari SBN saja tahun 2017 senilai Rp 433 triliun dan tahun 2018 senilai Rp 414 triliun.
Penyebab utama bertambahnya utang adalah minimnya sumber penerimaan Negara baik dari penerimaan dari bagi hasil ekploitasi sumber daya alam, maupun penerimaan pajak. Tambahan utang pemerintah setahun mencapai lima kali nilai penerimaan negara dari sumber daya alam.
Utang pemerintah semakin meningkat dan terus berakumulasi. Kejatuhan nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang asing ikut melipatgandakan jumlah utang, mengingat utang pemerintah sebagian besar dalam mata uang asing. Dengan kondisi pelemahan nilai tukar yang akan terus berlanjut maka nilai utang pemerintah tidak terprediksi dan dapat melompat secara tiba-tiba, sehingga mengancam keselamatan pemerintahan dan keselamatan Negara.
Akibatnya bunga utang pemerintah yang harus dibayar dengan pajak rakyat makin mengkhawatirkan. Setiap tahun pemerintah harus membayar kewajiban bunga utang Rp 238,6 triliun (2018) melebihi satu setengah kali belanja subsidi. Belum lagi jika ditambahkan dengan cicilan pokok utang dan utang jatuh tempo.
Jadi kalau Pemerintahan Jokowi mau menambah utang untuk menambal APBN 2019, maka sebaiknya harus dipikirkan masak masak. Karena itu bisa membahayakan pemerintahan ke mendatang.
Dengan beban utang jatuh tempo 2019 senilai Rp 400 triliun lebih, bisa membuat pemerintahan “ngerem mendadak” karena tidak ada uang.
Perang dagang Amerika Serikat Vs China telah menghantam seluruh harga komoditas, yang merupakan sumber keuangan utama pemerintah Indonesia baik penerimaan pajak SDA maupun PNBP SDA. Bayangkan saja di tengah situasi kewajiban pemerintah membesar. Sementara penerimaan anjlok. Istana Negara bisa disita pemberi utang!