Oleh: Dahlan Iskan
Tuduhan untuk Brenton Tarrant berubah. Semula hanya dituduh melakukan pembunuhan. Kini tuduhannya baru: ‘melakukan 50 pembunuhan dan 29 percobaan pembunuhan’.
Perkembangan baru persidangan pengadilan Jumat lalu itu tentu jauh dari yang Tarrant bayangkan sebelumnya.
“Paling saya nanti dihukum 27 tahun,” tulis Tarrant di media sosial.
Sebelum Tarrant datang ke dua masjid di Selandia Baru. Dengan menyandang senjata otomatis. Dan kamera menempel di keningnya. Agar aksinya hari itu bisa disiarkan secara live streaming. Saat ia menembaki jamaah salat Jumat. Di Masjid An Noor di pusat Kota Christchurch dan masjid yang lebih kecil di Jalan Linwood. Jumat 15 Maret lalu.
Korbannya: 50 orang tewas, 29 terluka. Salah satunya Alen Alsati, anak berumur 5 tahun. Yang baru bisa siuman seminggu lalu. Yang saat dijenguk Pangeran William dari Inggris Alen sudah mulai bisa bicara. Pendek-pendek.
“Apakah Pangeran juga punya anak kecil?,” tanya Alen.
“Punya. Seumur kamu,” jawab Pangeran.
“Siapa namanya?”
“Namanya Charlotte… “.
“Siapa nama panggilannya?”
“Panggilannya juga Charlotte,” jawab Pangeran.
Ayah Alen sendiri sudah sembuh. Yang juga terkena tembakan di bahu dan perut.
Tarrant langsung mengakui tuduhan itu. Dengan persiapan mental ‘paling 27 tahun’ itu.
Tapi dengan tuduhan baru itu tidak bisa dibayangkan: berapa ratus tahun hukuman yang akan dijatuhkan kepada Tarrant.
Saat membayangkan ‘paling dihukum 27 tahun’ Tarrant menganggap itu enteng. Bahkan heroik. Kalau pun harus masuk penjara “sama dengan Nelson Mandela,” tulisnya. “Dan setelah itu menerima hadiah Nobel perdamaian,” tambahnya.
Motif utama Tarrant Anda sudah tahu: bukan agama. Agama hanya terikut. Yang lebih ia perjuangkan adalah supremasi kulit putih.
Itu bermula setelah ayahnya meninggal dunia. Tahun 2011. Tarrant mendapat warisan. Ia pergunakan uang itu untuk jalan-jalan. Ke berbagai negara. Timur dan barat.
Saat berada di Perancis jiwa Tarrant tersedak. Ia melihat begitu banyak imigran. Ia khawatir. Eropa yang putih lama-lama akan hilang keputihannya.
Lihatlah manifesto Tarrant. Yang diposting di Facebook itu. Yang panjangnya 74 halaman itu. Juga di Twitternya. Dengan followers 19 juta. Begitu terusiknya jiwa Tarrant. Jiwa yang menurutnya tetap jiwa Eropa. Meski ia sendiri orang Australia. Lahir di Australia.
“Aslinya bahasa saya bahasa Eropa, budaya saya Eropa, keyakinan politik saya politik Eropa, filosofi saya filosofi Eropa, identitas saya Eropa, dan yang terpenting darah saya darah Eropa” tulisnya.
Di Perancis itu Tarrant menggambarkan sesuatu yang mengganggu ke-Eropaan-nya. Besarnya jumlah orang non-putih yang ia lihat saat itu ia gambarkan sebagai ‘invasi imigran’.
Nenek Tarrant, Marie Fitzgerald mengakui sejak pulang dari jalan-jalan itulah ia berubah.
Tarrant yang dulu bekerja di pusat kebugaran menjadi lebih asik di dunia medsos. Ketemulah di situ orang-orang yang juga gelisah. Akan menurunnya dominasi kulit putih.
Banyak ide aksi yang muncul di pikirannya. Termasuk merencanakan pembunuhan imigran dengan cara yang spetakuler: live show.
Maka live streaming pembunuhan massal itu begitu mengerikan. Begitu dramatik. Begitu lama: 17 menit. Abadi di medsos. Memang video aslinya sudah dihapus dari YouTube tapi rekamannya terus beredar.
Dan yang tidak bisa dihapus adalah seruan Tarrant itu: “Ingatlah wahai para muda. Berlanggananlah PewDiePie”.
PewDiePie adalah milik Youtuber kulit putih. Yang lagi berjuang mengalahkan Youtuber kulit berwarna dari India. Tinggal sedikit lagi akan menang.
Rupanya Tarrant memenuhi syarat kekhasan generasi muda sekarang: sadar medsos. Ia seperti Anda juga. Begitu terkesan dengan tayangan PewDiePie di YouTube. Yang tema pokok contennya sebenarnya ngajak asyik bermain: let’s play. Tapi kadang terasa pesan perjuangan kulit putihnya.
PewDiePie memang top. Subscriber YouTube-nya terbesar kedua di dunia: 95 juta orang. Jumlah viewernya 21 miliar.
Di balik PewDiePie itu adalah pemiliknya: Felix Kjellberg. Nama lengkapnya Felix Arvid Ulf Kjellberg. Kelahiran Swedia. Tinggal di Brighton, Inggris. Bersama pacarnya: gadis Italia. Namanya Marzia Bisognin. Yang dikenalnya sebagai sesama Youtuber. Felix sampai mengejarnya ke Italia. Tinggal di sana.
Sebelum akhirnya tinggal bersama di Brighton. Mereka suka tinggal di kota kecil. Di dekat pantai. Dan lagi, pengakuannya, jaringan internet di Inggris lebih baik dari Swedia atau Italia.
Felix memang Youtuber asli. Kuliahnya pun ia tinggal. Drop out. Dari studi teknik di Chalmers of Technology University di Gotenberg, pantai barat Swedia. Untuk menekuni bidang desain, grafis, editing foto. Itulah modal utamanya untuk menjadi Youtuber profesional.
Tentu awalnya tidak bisa langsung menghasilkan uang. Felix harus hidup. Ia pun pilih jualan hotdog di pinggir jalan. Daripada kuliah. Meski bapaknya seorang eksekutif perusahaan. Ibunya juga. Di barat seorang anak yang sudah 18 tahun pantang minta uang ke orang tua.
Hasil jualan hotdog itulah. Ditambah hasil jualan beberapa karya olahan photoshopnya itulah. Ia bisa beli komputer. Agar bisa lebih serius dalam membuat content YouTube-nya.
Tiga hari lalu Felix memposting edisi khusus. Selama 4 menit. Isinya klarifikasi. Bahwa ia bukan seorang white supremacy. Tidak seperti yang dikesankan oleh meme yang dibuat Tarrant.
Felix juga menjelaskan bahwa isi postingan yang seperti itu bukan dimaksudkan untuk bisa mendapatkan subscriber lebih banyak.
Memang ada kesan Felix lagi mengejar status juara dunia. Untuk bisa segera menjadi Youtuber terbesar di jagad raya. Kurang beberapa juta lagi sudah akan mengalahkan T-Series. Yakni Youtuber Bollywood dari New Delhi. Yang isinya tentang musik. Yang subscriber-nya 95.6 juta.
Kejar-kejaran sebagai yang terlaris itulah yang membuat Felix seperti menghalalkan segala cara. Termasuk mengejar subscriber dari kalangan fanatik white supremacy. Sampai-sampai ada Youtuber yang isinya khusus menyerang Felix. Dan subscriber-nya juga jutaan.
Felix bisa saja mengejar T-Series. Dalam hal memperoleh subscriber. Tapi akan sulit mengejar jumlah viewer T-Series. Yang sekarang sudah mencapai 65 miliar. Masih tiga kali lipat viewer PewDiePie.
Semula saya bingung mencari arti PewDiePie. Ternyata itu gabungan nama lama dan baru.
Nama lama ‘rumah’ Felix adalah PewDie. Diambil dari kegemaran ya main game. Terutama tembak-menembak. Pew adalah bunyi tembakan. Menurut telinga orang Swedia. Mirip ‘dor’ di telinga kita. Atau ‘bang’ di telinga orang Amerika.
Die adalah hasil tembakan itu: mati. Nama PewDie bisa diartikan: Dor! Mati!
Suatu saat Felix lupa password rumahnya itu. Terpaksa ia bikin ‘rumah baru’. Kebetulan ia suka makanan pie. Jadilah: PewDiePie.
Tarrant tidak hanya menyebut nama PewDiePie di manivestonya. Aksi pembunuhan massalnya itu disebutkan terinspirasi oleh Candace Owens. Seorang wanita muda Amerika. Yang, anehnya, kulit hitam.
Umur mereka sepantaran. Tarrant, Felix dan Candace adalah anak muda 28-29 tahunan.
Owens juga tidak lulus universitas di kota kelahirannya: Stamford, Connecticut. Semula dia ambil mata kuliah jurnalistik. Sebelum lulus Owens sudah bisa diterima bekerja di majalah wanita Vogue.
Waktu SMA Owens jadi korban bully. Yang bersifat rasialis. Dia telusuri sumber bully itu. Ternyata anak walikota Stamford.
Dengan bantuan seorang pengacara Owens menggugat sang walikota. Dianggap gagal melindungi warga kotanya. Owens pun mendapat ganti rugi hampir Rp 500 juta.
Sejak itu Owens menjadi lebih aktif di medsos. Membela para korban bully. Namanya jadi terkenal. Dia bikin website yang isinya daftar pembully. Dan menyerang mereka.
Owens lantas juga masuk ke isu-isu politik.
Setahun sebelum Pilpres 2016, isi website Owens masih Pro-Demokrat. Masih anti Trump. Anti konservatif. Bahkan berani mendoakan agar Tea Party segera mati.
Tentu Owens dibenci kalangan republikan. Tea Party adalah sayap radikal konservatif yang sangat penting. Seperti RSS di BJP-nya Narendra Modi di India.
Saking antinya pada Trump, Owens sampai berani membuat meme sensitif: ukuran kemaluan Trump. Yang di Amerika diisukan sangat kecil itu.
Tapi dalam satu malam Owens berubah haluan: pro-konservatif, pro Donald Trump dan amat anti Demokrat. “Demokrat-lah yang sangat rasialis,” tulisnya.
Dia melawan pendapat umum: Republik-lah yang lebih rasialis.
Pokoknya sejak satu malam itu Owens membenarkan apa pun yang diucapkan Trump. Sampai-sampai Trump memuji Owens setinggi langit.
Sampai Trump menilai komentar-komentar politik Owens itu telah membawa impact yang besar bagi perpolitikan nasional Amerika. Candace ia nilai sebagai pemikir besar.
Owens seperti terbang melambung tinggi. Pro-konservatifnya kian menjadi-jadi.
Suatu saat Owens menyelenggarakan Blexit rally. Untuk mendukung Trump. Agar kelompok kulit hitam pindah ke Trump. Rally itu sukses. Pesertanya banyak. Umumnya orang kulit putih.
Tidak segan-segan Owens menunjukkan sikap pro Ku Klux Klan. Yang sudah dilarang di Amerika. Sebagai gerakan yang ultra white supremacy.
Sampai-sampai Owens sendiri anti gerakan kulit hitam paling berpengaruh di Amerika: Black Lives Matter.
Owens baru kena batunya ketika kelihatan juga pro-Hitler. Menjadi olok-olok nasional di Amerika.
Minggu lalu Owens juga bikin klarifikasi. Membersihkan namanya dari apa yang dilakukan Tarrant di Selandia Baru.
Tarrant mengejar popularitas lewat live streaming pembunuhan massal yang dilakukannya. Felix mengejar popularitas lewat karirnya sebagai Youtuber. Owens mengejar popularitasnya lewat komentar-komentar ekstrimnya.
Adakah unsur kejiwaan narsistis-negatif yang berlebihan di balik setiap aksi teror?
Itulah yang lagi diteliti para ahli kejiwaan tentang dampak sosmed zaman ini.[psid]