Oleh: Gede Sandra
SAYA tidak tahu apakah gelar Menteri Keuangan terbaik se-Asia Pasifik ini sengaja diberikan karena kurang dari seminggu lagi Indonesia memasuki debat capres cawapres tentang ekonomi dan keuangan. Sehingga nanti calon presiden dan wakil presiden 01 akan lebih berwibawa dalam menyampaikan "keberhasilan" pembangunan ekonomi dan keuangan pemerintahannya. Karena bagaimanapun, di pemerintahannya Pak Widodo ini lah sang menteri keuangan terbaik telah bekerja hampir 3 tahun terakhir.
Bukan tidak mungkin, ini adalah taktik termutakhir dari tangan-tangan yang tak terlihat (invisible hand) untuk memastikan kubu petahana untuk dapat melanjutkan ke periode kedua. Alasannya tentu agar si Menteri Keuangan terbaik kembali mendapat tempat sebagai menteri keuangan di kabinet periode kedua, atau bahkan naik menjadi Menko Perekonomian.
Tapi tunggu, benarkah memang terjadi "keberhasilan" dari keberadaan si Menteri Keuangan terbaik ini? Karena faktanya, yang disampaikan sebagai "keberhasilan" pemerintahan ini dalam ekonomi dan keuangan justru membuat masa depan Indonesia semakin suram.
Berikut ini adalah ulasannya:
Pertama, yield/kupon surat utang tertinggi di kawasan Asia Tenggara akan mencekik Indonesia di masa mendatang.
Setiap menerbitkan surat utang baru, Indonesia mematok kupon yield sebesar 8 persen. Sangat jauh di atas tingkat kupon yield surat utang (tenor 10 tahun) negara-negara di kawasan, sebut saja Vietnam 4,8 persen, Thailand 2,5 persen, Malaysia 3,8 persen, Singapura 2,1 persen, dan Filipina 5,6 persen. Bahkan dengan negara yang rating surat utangnya di bawah Indonesia (seperti Vietnam dan Filipina), kupon yield Indonesia masih lebih tinggi.
Banyak yang berpendapat bahwa besarnya tingkat kupon yield ini berhubungan dengan suku bunga bank sentral, jadi tingkat kupon harus beberapa poin di atas tingkat suku bunga bank sentral. Anehnya, mengapa beberapa negara seperti Vietnam, China, Hongkong, Taiwan, dan Qatar bisa memasang tingkat kupon yieldnya justru di bawah suku bunga bank sentral?
Apapun itu, hal yang pasti adalah: tingginya kupon surat utang Indonesia dalam jangka panjang akan menyebabkan Indonesia membayar utang lebih mahal dari negara-negara di kawasan. Sebagai contoh, setelah saya simulasikan dengan perbandingan Vietnam (yang selisih yieldnya dengan kita 3,2 persen) selama tenor 10 tahun saja (banyak surat utang yang tenornya lebih panjang) dengan bunga majemuk, ternyata Indonesia harus membayar lebih mahal sebesar 135 persen dari yang dibayarkan oleh Vietnam untuk surat utang dengan besaran pokok yang sama. Apakah ini tidak sangat mencekik kita? Ada yang buntung tentu ada yang untung. Siapa yang diuntungkan dengan tercekiknya Indonesia? Adalah pelaku pasar uang internasional, yang majalah-majalahnya sering memberi gelar menteri keuangan terbaik bagi Indonesia.
Kedua, tax ratio terendah di kawasan Asia Tenggara Tenggara menghambat tercapainya pertumbuhan tinggi di masa mendatang.
Rasio pendapatan pajak terhadap PDB, tax ratio, Indonesia sebesar 10-11 persen (tergantung memasukkan PNBP atau tidak) adalah yang terendah di kawasan. Dan perlu diketahui besaran tax ratio (tanpa PNBP) Indonesia periode sekarang adalah juga yang terendah setelah era Reformasi. Untuk perbandingan tax ratio di kawasan, sebut saja: Vietnam 13,8 persen, Thailand 17 persen, Filipina 14,4 persen, Singapura 14,2 persen, dan Malaysia 15,5 persen. Tidak perlu lah kita bandingkan dengan tax ratio negara maju di Asia yang sempat rasakan pertumbuhan double dijit belasan tahun, seperti Jepang 35 persen dan Korea Selatan 34 persen, bisa membuat kita makin minder.
Rendahnya tax ratio Indonesia menyebabkan sempitnya ruang pendapatan pemerintah yang dapat digunakan untuk memacu pertumbuhan ekonomi, apalagi dalam kasus Indonesia yang besaran cicilan bunga dan pokok utang setiap tahunnya menyita seperempat ruang APBN. Jangan harap dapat terjadi pertumbuhan ekonomi tinggi tanpa peningkatan yang signifikan dari tax ratio, yang secara simultan pertumbuhan ekonomi tinggi juga akan kembali terus tingkatkan tax ratio.
Ketiga, defisit transaksi berjalan terbesar di kawasan Asia Tenggara membuat resiko makroekonomi Indonesia paling rentan di kawasan.
Hal yang paling berbahaya dalam kerentanan makro ekonomi adalah besaran current account atau transaksi berjalan. Defisit transaksi berjalan Indonesia kuartal III 2018 sebesar USD -8,8 miliar. Hanya Filipina (USD -1,2 miliar) yang menemani Indonesia sesama penderita defisit transaksi berjalan, negara-negara lain sukses mendapatkan surplus dalam transaksi berjalannya, sebut saja Malaysia USD 3 miliar, Thailand USD 2,6 miliar, Vietnam USD 1,2 miliar, dan Singapura USD 17 miliar. Semakin negatif transaksi berjalan, maka semakin rentan makro ekonomi negara tersebut, karena mata uang semakin melemah sehingga negaar tersebut berpotensi tertimpa krisis mata uang dan (selanjutnya) krisis keuangan.
Penguatan yang terjadi pada mata uang Indonesia selama 6 bulan terakhir lebih disebabkan oleh karena masifnya pemerintah kita menarik surat utang dari pasar dengan bunga yang tinggi. Bila yang diterbitkan surat utang dalam mata uang Rupiah, para pelaku pasar uang ramai-ramai menukar mata uang asing mereka untuk membeli Rupiah agar bisa membeli surat utang berbunga tinggi tersebut. Bila yang diterbitkan surat utang mata uang asing, maka masuknya dana asing akan menambah cadangan devisa bank sentral yang dapat digunakan untuk stabilkan Rupiah. Perlu diwaspadai, strategi menarik banyak utang ebrbunga tinggi ini untuk menjaga nilai tukar, adalah sebuah "bom waktu" yang dapat meledak kapan saja di masa depan.
Keempat, Net International Investment Position (NIIP) paling negatif di kawasan Asia Tenggara membuat Indonesia paling tekor.
NIIP adalah selisih dari aset finansial dikurangi liabilitas (kewajiban) finansial suatu negara terhadap negara-negara lain di dunia. Negara dengan NIIP surplus/positif artinya adalah negara tersebut memiliki pengelolaan keuangan dan investasi yang menguntungkan, sebaliknya bila NIIP defisit/negatif dapat dikatakan negara tersebut merugi atau tekor.
Seperti dapat diduga, NIIP Indonesia adalah yang paling negatif, defisitnya terbesar, di kawasan, yaitu sebesar USD -297 miliar. Kemudian disusul oleh Filipina USD -34 miliar, Thailand USD -24 miliar, Malaysia USD -18 miliar, Myanmar USD -18 miliar, Kamboja USD -15 miliar, (yang mengagetkan) Timor Leste surplus USD 17,5 miliar, dan (yang tidak mengagetkan) Singapura surplus USD 836 miliar. Singapura masuk ke dalam 5 besar negara Asia dengan NIIP tertinggi bersama negara-negara yang produk, investasi, dan keuangannya merajai dunia: Jepang (USD 2.932 miliar), China (USD 1.692 miliar), Hongkong (USD 1.302 miliar) dan Korea Selatan (USD 340 miliar).
*) Penulis adalah peneliti Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR).