JOKO Widodo boleh unggul dalam hitungan elektabilitas, karena data statistik itu memang milik kekuasaan. Kekuatan intelejen juga dia punya, dan media massa dikendalikan. Sangat wajar dalam hitungan angka Jokowi menang.
Jualan elektabilitas lembaga survei memang sangat menjanjikan, karena mereka harus menyetor hasilnya ke pemesan survei. Dan angka untuk menyenangkan hati pastinya yang akan disodorkan.
Jangan heran, publik dihujani dengan angka elektabilitas tiap minggu dipromosikan. Setiap lembaga survei memiliki angka yang berbeda, tetapi mereka harus menetapkan setoran di atas angka 50 persen.
Hanya Litbang Kompas dan PolMark yang berani merilis angka petahana di bawah 50 persen. Bahkan itu menggegerkan, hingga frustasi dimana-mana. Pembicaraan tidak menentu, hingga ingin melawan semua orang.
Angka survei itu ibarat "angka prediksi togel" belum tentu benar. Sebab banyak survei yang telah merilis surveinya, tetapi ketika pemilihan dilakukan sungguh sangat jauh. Akurasi data pun diragukan, tingkat kepercayaan yang tadinya 95 persen menjadi 50 persen.
Tetapi realitas lapangan dan histeria massa di bawah sangat berbeda dari apa yang di survei. Lalu siapa yang disurvei itu? Kalau masyarakat umum disurvei secara random, saya tidak percaya angka untuk Jokowi di atas 50 persen.
Sebab setiap lembaga survei merilis hasil surveinya, mereka selalu mengatakan ada kenaikan signifikan bagi Prabowo, sementara Jokowi mengalami stagnasi bahkan cenderung turun. Tetapi ketika hitungan angka selisih tetap 20 persen selisih elektabilitas.
Jadi Jokowi turun dan Prabowo naik itu ditempatkan dimana? Kok selisihnya masih 20 persen? Ini juga menimbulkan tanda tanya.
Apalagi gejolak perubahan datang dari masyarakat bawah. Kekuatan rakyat menyatu dalam satu ucapan, yaitu Indonesia Adil Makmur dan Indonesia Menang.
Lalu logika menangnya dari mana? Logika menang itu datang dari angka setoran elektabilitas itu. Tetapi pada realitasnya angka itu sangat diragukan.
Di media sosial, Jokowi malah kalah jauh dari Prabowo. Kekuatan rakyat di media sosial begitu sangat progresif, sama dengan di lapangan ketika Prabowo dan Sandi berkunjung.
Pergerakan massa di lapangan dengan gerakan media sosial hampir sama, bahwa Prabowo mengungguli kedua medan itu.
Rakyat ingin perubahan, setelah janji dan pencitraan mengelabui mereka, sekarang mereka sadar bahwa semua itu adalah tipuan. Apalagi Sandi effect sangat luar biasa menarik simpati kaum milenial dan emak-emak.
Sandi effect ini mengalahkan popularitas Jokowi 2014 lalu. Sementara itu Jokowi memudar, Kiai Maruf pun tidak bisa diharapkan. Memang di kubu 01 semua lemah. Calonnya lemah, narasinya lemah, kekuatannya lemah. Hanya mengandalkan kekuatan rakyat yang mengambang, dan itu bukan penentu, penentu itu adalah kekuatan rakyat yang bergerak secara serentak dalam satu cita-cita dan visi bersama.
Kesamaan cita-cita dan visi bersama ini hanya ada di Prabowo-Sandi, sementara Jokowi tidak memiliki itu. Itulah sebabnya, sulit bagi kita untuk mencari keunggulan Jokowi sehingga bisa dikatakan menang dalam pemilu 17 April nanti.
Di lapangan kalah jauh, di media sosial kalah telak, di narasi tidak ada. Yang ada hanya mengandalkan kekuasaan dengan menggerakkan berbagai amunisi dan sumber daya. Tetapi bagi saya itu tidak akan menyelamatkan Jokowi.
Jokowi tengah dihukum oleh massa dengan cara tidak menyebutkan pilihannya, tetapi mereka sudah punya pilihan. Informasi yang saya dengar, menurut internal Jokowi, hampir 70 persen ASN tidak memilih Jokowi.
Itulah yang membuat frustasi berat dari kubu Jokowi dan ini menjadi point penting, bahwa kaum terpelajar sudah mulai tercerahkan dan kelas menengah telah sadar dari pencitraan. Dan ingat, kelas menengah memiliki jumlah yang besar, dan mereka adalah orang-orang yang terpelajar dan itulah kenapa saya mengatakan sulit bagi kita untuk mencari alasan untul mengatakan Jokowi menang. Wallahualam bis shawab.
Furqan Jurdi
Ketua Umum Komunitas Pemuda Madani.
[rmol]