Prabowo tampil "telanjang" dalam debat keempat Capres, Sabtu malam, 30/3. Naked and genuine. Antara mimik wajah, buah pikiran, dan isi narasinya seiring dan kompak. Penontonpun dapat langsung menebak apakah saat berbicara tentang suatu tema, ia tengah bersemangat, mashgul, gusar, hangat, mengapresiasi, atau kecewa.
Memang "ketelanjangan" seperti itu yang selalu didambakan oleh Rakyat Indonesia. Yaitu memiliki pemimpin yang tidak plintat-plintut. Tidak membeo doktrin orang sekitar yang menyetirnya, melainkan pemimpin yang memiliki pikiran orisinilnya sendiri.
Rakyat Dambakan Presiden
Cerdas Nan Elegan
Penonton televisipun malam itu dibuat terkesima melihat penampilan Capres Prabowo. Apik, bersih, dan elegan. Terlihat betul ia menghargai Agenda Negara yang ia ikuti.
Prabowo tahu malam itu dia akan menemui jutaan warga Indonesia. Dirinya hendak bertamu ke setiap rumah mereka, dan berbicara kepada semua rakyat, dari kaum kaya hingga jelata. Di ruang publik yang resmi itulah, Prabowo menilai sangat penting pertemuan itu. Maka ia hadir memakai pakaian terbaik di saat debat.
Prabowo sepertinya menyadari bahwa masyarakat di kota-kota besar, warga kota kecil, para pekerja di tengah perkebunan sawit nan terpencil, para nelayan di ujung timur Indonesia, hingga rakyat yang berada di pelosok perbatasan yang harus menyalakan TV dengan bantuan genset, harus ia muliakan martabatnya. Di malam yang dijanjikan itu, Prabowo harus menemui rakyat sebagaimana penampilan ketika ia menemui para Presiden negara lain. Karena Rakyat adalah Raja, dan ia adalah alat untuk mencapai kemakmuran bangsanya.
Orang kemudian dapat membaca bahwa pakaian Prabowo menunjukkan martabat dan integritasnya. Ia bukan sosok pura-pura. Ia tunjukkan bahwa kekayaannya mampu membeli jas mahal, lengkap dengan peci hitam di atas kepala yang membuat seorang lelaki tampak kian berwibawa.
Dari penampilannya saat itu, Prabowo tengah berbicara tanpa kata kepada setiap yang menonton debat, bahwa ia tidak mau sekedar jualan baju kesederhanaan sambil terbata-bata memaparkan narasi hapalan.
Ia harus memperlihatkan kesungguhan bahwa dirinya siap memimpin negara sebesar Indonesia, dan menjadi representasi wajah terdepan Indonesia di mata dunia. Prabowo ingin rakyat menyimak setiap pokok pikiran dan gagasan yang ia sampaikan. Bukan terlena pada pencitraan riuh kaleng yang terus ditabuhi, padahal kenyataan dibaliknya hanyalah rongsokan.
Malam itu Sang Jendralpun berusaha keras menyadarkan semua masyarakat yang menyimak orasinya, bahwa anugrah bumi Indonesia yang kaya raya dari Allah ini akan sia-sia jika salah kelola.
Strategi Jitu Prabowo
Strategi narasi full speed yang disajikan dalam aksi panggung Prabowopun tak kalah sexi dari jas yang dikenakan. Ia sengaja suguhkan performance seorang lelaki dengan endurance pol. Ini mengingat tema ideologi adalah isu yang terus-menerus digoreng kubu lawan tanpa rasa malu. Sementara persoalan pertahanan dan keamanan bagi Prabowo, adalah isu yang amat sangat penting dalam mengelola laut dan daratan seluas Indonesia.
Posisi Knock Out pertama yang dialami lawan sebenarnya sudah terjadi pada detik-detik awal. Yakni ketika tanpa didahului pukulan jab maupun hook, tanpa ba bi bu, tiba-tiba Prabowo langsung melancarkan uppercut yang telak mengenai rahang lawan, yakni dengan tegas Prabowo berinisiatif membicarakan lebih dulu soal khilafah tanpa ditanya. Karena ia tahu, lawannya akan menaikkan isu khilafah sebagai tema sentral secara licik, demi tujuan mengikis kepercayaan rakyat kepadanya.
Melawan Fitnah Busuk
Sebelumnya, info yang berseliweran ramai menyebutkan Jendral Hendro dan Jendral Luhut telah menitipkan pertanyaan tentang Khilafah kepada Joko. Setelah berbagai cara amoral untuk menstigma Prabowo sebagai pendukung "khilafah" tak jua mempan mereka kerjakan, maka diputuskan Sang Jendral Hambalang harus dijatuhkan di atas panggung terbuka. Begitu skenarionya.
Tapi kedua pakar intelijen bangkotan itu lupa tentang bagaimana cara membungkus aksi dengan rapi. Cara kedua senior Prabowo itu terlalu vulgar, tak ada sexi-sexinya sama sekali. Sadis dan kasar. Mungkin karena faktor sepuh dan hilangnya rasa kemanusiawian yang sudah mendominasi.
Bayangkan, diantara senggang waktu debat ketiga dan keempat, jendral Luhut melancarkan tuduhan bahwa ada gerakan ingin mengganti ideologi Pancasila. Jelas yang dituding adalah lawan politik diluar koalisinya. Demi menyukseskan ambisi, ia juga mengajak purnawirawan Akabri angkatan 70 untuk bertemu. Meski gayung Luhut itu tak bersambut, karena sampai saat ini belum ada kabar tentang adanya teman-teman yang menerima ajakannya. Padahal dari peristiwa yang sudah-sudah, jika Prabowo yang menebar undangan, maka ratusan jendral dari berbagai penjuru negeri berbondong-bondong dengan senang hati selalu datang.
Stihmaisasi Khilafah Itu Mati Muda
Sementara itu klaim dari jendral Hendro bahkan lebih tamak lagi. Terlihat betul kegusarannya menghadapi masa-masa akhir kekuasaan tanpa daya. Iapun berusaha menembakkan racun terakhir yaitu bahwa ideologi Pancasila berhadapan dengan ideologi khilafah di Pemilu 2019.
Selain dilontarkan lewat media mainstream pro petahana, stigmaisasi dashyat dari Hendro juga meluas lewat rekaman wawancara berdurasi lebih dari 5 menit. "Pemilu kali ini yang berhadap-hadapan bukan saja hanya subjeknya, kubu dari Pak Jokowi dan kubu dari Pak Prabowo. Bahwa yang berhadap-hadapan adalah ideologi Pancasila berhadapan dengan ideologi khilafah. Rakyat harus jelas mengerti. Bahwa dia harus memilih yang bisa membikin dia selamat."
Tapi tuduhan bengis Hendro itu langsung menemui ajal, akibat dibunuh oleh jejak digital. Warga net ramai-ramai membocorkan bahwa sang mantan kepala BIN itu pada majalah Sabili No. 19/Th XVI, 9/4/2009, pernah membuat pernyataan terbuka. Dari kutipan yang beredar luas, Jendral yang kumisnya dicat hitam melintang itu pernah mengatakan: "Semestinya setelah thesis Liberal-Kapitalisme gagal mensejahterkan dunia, Kekhalifahan seharusnya muncul sebagai penggantinya. Karenanya, Islam perlu menjawab tantangan globalisasi dengan membangun Kekhalifahan Universal. Hanya system ini yang bisa mengatur dan mensejahterkan dunia, karena tatanan Sekuler-Kapitalisme telah gagal”. Pernyataan Hendropriyono itu juga dikutip ulang oleh media Islam pada tahun-tahun sesudahnya.
Tak heran, stigma dari Hendro yang bernuansa pesanan itupun dijawab tegas oleh rakyat. Mereka lebih memilih percaya kepada kalimat Jendral Pro Rakyat ketimbang tuduhan keji dari jendral yang kumisnya dicat hitam melintang. Maka "tamparan" jawaban bertubi-tubipun melayang ke muka Hendro. Bukan oleh Prabowo, tapi berasal dari tangan rakyat yang membelanya.
Tekad dan Pernyataan Rakyat
Rakyat menyatakan ingin kedaulatan dan keadilan dikembalikan ke pangkuan mayoritas rakyat, bukan diatur oleh segelintir orang yang menjadi tameng taipan. Pernyataan keras itu nampak dari bagaimana tumpah ruahnya rakyat di setiap Rapat Terbuka yang dilakukan Prabowo. Makin distigma, makin moncer nama Prabowo. Kian direndahkan, kian membubung tak terkendali popularitas Prabowo. Rakyat menunggu waktu dimana semua Fitnah itu kembali kepada tuannya.
Sambil menanti saat itu tiba, ramai-ramai rakyat mengejek: "Bagaimana mungkin Prabowo yang dituduh fasis, berstatus kafir, tidak pernah sholat Jumat, tapi sekaligus mendukung islam Radikal, dan berideologikan Khilafah? Fitnahmu itu tuman..!!"
Pertanyaan Soal Khilafah Ditumbangkan
Dan begitulah. Prolog-prolog brutal menjelang debat keempat itu dijawab Prabowo di sesi pertama soal ideologi, dengan langsung mempertanyakan kepada Jokowi soal Fitnah Khilafah kepada dirinya. Prabowo langsung membungkus itu barang!
Maka konon bisik-bisik mengungkapkan, musnahlah cita-cita besar mereka untuk bertanya soal Khilafah di sesi tanya jawab antar kandidat. Gong yang digadang-gadang akan dimainkan di puncak acara agar terjadi "ejakulasi" masal itu, berhasil dipukul loyo bahkan sebelum permainan dimulai. Sehingga pada sesi tanya jawab antar kandidat terjadilah "Habis Khilafah, Terbitlah Mal Pelayanan Publik". Sebuah pertanyaan antar kandidat yang bisa disebut ecek-ecek jika dibandingkan dengan menggunungnya berbagai persoalan besar di republik ini.
Bahkan terjadi "Habis Khilafah, Terbitlah Rakhine State". Untuk apa seorang Presiden menanyakan Rakhine State dan membanggakan kunjungan satu kalinya kesana, jika berkali-kali ia tidak berani datang ke Sidang Umum PBB yang ditengarai akibat persoalan bahasa? Jika mengunjungi negara sekecil Myanmar, Jokowi bisa selalu dikelilingi puluhan pembantunya setiap saat, maka di SU PBB ia harus sanggup tampil mandiri sebagaimana pemimpin2 negara lainnya. Itulah persoalannya, dan syukur kepada Tuhan bahwa Prabowo berbaik hati tidak balik bertanya tentang hal itu.
Skenario Yang Patah
Akibat story board yang berubah tanpa disangka-sangka, maka Debatpun berakhir anti klimaks. Berkali-kali pertanyaan dan pernyataan Prabowo tidak mampu diklarifikasi Jokowi. Soal klaim kebanggannya bahwa Indonesia berhasil miliki saham Freeport 51%, padahal menurut Prabowo pihak Amerika secara resmi menyatakan miliki 82% saham Freeport, mangkir dijawab oleh Jokowi dan memilih memberi pernyataan lain. Jokowi pikir strategi "waton mangap"nya itu akan manjur seperti yang sudah-sudah, namun tak dinyana kali ini Prabowo mengejar dan mengungkap kenyataan sebenarnya.
Begitu juga kengawuran Jokowi yang menyatakan bahwa KPK pada tahun 1998 sudah mengeluarkan indeks persepsi korupsi, padahal KPK baru didirikan pada tahun 2002.
Dan yang paling fatal adalah pernyataan Jokowi soal pertahanan negara. Ia mengatakan: "Saya masih sangat percaya pada TNI kita.
Saya masih meyakini dari informasi intelijen strategis yg masuk kepada saya, mengatakan bahwa 20 tahun ke depan invasi dari negara lain ke negara kita dapat dikatakan tidak ada. Dalam kurun waktu 20 tahun!"
Dengan panjang lebar Prabowopun menjelaskan kepada Jokowi bahwa waktu masih berpangkat letnan 2 pada tahun 1974, jendral atasannya mengatakan bahwa tidak akan ada perang hingga 20 tahun ke depan. Tapi tiba-tiba 1 tahun kemudian pada tahun 1975, ia dikirim untuk berperang ke Timor-Timur, "Pak, yang memberi briefing kpd bapak... Aduh.. aduh.. kalau menghendaki damai, siap utk perang. Si vis pacem para bellum, artinya kalau menghendaki damai maka harus siap untuk berperang. Bagaimana kok ada briefing ke presiden bahwa 20 tahun tidak akan ada invasi? Kalo saya presidennnya ya saya ganti yang ngasih briefing itu. Ini penyakit bangsa Indonesia, kok berani laporan ke Pangti seperti itu..!"
Dan ternyata berdasarkan salah satu jejak digital yang tertera,
https://bisnis.tempo.co/read/1190198/luhut-dalam-20-tahun-indonesia-tak-akan-dijajah-asing, maka patut diduga pembisik Jokowi yang blunder itu adalah Luhut. Jendral belakang meja yang pengalaman di lapangannya minim jika dibandingkan Prabowo.
Lebih lucu lagi ketika di suatu kesempatan Jokowi sempat menanggapi pernyataan Prabowo dengan retorika: "Periode 1 adalah pembangunan Infrastruktur, periode 2 adalah pembangunan SDM, dan periode 3 pembangunan Pertahanan." Di moment of truth itu, jangan heran jika para penonton nobar debatpun saling bersahutan: "Ya ampun pak.. paak.. memang bapak mau berapa periode?"
Closing Statement
Akibat berbagai tragedi wacana yang tak diyana sepanjang debat, maka pernyataan penutup dari Jokowi bagaikan Final Countdown. Mental itu telah jatuh. Hitung mundur itu telah selesai, dan tiba waktunya berpamitan pulang. Ia lalu campakkan hapalan statement penutup yang mestinya bisa mengurangi poin keterpurukan.
Sambil mengibarkan bendera putih, Jokowi berharap sepeda yang dikayuh dalam perjalanan tidak putus rantainya, seperti tidak putusnya perkawanan ia dengan Prabowo. Jika ingin diartikan nakal dalam bahasa politik, bisa dimaknakan bahwa jika memang harus semuanya usai, maka Jokowi ingin berakhir indah. Ia seolah menitipkan diri dan keluarganya pasca jabatan: "Ojo diotak-atik yo pak, saya dan anda adalah kawan."[tsc]