GELORA.CO - Investasi China yang masif ke sejumlah negara acapkali menuai penolakan. Di Indonesia, investasi negeri Tirai Bambu turut menjadi isu yang memanas dibahas, terlebih jelang Pilpres 2019.
Media asing, Bloomberg bahkan menerbitkan artikel berjudul “Indonesia May Be Next Asian Country to Spurn China in Election” pada Minggu (31/3). Artikel ini menjelaskan kemungkinan rakyat Indonesia menolak kehadiran China dalam pemilu.
Artikel yang ditulis Karlis Salna dan Arys Aditya itu menyoroti investasi pembangunan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dalam mukadimah.
Proyek kereta sepanjang 150 km dengan nilai investasi 6 miliar dolar AS itu sedianya akan menjadi mercusuar bagi pembangunan infrastruktur di era Joko Widodo memimpin. Tapi kini justru berubah menjadi malapetaka karena terjadi keterlambatan pembangunan.
Celakanya, lingkaran Istana telah menyatakan keprihatinan atas transparansi keuangan yang diberikan China. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Thomas Lembong menyebut proyek ini mewakili segala sesuatu yang salah dalam proyek ambisius China, One Belt One Road (OBOR) atau yang belakangan bernama Belt and Road Initiative (BRI).
"Itu buram dan tidak transparan, bahkan kita anggota kabinet mengalami kesulitan dalam mendapatkan data dan informasi," kata Lembong.
Hal ini menjadi peluru bagi Prabowo Subianto yang menjadi rival Jokowi untuk memainkan sentimen anti investasi China. Apalagi, jika berkaca dari negara-negara tetangga yang telah lebih dulu menolak China sebagai isu di pemilu.
Seperti di Malaysia, Perdana Menteri Mahathir Mohamad memanfaatkan sentimen tersebut untuk mengalahkan petahana Najib Razak. Dalam kampanyenya, Mahathir berjanji akan meninjau investasi China, termasuk jalur kereta api berkecepatan tinggi.
Bergeser sedikit ke barat, Myanmar juga telah melakukan peninjauan kembali mengenai harga pelabuhan yang pembangunannya didukung China.
Selain itu, oposisi Thailand juga melakukan hal yang sama. Mereka berjanji akan meninjau ulang investasi China saat berhasil mengambil alih tampuk pimpinan.
Dalam Pilpres 2019, Prabowo secara tegas menyambut baik investasi China. Tapi dengan catatan, investasi itu harus menguntungkan rakyat Indonesia.
"Prabowo has said he welcomes Chinese investment but it must also benefit Indonesia. He has vowed to review the high-speed rail project, and also to get a fairer deal in trade with Beijing. Indonesia’s trade deficit with China surged to $18.4 billion last year, up from about 40 percent since Jokowi came to power in 2014.", tulis Bloomberg.
(Prabowo mengatakan dia menyambut investasi Cina tetapi juga harus menguntungkan Indonesia. Dia telah bersumpah untuk meninjau ulang proyek kereta api cepat, dan juga untuk mendapatkan kesepakatan perdagangan yang lebih adil dengan Beijing. Defisit perdagangan Indonesia dengan Cina melonjak menjadi $18,4 miliar tahun lalu, naik dari sekitar 40 persen sejak Jokowi berkuasa pada tahun 2014.)
China telah menghadirkan dilema bagi Jokowi sejak awal masa kepresidenannya. Di satu sisi, kedekatan dengan Beijing dan pinjaman miliaran dolar membantunya melakukan pembangunan serta mengatasi kekurangan pendapatan pemerintah. Pada saat yang sama, Indonesia menjadi berhutang budi kepada Cina, membuatnya rentan jadi serangan politik.
"Jokowi telah sangat berhati-hati untuk tidak mengkritik Cina di sebagian besar keadaan," kata Aaron Connelly, seorang peneliti di Singapura yang berbasis di Institut Internasional untuk Studi Strategis.