Oleh: Chazali H. Situmorang *
BERITA akan diberikannya sanksi kepada UAS, oleh MenPAN-RB, karena bertemu dengan Prabowo Kamis, 11 April 2019 yang lalu, dan memberikan nasehat kepada Prabowo, “kalau menjadi pemimpin jadilah pemimpin yang adil”, menjadi berita yang viral di berbagai media, mengimbangi kasus tercoblos (dicoblos?) surat suara Pemilu di Malaysia.
Saya kutip pernyataan Kepala BKN dan Asdep Pembinaan Integritas dan Penegakan Disiplin SDM KemenPAN-RB, supaya jangan sampai dituduh menyebarkan berita hoaks, sebagai berikut:
Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana, yang menyatakan tindakan UAS bertemu dan mendukung capres nomor urut 02 Prabowo itu dinilai sebagai bentuk politik praktis.
“UAS sudah berpolitik praktis. Itu tidak boleh, kan beliau dosen PNS. Meski alasan cuti pun tetap tidak bisa," kata Bima kepada JPNN, Jumat (12/4).
Secara tegas, Bima Haria menilai, UAS telah melanggar SE Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) tentang Pelaksanaan Netralitas serta PP 42 Tahun 2004 tentang Kode Etik PNS, aturan mainnya sudah jelas. Jangankan bertemu, memberikan tanda like di Facebook saja tidak boleh.
Menurut Bambang Dayanto Sumarsono, asisten deputi Pembinaan Integritas dan Penegakan Disiplin SDM KemenPAN-RB, apa yang dilakukan UAS melanggar aturan netralitas PNS. Di samping bertentangan dengan PP 42 Tahun 2004 tentang Kode Etik PNS, yang sampai sekarang belum dicabut.
"Itu sudah jelas melanggar aturan. Apalagi videonya sudah viral dan ditonton jutaan orang," kata Bambang kepada JPNN, Jumat (12/4).
Dia menjelaskan, terlepas profesi UAS yang juga ulama, tetapi harus menjaga dirinya karena status PNS masih melekat. Berbeda bila UAS bukan PNS.
Sebagai PNS, lanjutnya, UAS harusnya menahan diri. Walaupun mendukung salah satu capres, tetapi sebaiknya jangan diutarakan apalagi sampai dipublikasikan.
"Kalau lihat videonya memang kapasitasnya sebagai ulama. Namun, kan perbincangan dengan capresnya di unggah dan ditonton banyak orang. Nah di sini kena delik pelanggaran netralitas," ucapnya.
Untuk mengetahui apakah yang dilakukan UAS ada unsur kesengajaan atau tidak, Bambang mendesak Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) untuk memanggil sang ulama. UAS perlu dimintai kelarifikasinya. Bila terbukti bersalah ada sanksi yang akan diberlakukan.
Lalu apa inti nasehat UAS kepada Prabowo, yang juga sudah diketahui oleh rakyat banyak dan menjadi viral di seluruh media sosial dan media mainstream, poin pentingnya adalah:
1. Setiap UAS ceramah di seluruh wilayah Indonesia, tidak ada UAS “menyuruh” salam dua jari kepada para jema’ahnya. Bahkan diingatkan kita diberi 10 jari, kenapa yang ditunjukkan 2 jari. Menunjukkan para jemaah pendukung Prabowo.
2. Ada Ijtima’ Ulama, dan UAS bagian dari Ijtima’ Ulama tersebut. Hasil Ijtima’ Ulama mendoakan dan mendukung Prabowo sebagai Calon Presiden. UAS menegaskan hal tersebut. Karena UAS adalah seorang Ulama yang diakui oleh Umat Islam, apapun ormas Islamnya.
3. UAS menyampaikan “bisikan” Ulama yang tidak media darling, tetapi mempunyai tingkat ke-Ulamaan yang tidak perlu diragukan lagi. Beberapa Ulama tersebut membisikkan kepada UAS, bahwa Ulama tersebut bermimpi bertemu Prabowo, bahkan sampai 5 kali.
4. UAS memberikan parfum dan tasbih, yang memberikan iktibar agar Prabowo jika jadi Pemimpin harus memberikan keharuman kepada rakyatnya, dan sering mengingat nama Allah SWT, supaya batinnya tidak kosong. Jika kosong yang mengisinya syetan.
5. UAS mengajak Prabowo doa bersama, yang isinya secara eksplisit tidak ada menyebutkan nama Prabowo di doakan menjadi Presiden. Tetapi bermunajat kepada Allah SWT, supaya diberikan pemimpin yang adil dan menjaga Pancasila dan NKRI.
6. UAS harus bertemu dengan Prabowo, karena ada desakan dalam hati nuraninya, untuk menyampaikan apa yang ditemukan dan dirasakan di tengah jema’ahnya, serta bisikan beberapa Ulama “langit” kepada UAS
7. Dalam pertemuan tersebut, secara verbal tidak ada kita dengar UAS menyebut secara personal mendukung Prabowo. Dia hanya menyampaikan suasana bahin Umat yang sudah di cross check dengan berbagai cara. Karena kekhawatiran UAS atas “tipuan” mata yang dilihatnya.
8. Kenapa UAS tidak bertemu dengan Jokowi. Karena tidak ada suasana batin yang muncul selama ceramah tersebut menyebut nama Jokowi. Termasuk tidak ada bisikan dari Ulama “langit” untuk Jokowi.
Kepada Aparatur Negara, yang sedang diberikan amanah sebagai Penyelenggara Negara, dan membuat penjelasan yang saya kutip diatas, disarankan untuk berpikir ulang, dan mengkajinya lebih arif, dan mengedepankan ketentraman masyarakat dalam suasana menjelang Pemilu yang tinggal 3 hari lagi.
Statement para pejabat tersebut, menggambarkan bahwa Pejabat negara saat ini, berbicara tidak dengan hati nurani. Pendekatannya adalah kekuasaan. Mereka lupa bahwa kekuasaan Allah SWT itu adalah sebesar-besarnya kekuasan, dan bersifat permanen.
Kekuasaan manusia itu, hanya tergantung selembar SK. Jika SK nya dicabut, maka otomatis terbang juga kekuasaan.
Dengan kedelapan poin yang saya cantumkan diatas, persoalan netralitas dimaksud yang harus diperankan PNS, apa lagi seorang Dosen PNS (UAS) dan sedang menjalankan perannya sebagai Ulama melakukan dakwah kepada Umatnya, apakah sudah cukup pantas disebut melanggar “netralitas” dimaksud.
Sekali lagi, saran saya kepada para Birokrat di men-PAN-RB dan BKN, mari kita jaga suasana sekarang ini agar tetap tenang, biarkanlah ASN itu bergembira menentukan pilihannya dalam Pemilu 17 April 2019.
Jangan ditakuti-takuti segala ancaman, sanksi, hanya karena pilihan yang berbeda. Hiduplah perbedaan. Dengan perbedaan kita akan saling kenal satu sama lain.
Cibubur, 13 April 2019
*) Pemerhati Kebijakan Publik