OLEH: DR. SYAHGANDA NAINGGOLAN
JUMHUR Hidayat bertanya pada saya tadi malam.
“Gan, apakah Prabowo akan jadi presiden?"
“Tidak,” jawabku.
“Lho, jadi Jokowi dong?” katanya.
“Tidak juga,” kataku.
“Lalu siapa?" tanya dia lagi.
“Belum tahu. Bisa jadi kamu,” jawabku.
“Predicting the present” adalah pendekatan baru, via big data. Pendekatan lama adalah “predicting the future”, via survei dan quick count. Biarkanlah Denny JA menulis masih mengutip Karl Popper tentang Angsa Hitam, tentang falsifikasi. Ilmu verifikasi dan falsifikasi adalah kebanggaan orang-orang sains. Tapi itu dulu. Sekarang era Big Data, ilmu kebanggaan semua.
Big Data akan membantu ahli-ahli ilmu sosial mengetahui situasi terkini dan dinamika terkini. Itulah yang membuat saya menjawab pertanyaan Jumhur bahwa Presiden ke depan bukan Prabowo dan juga bukan Jokowi.
Era peradaban manusia, khususnya belakangan ini, ditandai dengan melihat fakta adalah fakta. Fakta adalah yang dilihat. Fakta adalah yang bisa diverifikasi. Atau difalsifikasi. Itu adalah era “seeing is believing”.
Hillary Clinton menulis buku dengan judul itu. Dia memberikan pandangan-pandangannya atas apa yang dilihatnya. Tentang keluarga dan anak-anak, misalnya. Lalu Clinton memberikan pandangan politiknya tentang itu, bagaimana sebaiknya sebuah keluarga itu.
Era lain yang paralel, ditandai dengan “alternative fact” sebagai sebuah kebenaran. Trump tidak percaya bumi itu bulat. Dia mengatakan bahwa dia sudah berjalan ke seluruh dunia, dan dia tidak melihat effect gravitasi bumi. Dia yakin bumi datar. Orang-orang ahli kebumian mengatakan bahwa bumi bulat. Trump yakin fakta yang dia kemukakan. Jika lawan politiknya tidak yakin anggap saja itu fakta alternatif, sebuah kebenaran yang lain.
“Alternative fact” adalah era Post Truth. Kebenaran bukan monopoli sebuah kelompok. Jokowi silakan percaya menang, Prabowo juga yakin menang.
Jokowi bersandar pada quick count lembaga survei pendukungnya. Prabowo bersandar pada real count (sensus) data tim internalnya. Siapa benar?
Di era verifikasi dan falsifikasi, hasil hitungan quick count yang tidak berpihak, bisa jadi rujukan. Di era Post Truth, karena tidak ada yang tidak berpihak, maka quick count menjadi tidak relevan.
Lebih dari setahun lalu saya membeli buku “Every Body Lies: What the Internet Can Tell Us About Who We Really Are”.
Saya WA ke junior saya doktor ahli Big Data.
“Sudah punya Lu?” tanyaku.
“Sudah, Bang,” katanya sambil membalas dengan foto buku itu. Jelas dia ahli big data, lebih duluan punya daripada saya.
Hidup jaman now harus berpikir ulang jika hanya pintar menggunakan buku “Mega Trends” nya John Naisbitt. Juga menggunakan buku “The World is Flat” karya Tom Friedman. Apalagi modal survei dan quick count. Kita harus melengkapi daya analisa kita dengan big data.
Big data adalah sebuah potret besar tentang kehidupan kita yang terekam di dunia maya. Percakapan, pencarian, fakta, dll. "How big is big?" tanya Seth Stephens Davidowitz.
Setelah “Seeing is believing” dan “Post Truth”, Big Data yang jadi rujukan saat ini harus kita lihat untuk memotret situasi. Situasi apa?
Bagi saya yang terpenting adalah keterbelahan politik kita. Data dari jejak digital selama ini, baik di WA Groups, FB, Twitter, Instagram, Media Online dll. ekskalasi kebencian antara barisan rakyat pendukung Prabowo vs. pendukung Jokowi sudah pada titik tertinggi.
Tuduhan dan framing Prabowo akan mendirikan negara Islam alias khilafah sudah sempurna. Google Trends menampilkan “Prabowo Khilafah” meroket ke angka 100 alias maksimum pada saat pilpres ini.
Sementara Google Trends “Jokowi PKI” hampir di angka 100 beberapa waktu lalu dan pernah dua kali mencapai angka 100 sebelumnya.
Itu baru dua contoh kita melihat data.
Berbagai isu dan saling sebar (kita asumsikan tidak ada pihak ketiga) ketakutan, hoax, fitnah, kebencian, dll. sudah terjadi selama 5 tahun ini. Dan itu tidak gampang di-resetting agar bangsa kita menjadi bangsa yang satu Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam kebencian saling dendam, kelompok median (netral) semakin lama semakin hilang. Situasi ini, digambarkan sejarah, mirip tahun 65. Tapi pada potret sekarang, saya melihatnya seperti di Venezuela, Maduro vs. Guaido, dan pengikutnya. (Saat ini ada dua Presiden di Venezuela yang diakui dunia).
Pertanyaan Jumhur siapa presiden dan jawaban saya bukan keduanya adalah fakta. Keyakinan Prabowo atas kemenangannya dapat dijelaskan dengan fakta sosial, melebihi angka yang harus dikontestasi di KPU. Prabowo telah memenangkan hati rakyat.
Namun, Prabowo pasti tidak akan menjadi presiden Bangsa Indonesia, karena setengah atau hampir setengah bangsa ini termakan isu Prabowo sama dengan Khilafah.
Sebaliknya Jokowi sudah tidak disukai rakyat, setidaknya setengah bangsa Indonesia yang ada di barisan Prabowo. So what?
Jika Jokowi nantinya dimenangkan KPU, maka Prabowo pasti tidak mengakui kemenangan itu. Sebab, Prabowo berdasarkan datanya, sudah meyakini kemenangannya. Kekalahan bagi Prabowo adalah sama dengan kecurangan yang dilakukan Jokowi. Kredibilitas KPU juga jadi pertanyaan.
Jika itu kasusnya, pemerintahan tanpa legitmasi dari Prabowo, maka Indonesia yang ekonominya kini sedang susah, akan segera kolaps. Indonesia akan terseret menjadi negara hancur seperti Venezuela.
Situasi ini akan diperparah lagi jika penggunaan kekerasan terhadap jalannya demokrasi dilakukan, misalnya melakukan cara cara represif. Sebab, konsolidasi rakyat yang terbelah sudah mencapai kematangan. Dan rakyat tahu arti demokrasi.
Terakhir, dalam situasi seperti ini, Big Data tidak mengajar kan moral kita untuk berpihak. Big Data hanya memotret fakta. Namun, kita manusia harus mempunyai moral. Itu adalah pemihakan pada yang benar dan kita yakini.
Disitulah saya tetap menjadikan Presiden saya tetap Prabowo. []
Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle.