Oleh : Hersubeno Arief.
Jumpa pers yang digelar capres Prabowo Subianto, Selasa malam (16/4) memberi sebuah harapan baru bagi Indonesia. Dia bertekad tidak hanya ingin meraih kekuasaan, namun memberikan warisan yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia.
Warisan yang ingin ditinggalkan oleh Prabowo adalah mengembalikan demokrasi pada jalur yang benar. Wujudnya adalah pemerintah yang bersih dan tidak menyalahgunakan kekuasaan ( abuse of power ).
Ada tiga komitmen Prabowo jika masyarakat Indonesia memberikan mandat kepadanya untuk memimpin Indonesia lima tahun ke depan bersama Sandiaga Uno.
Pertama, dia akan menyelenggarakan pemilu yang bersih dari kecurangan pada masa akhir jabatan. Prabowo juga menyatakan karena pilihan sikapnya itu, dia siap kalah terhormat, termasuk jika partainya Gerindra kalah dalam pemilu.
Kedua, dia berjanji tidak akan menggunakan TNI-Polri untuk kepentingan politik pribadi dan kelompoknya.
Ketiga, tidak akan menggunakan BUMN sebagai alat untuk kepentingan kelompoknya dan melanggengkan kekuasaannya.
Tiga komitmen Prabowo itu selain menohok dengan telak Jokowi, sekaligus memberikan gambaran masa depan demokrasi Indonesia yang lebih baik di bawah Prabowo.
Banyak pengamat baik dari dalam dan luar negeri yang mengkhawatirkan masa depan demokrasi Indonesia di bawah Jokowi.
Jokowi, seorang tokoh populer yang dianggap mewakili wajah politisi baru —di luar elit politik yang pernah terlibat di era Orde Baru— telah berubah menjadi anti demokrasi dan otoriter.
Tekanan untuk mempertahankan kekuasaan membuat Jokowi, seorang politisi sipil berubah menjadi seorang pemimpin yang anti demokrasi dan otoriter.
“Sekarang para kritikus dan para pendukung Jokowi sama-sama bertanya, seberapa aman sebenarnya (demokrasi) Indonesia dari kemunduran menjadi negara otoriter,” tulis Matthew Busch dalam artikelnya berjudul Jokowi’s Panicky Politics yang ditulis di laman Majalah Public Affairs.
Tim Lindsey dari University of Melbourne malah menyebut Jokowi sebagai Neo Orde Baru. Dalam artikelnya berjudul Jokowi in Indonesia’s ‘Neo-New Order’ di laman East AsiaForum.org.
Tanda-tanda bahwa Jokowi sudah mengarah pada sikap anti demokrasi ditulis secara rinci oleh seorang peneliti dari Australian National University (ANU) Tom Power.
Dalam artikel berjudul Jokowi’s authoritarian turn, yang dimuat pada laman Newmandala.org edisi 9 Oktober 2018, Tom Power menulis pemerintahan Jokowi telah melanggar norma demokrasi, melakukan politisasi hukum, melakukan politik sandera terhadap lawan politiknya yang terjerat hukum, melawan oposisi akar rumput, dan melakukan mobilisasi terhadap militer.
Pada masa kampanye dan mendekati pelaksanaan Pilpres 2019 fenomena yang disebut Tom Power menjadi semakin nyata. Mobilisasi aparat keamanan baik intelijen dan kepolisian, pemanfaatan aparatur birokrasi, penggunaan dana-dana bansos, dan dana CRS untuk merebut hati pemilih dilakukan secara terstruktur, massif dan terencana.
Dengan fakta-fakta penyimpangan pemerintahan Jokowi yang sangat kasar dan transparan, komitmen Prabowo menjadi sebuah ironi. Seorang politisi dengan latar belakang militer, malah lebih menujukkan komitmen atas penegakkan demokrasi dibanding politisi sipil.
Sebelum terjun ke politik, Prabowo adalah perwira tinggi berpangkat letnan jenderal. Dia juga lebih banyak menghabiskan karir militernya di pasukan tempur, Kopassus dan Kostrad. Tidak pernah memegang komando teritorial. Jabatan terakhirnya adalah Panglima Kostrad.
Persepsi yang selama ini dibangun oleh lawan-lawannya, bila berkuasa Prabowo akan mengembalikan masa-masa otoriter. Apalagi dia pernah menjadi menantu penguasa Orde Baru Soeharto.
Tiga komitmen Prabowo jika dia terpilih, meruntuhkan persepsi salah yang sudah terlanjur terbangun. Tiga komitmen itu bisa memberi gambaran kepada kita seperti apa demokrasi Indonesia kelak di bawah Prabowo.
Pernyataannya bahwa dalam alam demokrasi, bupati, gubernur, bahkan presiden bisa kalah menang silih berganti, menunjukkan pemahaman dan komitmennya yang tinggi atas demokrasi.
Ada mekanisme yang harus ditaati. Kekuasaan tidak harus dipertahankan mati-matian menggunakan berbagai cara. Halal, haram, hantam.
Bagi yang mengenal dekat Prabowo, sikapnya tersebut sesungguhnya tidak terlalu mengejutkan. Sejak remaja dia mengecap kehidupan di dunia Barat. Dia juga dibesarkan dalam keluarga yang cukup liberal.
Sebagai perwira militer, Prabowo adalah kelompok militer yang menjunjung tinggi demokrasi dan penghormatan atas pemerintahan sipil ( under civilian control ). Dia dikenal sebagai pengagum Habibie.
Sebaliknya dia juga berpandangan bahwa sebagai militer profesional, TNI tidak boleh dilibatkan dalam tugas-tugas di luar pertahanan negara. Apalagi tugas politik.
Dengan menyatakan tidak akan melibatkan TNI dan Polri untuk mengamankan kepentingan politik pribadi dan kelompoknya, Prabowo menjamin agenda reformasi TNI di bawah pemerintahannya akan terus berlanjut.
Di luar komitmennya menegakkan pemerintahan yang bersih dari kecurangan dan penyalahgunaan kekuasaan, dalam berbagai kesempatan Prabowo juga menyampaikan keprihatinannya atas kondisi bangsa yang terpecah belah.
Salah satu pekerjaan besar itu tampaknya akan segera diselesaikan pada hari pertama dia bekerja. Prabowo bertekad mencari bibit-bibit terbaik, otak-otak tercerdas sebagai pembantunya, tanpa memandang latar belakang politik dan asal usulnya.
Secara eksplisit dia bahkan menyatakan akan mengambil tenaga terbaik yang ada di pemerintahan Jokowi. “Selain cerdas yang paling penting akhlaknya,” ujar Prabowo.
Akhlak yang baik ini sangat penting karena Prabowo sangat benci kepada para pejabat pemerintah yang dia sebut sebagai “maling uang negara.”
Langkah Prabowo ini mengingatkan kita pada pemerintahan BJ Habibie pada masa reformasi. Saat itu Habibie menunjuk Yunus Yosfiah seorang jenderal dari pasukan baret merah Kopassus menjadi Menteri Penerangan.
Pada masa Yunus Yosfiah inilah keran kebebasan pers sebagai salah satu simbul utama demokrasi dibuka selebar-lebarnya. Lembaga SIUPP yang menjadi hantu insan pers dihapus. Pers Indonesia menikmati era kebebasannya.
Pada masa Yunus Yosfiah pula PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi wartawan.
Kebetulan Prabowo juga punya latar belakang yang sama dengan Yunus Yosfiah lama menghabiskan karirnya di lingkungan Kopassus. Saat operasi militer di Timor Timur Prabowo adalah salah satu anak buah kesayangan Yunus Yosfiah. Saat ini Yunus Yosfiah adalah Wakil Ketua Dewan Penasehat Gerindra.
Apakah kita akan melihat warisan Prabowo untuk Indonesia bakal terwujud? Rakyat Indonesia lah yang akan menentukannya. end