Oleh: Ale Thalib (aktivis politik)
Saya searah pendapat dengan berbagai kalangan yang menyatakan bahwa partai Demokrat adalah partai yang patut dipertanyakan komitmennya kepada siapa berkoalisi. Dan tidak kurang pula yang menilai bahwa niatan berkoalisi Demokrat dengan Koalisi Adil Makmur hanyalah sebatas formalitas politik tanpa keseriusan utuh untuk memenangkan Prabowo - Sandiuno di kancah Pilpres 2019.
Penilaian itu bukanlah penilaian hayal-hayal, namun bisa saja menjadi suatu kebenaran jika di ukur melalui ulah-ulah kontoversial Andi Arief sebagai wakil Sekjen Partai Demokrat yang seringkali menjadi bahan pemberitaan media massa, yang jelas mengganggu keterpilihan Paslon 02 sepanjang masa kampanye.
Itupun belum pada kader Demokrat yang keluar dari rel koalisi seperti Soekarwo mantan Gubernur Jawa Timur yang di anggap paling berpengaruh dalam memetakan suara di Jawa Timur, yang di mana Jawa Timur adalah provinsi penentu suara nasional. Belum lagi sederet nama-nama kader berpengaruh Demokrat lainnya yang membelot mendukung petahana sekaliber Lukas Enembe, Tuan Guru Bajang, Deddy Mizwar, serta beberapa struktur Demokrat di beberapa daerah yang seolah tidak sungkan-sungkan untuk deklarasi mendukung petahana Jokowi.
Ditengah kecarut-marutan pasca Pemilu serentak 2019, AHY yang menurut saya adalah satu-satunya figur vital politik Partai Demokrat berkelanjutan hingga 2024, telah menjadi figur yang menonjolkan sisi pragmatis-oportunistik dengan berbagai manuvernya pasca Pemilu 2019 yang menunjukkan ketidaksolidaritasan berkoalisi dan nekat menyusup kebarisan petahana yang notabenenya ialah kubu massa yang berseberangan.
AHY yang sudah terlanjur dimusuhi oleh sebagian besar massa pendukung Jokowi semenjak Pilgub DKI 2017 (Kecebong) dan digandrungi oleh pendukung Prabowo (Kampret), kini AHY telah memunculkan sentimen negatif dan antipati publik yang berkepanjangan, yang otomatis menjadi suatu dilema yang akan menyulitkan dirinya serta Partai Demokrat dalam membangun simpati publik hingga 2024.
Jika menyaksikan perhelatan demokrasi Indonesia saat ini, saya menyimpulkan evaluasi bahwa demokrasi Indonesia saat ini adalah berangkat dari patokan norma-norma politik (norms of politic) sebagai asumsi pertentangan politik yang mengeksploitasi kehendak bebas publik secara kognitif. Sehingga, partisipasi politik publik meningkat statusnya menjadi euforia demokrasi yang terbelah menjadi dua konsentrasi, dan menempatkan publik kepada figur vital politik sebagai fakta yang berstempel paradigmtik.
Artinya, atas dasar itu saya menilai Demokrat akan mengalami kesulitan dalam memetakan kantong-kantong suara keterpilihan AHY hingga 2024. Sebab, AHY akan menjadi figur dengan catatan buruk yang terkoreksi penuh oleh cerminan politik partisipan yang terbelah menjadi dua konsentrasi hingga kedepan nanti. Bahkan pula mengandung resiko keterpilihan calon-calon anggota legislatif dari Partai Demokrat di Pileg 2024. (*)