GELORA.CO - Aparat kepolisian dinilai telah melebihi batas wajar saat menangani kerusuhan yang terjadi pada 21, 22, dan 23 Mei di sekitaran gedung Bawaslu RI. Untuk itu, negara harus bertanggung jawab atas perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).
Direktur Sekolah Konstitusi Indonesia, Hermawanto menjelaskan bahwa tugas polisi sebatas mengawal agar aksi berjalan secara lancar. Namun jika ada kerusuhan, polisi seharusnya hanya mengamankan perusuh, bukan melakukan tindakan kekerasan apalai kerusuhan tandingan.
"Ketika menghadapi aksi yang berubah menjadi brutal atau rusuh, tugas polisi mengamankan pelaku dan memproses secara hukum, bukan melakukan tindakan kekerasan tandingan, apalagi sampai jatuhnya korban," ucap aktivis HAM itu kepada Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (28/5).
Menurutnya, adanya korban luka-luka dan jiwa yang berjatuhan memunculkan indikasi bahwa aparat kepolisian berlebihan dalam menangani aksi.
"Jika kemudian Polri menyatakan korban bukan karena tindakan aparat, maka Polri harus buktikan siapa yang melakukan tindakan penembakan itu, sehingga korban meninggal. Sebab di lembaga kepolisian keamanan dan ketertiban ini menjadi tanggung jawabnya," tegasnya.
Sehingga, Hemawanto meminta kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) segera membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk mengungkap fakta-fakta penyebab korban berjatuhan.
"Biar jelas siapa yang harus bertanggung jawab," jelasnya.
Namun demikian, Hermawanto tetap menilai negara sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas perlindungan HAM.
“Dalam teori HAM negaralah pihak yang harus bertanggung jawab adanya perlindungan HAM," pungkasnya. [rmol]