GELORA.CO - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) merespons dinamika stabilitas keamanan dalam negeri pascapengumuman pemenang Pemilu Presiden (Pilpres) 2019. Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, meminta lembaga penyiaran tidak menayangkan hal-hal yang cenderung provokatif.
“Seluruh lembaga penyiaran untuk tidak menyiarkan tayangan bermuatan kekerasaan dalam liputan unjuk rasa terkait penetapan hasil Pemilu 2019, atau yang dapat mengarah pada tindakan provokatif,” kata Yuliandre di Kantor KPI Pusat, Jakarta, Rabu (22/5).
Menurut dia, dalam penyampaian berita, semua lembaga penyiaran harus senantiasa berpedoman berpedoman pada P3SPS. Mereka harus akurat, adil, berimbang, tidak berpihak, tidak beriktikad buruk, tidak menghasut dan menyesatkan, serta tidak mencampuradukkan fakta dan opini pribadi. Lembaga penyiaran juga dilarang menonjolkan unsur kekerasan, mempertetangkan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), serta membuat berita bohong.
Menurut Yuliandre, situasi yang terjadi saat ini harus disikapi lembaga penyiaran dengan menyiarkan informasi yang positif dan menyejukkan. Lembaga penyiaran memiliki tanggung jawab menjaga keutuhan bangsa dan menjaga rasa aman masyarakat dengan pemberitaan yang proposional.
“Pemberitaan tentang unjuk rasa diharapkan tidak difokuskan pada konflik yang terjadi di lapangan dan menimbulkan persepsi heroik,” ujar dia.
Yuliandre menjelaskan, penyampaian aspirasi melalui unjuk rasa merupakan hak warga negara, sepanjang sesuai dengan koridor undang-undang dan tidak menimbulkan gangguan pada warga negara lainnya. Untuk itu, KPI juga meminta lembaga penyiara menginformasikan berita yang mengarah pada kondisi pemulihan konflik dan mengedepankan nilai kesatuan dan persatuan bangsa. Porsi pemberitaan diharapkan lebih pada penyampaian informasi dengan narasumber dari pihak keamanan dan tokoh-tokoh dengan imbauan yang menyejukkan dan konstruktif.
KPI memberikan apresiasi kepada lembaga penyiaran yang telah menjalankan fungsi kontrol sekaligus perekat sosial melalui penyampaian informasi yang kredibel sebagai penyeimbang informasi yang beredar melalui sosial media. “Baik dalam bentuk live broadcast, video yang direkam dengan mempergunakan gadget, maupun deskrispi narasi yang cenderung tendensius,” ujarnya. []