FOTO surat dan video terkait kecurangan Pilpres viral. Bentuknya macam-macam. Sangat banyak jumlahnya. Tak ada yang bisa bantah.
Apapun bentuk klarifikasi tak akan bisa membalik fakta yang ada di otak rakyat. Apa yang rakyat telah lihat, tonton dan rasakan tak akan bisa dianulir oleh argumentasi apapun. Apa yang mereka lihat lebih nyata dari kata-kata yang keluar dari lidah siapapun.
Seorang Ajun Komisaris Sulman Aziz, eks Kapolsek Pasirwangi Garut Jawa Barat, mengaku telah diberi instruksi untuk memenangkan paslon tertentu. Habis itu, dianulir dengan memberikan keterangan bahwa dia khilaf atas pengakuannya itu.
Kita tak perlu menyimpulkan mana yang benar: pengakuan pertama, atau pengakuan yang kedua? Rakyat tidak bodoh. Pesan yang disampaikan eks Kapolsek ini sudah ditangkap substansinya oleh rakyat.
Sejumlah video keterlibatan aparat dalam kampanye untuk mendukung paslon tertentu seolah mengkonfirmasi pengakuan eks Kapolsek itu. Makin kuat file itu tersimpan di kepala rakyat. Dan tak akan bisa dibantah oleh siapapun. Kendati rakyat diam dalam keprihatinan.
Lalu, bagaimana efektivitas Telegram (TR) Kapolri yang menginstruksikan agar polisi netral? Ada dua pertanyaan di benak publik: Pertama, apakah instruksi itu serius? Kedua, apa ada jenderal lain yang lebih kuat dari Kapolri?
Tak hanya aparat, beredarnya surat pernyataan seorang lurah untuk memenangkan paslon tertentu juga bentuk pelanggaran yang lain. Instruksi Bupati kepada para lurah untuk memobilisasi warganya agar pilih paslon tertentu juga bagian dari pelanggaran kampanye.
Belum lagi instruksi para menteri kepada jajaran pegawainya di bawah. Masyarakat tidak buta untuk menyaksikan tontonan yang memprihatinkan itu.
Pasukan sembako berkeliaran di jalan hingga gang. Menebar satu bungkus berisi beras dan sarimi untuk ditukar nasib rakyat selama lima tahun ke depan. Kalender, majalah dan selebaran menyasar masjid dan pesantren.
Kampanye hitam atau black campign terus bergerilya menyasar dan merusak otak serta moral rakyat. Lalu, ke mana Bawaslu? Cukup dengan satu jawaban: mandul! Hari gini anda masih tanya Bawaslu?
Pemilu kali ini tak kalah joroknya dengan Pemilu masa Orde Baru. PNS dan aparat diarahkan, bahkan diwajibkan dukung paslon tertentu. Kalau tak dukung? Ancaman mutasi, tak naik pangkat, sampai dicari kesalahannya untuk dipecat. Sadis!
Demokrasi, satu-satunya hasil reformasi yang paling nyata telah dijajah. Kebebasan rakyat dibungkam dengan UU ITE. Pers disandera dengan pajak dan iklan. Kemerdekaan ulama berceramah diintimidasi dan dipersekusi.
Yang tersisa dari rakyat hanya satu saja yaitu Tuhan. Mengeluh kepada-Nya? Tak cukup! Karena Tuhan sudah mendelegasikan urusan bumi kepada rakyat.
Setelah nabi tak lagi ada, wahyu berhenti turun, para ulama dan cendekiawan memegang tongkat estafet untuk menjaga moralitas bangsa. Kepada mereka, Tuhan "mewariskan" mandat kenabian.
Di masing-masing paslon ada ulama dan cendekiawannya.
Khususnya di kubu paslon 01. Karena peluang dan akses pelanggaran paling besar ada di pihak penguasa. Dan kenyataannya memang demikian. Maka, ulama dan cendekiawan yang mengawal paslon no 01 mesti merasa lebih bertanggung jawab atas tugas ini.
Dibutuhkan nyali dan keberanian untuk mencegah dan menghentikan segala bentuk kecurangan itu.
Ulama sudah seharusnya ada di atas umara'. Itu posisi yang proporsional, tepat dan benar. Ulama adalah pengendali umara'. Bukan sebaliknya. Di antara tugas mereka adalah memberi nasehat yang baik dan menegur jika terjadi kecurangan.
Ulama, siapapun dan dari kubu manapun, tidak boleh diam atas adanya kecurangan. Tak ada tempat bersembunyi untuk menghindari tugas mulia ini; yaitu "nahi mungkar". Ah, itu hoax!
Ulama yang banyak dalih dan dalil untuk menutupi kekerdilan dan kebanciannya dalam menghadapi kemungkaran adalah "ulama hoax". Jadi, yang hoax bukan informasi dan kasusnya, karena itu jelas dan telanjang di mata rakyat. Yang hoax adalah ulama-nya.
Jika ikhtiar para ulama mentok, disitulah Tuhan akan ambil tugas itu. Tuhan akan hadir untuk menghadapi sendiri kecurangan itu. Tak ada yang lebih kuasa dari Tuhan. Soal ini, saya pikir semua sepakat. Kecuali mereka yang tak ber-Tuhan. Yang tak ber-Tuhan berati tak Pancasilais.
Tuhanlah tempat pengadilan terakhir setelah ikhtiar maksimal yang dilakukan ulama. Dan keputusan Tuhan tidak pernah hoax. Yang hoax adalah perilaku dan sikap ulama yang lari dari tanggung jawabnya.
Siapapun pemenang Pilpres, itu memang penting bagi sejarah negeri ini. Tapi, yang lebih penting lagi adalah bagaimana proses moral dalam meraih kemenangan itu. Ulama paling bertanggung jawab memastikan bahwa proses Pilpres itu bermoral dan sesuai aturan. []
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa [rmol]