KUBU petahana Joko Widodo bersikeras melanjutkan pemerintahan menjadi dua periode sekalipun terjadi penguatan gerakan yang menginginkan adanya perubahan. Joko Widodo diasumsikan paham betul tentang apa maksud dari gerakan perubahan itu, yaitu pemerintahannya ditekan hanya berlaku untuk satu periode saja.
Kubu penantang Prabowo Subianto bersikokoh hendak mengisi arus aspirasi perubahan tersebut, namun bukan berarti pelaku penekanan itu berasal dari kubu Prabowo Subianto, melainkan dari aspirasi masyarakat.
Kemenangan persaingan kedua kubu ditentukan oleh banyaknya jumlah suara. Persoalannya terletak pada turunnya prinsip-prinsip dasar dari azas-azas kebebasan, langsung, jujur, dan adil dalam proses mencapai kemenangan jumlah suara.
Betapa tersiarkan informasi tentang kegagalan pemenuhan azas kebebasan. Misalnya, sebagian dari Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota, kepala kecamatan, kepala desa, PPK, KPPS, oknum polisi, oknum KPU, oknum Bawaslu, dan oknum Aparatur Sipil Negara tertangkap kamera dan tersiarkan melalui youtube telah melanggar azas kebebasan dari prinsip dasar pemilu namun tanpa mendapat pengadilan yang jujur dan bebas memihak diantara kedua kubu yang saling bersaing.
Selanjutnya sebagian petugas pemilu tertangkap kamera video telah melakukan kecurangan dalam bentuk pencoblosan sendiri. Kegiatan pencurian kotak suara, penggantian isi suara, dan insiden pembakaran surat merupakan bentuk kegagalan prinsip berazaskan langsung dalam pemilu. Penggelembungan, penggantian laporan jumlah suara, dan kesalahan input data telah menguatkan kegagalan prinsip kejujuran.
Kemudian lemah dan lambatnya, serta ketidaktegasan kelembagaan pemilu dalam menegakkan prinsip-prinsip dasar azas-azas pemilu tadi membuat kualitas pemilu masih dipersepsikan tidak memenuhi rasa keadilan. Akibatnya adalah ketegangan dalam pengelolaan manajemen konflik meningkat. Peningkatan kualitas konflik berada pada ambang batas toleransi legitimasi sosial kemasyarakatan.
Usaha tokoh-tokoh lintas agama dan tokoh-tokoh masyarakat untuk membangun rekonsiliasi dan menganjurkan solusi atas ketidakpercayaan terhadap pemenuhan prinsip-prinsip dasar azas-azas pemilu dengan menggunakan jalur konstitusi belum memperlihatkan titik terang. Gayung terkesan tidak bersambut. Hal itu, karena kubu penantang merasakan betapa pada proses penyelesaian sengketa pemilu 2014 menggunakan jalur hukum terhadap aspirasi penegakan kecurangan pemilu terasa lebih menguntungkan kubu petahana.
Rekam jejak kinerja petahana selama memerintah justru membesarkan kegagalan pada pemenuhan azas transparansi. Harapan yang sangat besar dan tidak terbayar oleh kinerja petahana itu terkesan telah meyakinkan bahwa kualitas kinerja penghitungan suara 2019 terpersepsikan lebih buruk dibandingkan 2014. Penegakan hukum keadilan pidana yang berat sebelah pada kubu penantang telah membuat militansi justru menguatkan arus pihak-pihak yang menginginkan perubahan.
Jadi, titik kritis dari perbaikan kualitas suara pemilu bergantung pada kualitas penegakan good governance untuk kembali memenuhi keberlakuan dan penerimaan prinsip-prinsip dan azas-azas pemilu secara menyeluruh. []
Sugiyono Madelan
Peneliti INDEF dan pengajar Universitas Mercu Buana.[rmol]