Soal Rekonsiliasi Jokowi dan Prabowo, Teringat Perang Shiffin

Soal Rekonsiliasi Jokowi dan Prabowo, Teringat Perang Shiffin

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

Oleh Ma'mun Murod Al-Barbasy, Dosen FISIP UMJ

Mendengar pemberitaan terkait permintaan Luhut Binsar Panjaitan (LBP) untuk bertemu Prabowo Subianto (PS), saya jadi teringat Perang Shiffin, perang antara pasukan Muawiyah bin Abu Sofyan dengan Ali bin Abi Thalib. Menyikapi permintaan LBP, PS disarankan oleh banyak tokoh untuk tidak menerima LBP, karena dinilai lebih banyak madaratnya.

Perang Shiffin terjadi sebagai impact atas terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan. Saat itu Ali yang dibay"ah menjadi Khalifah pengganti Usman, dinilai lambat dalam mengusut kematian Usman. Perang Jamal antara pasukan Aisyah dengan pasukan Ali tak terelakan. Penyebabnya, Aisyah juga menuding Ali lambat dalam mengusut kematian Usman. Suasana semakin panas. Muawiyah (Gubernur Syam), sepupu Usman tak kunjung juga memberikan bay"ah terhadap Ali. 

Muawiyah satu-satunya gubernur yang tidak mau berbay’ah. Bahkan Muawiyah mempolitisir kematian Usman, di mana jubah Usman yang berlumuran darah digantung di Alun-Alun Damaskus sambil membangun opini bahwa Ali berada di balik terbunuhnya Usman.

Karena Muawiyah tak juga mau berbay’ah, Ali memutuskan untuk mengirm pasukan guna memerangi Muawiyah. Rupanya Muawiyah meladeni dan menerima tantangan Ali. Muawiyah “menyewa” mantan Gubernur Mesir, Amr bin Ash. Sementara Ali memimpin langsung pasukannya. Akhirnya, kedua pasukan ini bertemu di Bukit Shiffin dan pertempuran pun terjadi.

Pada pertempuran ini, pasukan Muawiyah menyerah sehingga pasukan Ali bisa disebut mengalami kemenangan. Pada saat itu, selaku panglima pasukan Muawiyah, Amr bin Ash mengangkat al-Qur’an diujung tombak sebagai tanda menyerah.

Mengetahui Amr bin Ash menyerah, pasukan Ali yang berada di depan (belakangan disebut Khawarij), meminta Ali untuk menghentikan pertempuran. Namun sebaliknya, Ali tetap memerintahkan pasukannya untuk terus berperang. “Saya kenal Amr bin Ash sejak kecil. Amr bin Ash itu licik”. 

Untuk diketahui, sebelum masuk Islam, Amr bin Ash adalah pemimpin pasukan kafir Quraisy yang mengejar 13 sahabat, salah satunya Ali, yang hijrah ke Habasyah (Ethiopia) yang rajanya Nasrani bernama Najasi, yang dikenal adil. Karena desakan untuk menghentikan perang dari pasukan di garis depan, akhirnya Ali pun menghentikan pertempuran.

Apa yang diperkirakan Ali benar terjadi. Menyerahnya Amr bin Ash ternyata hanya siasat licik untuk mengajak Ali duduk di meja perundingan. Bayangkan, sudah kalah masih pula mengajak berunding. Ali pun terpaksa memasuki meja perundingan. Kubu Muawiyah tetap mempercayakan Amr bin Ash sebagai juru runding, sementara Ali mengutus Abu Musa al-Asy’ari. Hasil perundingan memutuskan untuk memakzulkan Muawiyah dan Ali. 

Ketika menyampaikan hasil perundingan, pihak Abu Musa diberi kesempatan pertama. Sebagai ulama yang zuhud, qanaah, dan wara’, Abu Musa menyampaikan hasil perundingan apa adanya, sesuai hasil perundingan. Namun ketika tiba giliran Amr bin Ash, justru mereduksi secara luar biasa, yaitu dengan mengatakan bahwa tadi Abu Musa sudah menyampaikan bahwa Ali dimakzulkan, berarti sekarang tinggal seorang khalifah bernama Muawiyah.

Kecewa dengan hasil perundingan, pasukan garis depan Ali (Khawarij) akhirnya menyatakan keluar dari barisan Ali. Bukan hanya itu, Khawarij juga menyatakan ingin membunuh pihak-pihak yang terlibat dalam perundingan, termasuk Ali, Muawiyah, dan Amr bin Ash. Di antara ketiga orang ini, Ali berhasil dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam.

Lalu apa kaitan Perang Shiffin dengan kondisi politik kekinian? Tentu saja saya tidak bermaksud memposisikan Jokowi sebagai penggambaran Muawiyah dan Prabowo sebagai penggambaran Ali atau misalnya menggambarkan LBP seperti Amr bin Ash dan Joko Santoso (Ketua BTN) seperti Abu Musa. Sama sekali tidak.

Poin keterkaitannya adalah soal kecurangan. Perang Shiffin dan peristiwa tahkim adalah simbol kecurangan, pengkhianatan, dan sikap politik yang nir-integritas. Seperti diketahui, menjelang Pilpres 2009, terjadi Kesepakatan Batutulis, terutama poin 6, yang intinya bahwa pada Pilpres 2014 Megawati akan mendukung Prabowo menjadi calon presiden. Namun dengan curangnya, Megawati mengkhianati Perjanjian Batutulis. 

Jokowi, orang Solo yang budayanya dikenal penuh unggah ungguh, yang pada Pilgub Jakarta 2012 didukung dan dibantu pembiayaannya oleh Prabowo, dengan tanpa rasa sungkan dan nir-integritas “bersedia” berhadapan dengan Prabowo. Hasil Pilpres 2014 yang sejatinya dimenangkan oleh Prabowo, juga dirampok oleh Jokowi dan OGO. SS dan beberapa orang lainnya yang sangat terbatas pasti tahu hal ini. Boleh saja Jokowi dan OGO secara verbal membantah, tidak mengakui kalau dirinya merampas kekuasaan Prabowo, tapi percayalah, hatinya pasti menjerit menyaksikan kebohongan verbal Jokowi dan OGO.

Bayangkan, Pilpres 2014, ketika Prabowo hanya didukung parta-partai pengusung dan sedikit relawan berhasil memenangkan Pilpres 2014, apalagi pada Pilpres 2019, di mana Prabowo tidak hanya didukung oleh lima partai pengusung, tapi juga ratusan relawan yang secara militan dan ikhlas mendukung Prabowo-Sandi. Pasukan emak-emak (the power of emak-emak) juga menjadi kekuatan tersendiri bagi Prabowo. Belum lagi faktor Sandiaga Uno juga menjadi amunisi tersendiri untuk mendulang dukungan bagi pasangan Prabowo-Sandi. 

Untuk menghentikan laju kemenangan Prabowo di Pilpres 2019, tidak ada pilihan kecuali berbuat curang. Karena curang menjadi satu-satunya cara untuk memenangkan Jokowi, maka wajar kalau sebelum, saat maupun sesudah pemilu, publik disuguhi tontonan bukti-bukti kecurangan pemilu yang begitu telanjang dan demonstatif. Kecurangan yang terstruktur, sistemik, massif, dan brutal. Fakta-fakta kecurangan ini sudah beredar luas di masyarakat.

Dengan tingkat kecurangan yang luar biasa, maka saran agar Prabowo tidak menerima atau menolak kehadiran LBP menjadi pilihan yang senafas dengan akal sehat. Sebab kalau menerima LBP dan apalagi sampai terjadi rekonsiliasi, maka sama halnya menyepakati segala tindak kecurangan yang dilakukan kubu Jokowi. 

Rekonsiliasi (islah) dalam konteks pemilu harus dibangun atas dasar prinsip kejujuran dan keadilan (jurdil), bukan kecurangan. Kalau tidak, maka tawaran islah dalam bentuk apapun harus ditolak oleh Prabowo, dan saya meyakini Prabowo akan mengedepankan prinsip ini dalam berislah. 

Kalau KPU tidak memproses segala bentuk kecurangan yang terstruktur, sistemik, massif, dan brutal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, maka bukan hanya tidak mau menerima LBP, kubu Prabowo harus secara serius mempertimbangkan untuk tidak menandatangani hasil pemilu. Dan sebagai bentuk penolakan atas hasil pemilu, aksi damai yang tertib dan non-violance (semacam pepe di era kerajaan) dengan melibatkan ratusan ribu dan bahkan jutaan masyarakat perlu dipertimbangkan menjadi opsi selanjutnya untuk dilakukan. Sekian (Depok, 27/4/2019).[tsc]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita