GELORA.CO - Perbedaan penanganan kasus penyebaran informasi bohong (hoax) aktivis perempuan, Ratna Sarumpaet dengan hoax mantan Kapolsek Pasirwangi, AKP Sulman Aziz adalah bukti hukum di era pemerintahan Joko Widodo masih diskriminatif.
Direktur Eksekutif Indonesia Development Monitoring (IDM), Bin Firman Tresnadi mengatakan, diskriminasi kasus semacam itu sesungguhnya banyak terjadi di negeri ini selama beberapa tahun terakhir.
"Ini salah satu bukti hukum tajam ke bawah tumpul ke atas," kata Bin Firman, Jumat (5/4).
Padahal, lanjut pengamat politik ini, penegakan hukum yang berkeadilan sesungguhnya merupakan ujian bagi kepolisian untuk mengambil hati dan kepercayaan publik.
Terlebih, lanjutnya, kasus itu sudah memiliki yurisprudensi. Dalam hal ini kasus pembohongan publik yang dilakukan AKP Sulman dengan kasus Ratna Sarumpaet.
"Seharusnya tanpa ada pengaduan masyarakat sekalipun, polisi harus memproses AKP Sulman karena kasusnya sama dengan Ratna Sarumpaet," pungkas Bin Firman.
Ratna Sarumpaet yang saat itu menjabat Jubir BPN Prabowo-Sandi mengaku dipukuli oleh beberapa orang di Bandung. Namun setelah heboh, Ratna minta maaf karena sudah menyebarkan hoax. Wajahnya yang lebam bukan karena dipukuli, tapi pasca menjali operasi wajah.
Sementara mantan Kapolsek Pasirwangi, AKP Sulman Aziz menyampaikan bahwa Kapolres Garut, AKBP Budi memerintahkan kapolsek se-Garut menggalang dukungan untuk Capres petahana Joko Widodo.
Sama dengan Ratna, sehari setelah mengeluarkan pernyataan heboh, AKP Sulman mencabut pernyataannya. Dia mengaku melakukan kesalahan karena tengah emosi saat menyampaikan tentang ketidaknetralan Polri. Dia emosi karena tak terima dimutasi dari Kapolsek Pasirwangi menjadi Kanit Seksi Pelanggaran Subdit Gakkum Direktorat Lalu Lintas Polda Jabar. [rm]