Oleh: Natalius Pigai
CALON Presiden Republik Indonesia pada saat debat pertama tanggal 17 Januari 2019 dan keempat 30 Maret 2019 dan berbagai kesempatan menekankan pentingnya negara yang kuat, negara kuat jika Institusi atau lembaga negara kuat, demikian pula ditunjang dengan pengelola negara yang professional, bersih, dan berwibawa.
Bangsa yang kuat, mandiri, berdaulat maka akan dihargai dan dihormati bangsa-bangsa lain termasuk dalam diplomasi. Negara yang kuat jika memiliki TNI yang kuat disertai alat utama sistem persenjataan yang kuat dan modern, maka akan disegani bangsa lain. Keamanan dalam negeri terpelihara, jika institusi kepolisian negara yang kuat.
Rakyat mendapat keadilan di hadapan hukum, jika institusi kepolisian terpercaya, bekerja secara independen, profesional, moderen, sejahtera. Aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) harus kenyang, sehat dan pintar supaya bekerja profesional, objektif dan imparsial dan menegakkan hukum.
Kalimat panjang tersebut di atas merupakan ringkasan dari sederet ungkapan hati, ide, gagasan Prabowo Subianto membawa bangsa Indonesia sebagai bangsa yang kuat, pemenang dan keluar dari negara yang terancam gagal (falls of nations). Prabowo Subianto seorang jenderal intelektual, politikus, negarawan yang cemerlang, saban hari menyisihkan waktu untuk membaca buku-buku terbaik dalam berbagai bahasa.
Salah satu buku yang pernah dibawanya saat debat ke dua capres tanggal 17 Pebruari 2019 berjudul “Fals of Nation (Negara Gagal)”. Buku karangan Daren Acemoglu seorang ilmuan Amerika keturunan Turki. Inti dari buku Negara Gagal tersebut berkesimpulan bahwa “Negara Gagal karena sumber daya alam dikuasai sekelompok kecil oligarki, sementara kebijakan politik dan hukum negara berorientasi untuk memperkuat kepentingan sekelompok kecil oligarki ekonomi dan politik tersebut”.
Sehebat-hebatnya membangun infrastruktur untuk mengejar ketertinggalan negara lain, tetapi tetap saja menjadi negara miskin dan gagal sebagaimana kesenjangan (gap) antara Amerika Serikat dan Meksiko, Korea Utara dan Korea Selatan, Jerman Barat dan Jerman Timur yang memiliki infrastruktur sama, namun label sebagai negara gagal tetap melekat di Meksiko, Korea Utara dan Jerman Timur sebelum reunifikasi.
Pandangan calon presiden Prabowo Subianto saat debat ke-empat tanggal 30 Maret 2019, memang benar, bahwa apapun yang dilakukan pemimpin bangsa ini tentu mempertimbangkan “kepentingan inti negara Indonesia” (core of national interest) yaitu, sesungguhnya negara yang maju dan berkembang berada pada penguatan hukum untuk mengatur ketertiban, keamanan dan rasa keadilan bagi rakyat”. Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman sebagai lembaga penegak hukum yang berada diberanda depan dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) tentu menjadi pilar terpenting bagi negara ini.
Jika membaca pandangan Prabowo Subianto sebenarnya secara tersirat menyatakan kegaulauan atas kegagalan pemerintah saat ini yang membawa bangsa Indonesia tersandera dalam ancaman penetrasi kapital, hegemoni politik negara lain.
Akibatnya negara makin tidak berwibawa karena perilaku amoralitas penguasa; kebocoran keuangan negara, korupsi merajalela, memperdagangkan pengaruh, jual beli jabatan, perilaku mesum yang justru dilakukan oleh orang-orang yang melingkari istana, pusat kekuasaan negara.
Pemerintah juga menyandera pilar-pilar demokrasi, hak asasi manusia, perdamain dan keadilan melalui instrumen demokrasi yaitu partai politik, media massa, lembaga penegak hukum. Bangsa ini sedang mengalami distorsi arah dan gradasi nilai-nilai konstitusi dan landasan idil. Itu fakta bukan hoaks!
Pada periode pemerintahan inilah rakyat tidak bisa artikulasikan keinginan, rintian, ratapan, penderitaan, pembungkaman kebebasan ekspresi, pendapat, pikiran dan perasaan. Sementara pemimpin tidak mampu menjadi teladan, makin tidak bersih dan berwibawa dengan mempertontonkan perilaku amoralitas, korupsi, kolusi, nepotisme dan tindakan-tindakan mesum, berbohong, tidak menepati janji.
Sedangkan pusat persemaian mental dan moralitas (tokoh-tokoh agama, ulama, kiai, ustaz, ustazah, habaib dan masjid) saja didemoralisasi melalui perilaku destruktif oleh penguasa. Karena itu wajar jika ada keinginan besar rakyat untuk melakukan perubahan di tahun 2019.
Prabowo Subianto bukan tipe pemimpin yang suka berdebat, berwacana bahkan mengumbar kata-kata. Bahkan hampir tidak pernah bermain kata-kata gimik atau bahkan menyerang pribadi sebagaimana dipertontonkan oleh kandidat petahana. Berdiam tidak berarti apatis terhadap negara, berdiam sembari mengarahkan mesim politik Gerindra berkerja sungguh-sungguh demi rakyat, bangsa dan negara. Prabowo sangat memahami apa yang dipertontonkan penguasa yang menyebabkan kerusakan fundamental soal integrasi sosial dan ancaman integrasi nasional.
Kebhinekaan bangsa dalam kurun waktu 4 tahun berada di titik nadir, bangunan sosial terancam pecah karena ketidakharmonisan dan fragmentasi antar horisontal juga vertikal. Rasisme, diskriminasi, kekerasan verbal yang didorong atas rasa kebencian Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan, pendatang dan pribumi adalah kosa kata yang saban hari menghiasi media massa, media sosial, media maintream dan juga dalam komunikasi interpersonal.
Sewaktu waktu di pangung resmi, baik di media, seminar, juga berbagai tempat Prabowo Subianto katakan bahwa kebinekaan bangsa Indonesia adalah suatu wahyu, titah yang tertulis sebagai adagium persatuan dan kesatuan, kebinnekaan bangsa sudah final dan mengikat sanubari tiap orang.
Menjamurnya beraneka etnik, ras, budaya harus diterima sebagai kondisi kekinian, realitas bangsa bahkan keanekaragaman adalah suatu niscaya. Semua terlindung dalam konstitusi negara dan landasan ideologi Pancasila. Itulah inti negara kuat karena fondasinya bersatu padu dalam beraneka.
Kegagalan kepemimpinan hari ini adalah terlalu terjebak dalam sektarianisme, eksklusivisme yang naif dan bahkan chauvinistik seakan-akan sebagai pemilik negeri ini, klaim diri sebagai pahlawan, nasionalis, bahkan bahkan personifikasi diri sebagai nasionalis, sedangkan umat muslim dan keturunan Arab dan kaum minoritas lain dianggap bukan pejuang dan pahlawan.
Barangkali tidak lupa bahwa perjuangan bangsa Indonesia dilakukan secara sporadis, berjuang sendiri-sendiri di wilayahnya masing-masing dengan tujuan yang sama yaitu mengusir penjajah. Diponegoro tidak pernah memimpin perang dari Sabang sampai Merauke, tapi hanya wilayah Jawa Tengah. Laksamana Malahayati berjuang hanya di Aceh, Sisingamangaraja berjuang di Tanah Batak, demikian pula pahlawan Patimura hanya di Ambon dan lain-lain tetapi memliki keinginan yang sama yaitu Indonesia lepas dari belenggu penjajah.
Prabowo Subianto sudah paham sejarah bahwa kemerdekaan Indonesia juga diperjuangkan emua orang, diraih karena adanya dikontribusi juga oleh tujuh orang pahlawan keturunan Cina; Jhon Lie, Koen Hian anggota BPUPKI dan lain lain, keturunan Arab; Baswedan dan lain lain, bahkan juga keturunan barat Belanda yang kita sebut penjajah seperti "Ijon Jambi" tokoh Kopassus.
Itulah sebabnya ketika Prabowo mengajukan Anies Baswedan yang sebenarnya bukan kader Gerindra, namun atas nama kepentingan Bersama (bonum commune) untuk memimpin DKI Jakarta sebagai Gubernur. Prabowo juga satu-satunya Pemimpin Partai Politik Indonesia yang mampu mendorong seorang minoritasnya dobel yaitu Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang keturunan China dan Nasrani menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Pahlawan besar beragama Katolik di Jawa Tengah tidak bisa diragukan lagi, nama-nama besar seperti Jos Sudarso, Adi Sutjipto, Adi Marmo, Slamet Riyadi, I.J Kasimo, dan lain lain. Kalau demikian apakah kita harus menafikan nama dan peran mereka dalam eksistensi Republik ini? Tentu saja tidak karena bangsa ini terikat dalam adagium unitarianisme yaitu “Bhinneka Tunggal Ika”.
Itulah ide, gagasan dan harapan Indonesia negara kuat dalam pandangan Prabowo Subianto Calon Presiden 2019-2024 yang saya pahami dan analisis. Silakan rakyat menentukan pilihan, tetapi jangan lupa bahwa dunia sedang mengalami perubahan (progress), bukan kemunduran (regress), kita bisa berubah jika ada hasrat untuk berubah (willingness to change), mempertahankan yang ada itu status quo, berganti yang baru itu nischaya! Semua ada masanya, ada pemimpin baik dan ada pemimpin buruk. Silih berganti! Kata Siswono Yudohusodo, Cawapres, 2004. (*)