SEBENARNYA ini kejadian sudah lama. Dan sebenarnya juga orang sudah pada tahu bahwa lembaga survei itu ya begitu.
Lembaga survei itu lembaga yang sekaligus biasanya jadi timses salah satu kandidat yang akan bertarung dalam sebuah pemilihan. Jangankan presiden, kepala daerah bahkan untuk jadi ketua komisi (komisi lembaga ini saya tak usah sebut komisinya apa) itu ada timsesnya loh.
Saya pernah dihubungi kawan katanya bisa bantu komunikasi medianya untuk dukung pencitraan calon ketua komisi. Namun saya sudah dua kali menolak. Pertama, saya sibuk dan kedua saya tak minat.
Eh ada yang ketiga. Alamatnya pasti tak bakal beres nih kalau memimpin, karena bukannya dia harus yakin dirinya mampu, bukan dirinya dibuat reputasi yang tidak sesuai porsi.
Buka-bukaan Syahganda Nainggolan (SN) di Media Center Bawaslu RI, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu (24/4/19), menandakan bahwa ini adalah preseden buruk, akibat ulah yang mengaku intelektual bermain hanya untuk fulus. SN membongkar propaganda LSI Denny JA (DJA), yang tahu persis lembaga survei itu penipu sangatlah menohok. Tentu menohok karena jika dia punya rasa. Sebenarnya rasa itu ada tapi kadang dibutakan sudah biasanya.
SN mengatakan hampir semua lembaga survei di negeri ini hanya menampilkan kebohongan ke publik. SN adalah doktor riset kini menjabat Wakil Direktur Bidang Riset Sabang Merauke Institute (SMI), mengaku tahu persis bahwa semua lembaga survei itu penipu, yang ditudingkan sorot tajamnya atas penjelasan Ketua Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) soal Philips J Vermonte tentang perbedaan antara quick count (hitung cepat) dengan survei. Quick count, kata Philips, meneliti berdasarkan eksak atau angka. Sedangkan survei adalah meneliti opini.
“Itu adalah pernyataan kegoblokan orang yang nggak ngerti survei. Karena dalam terminologi statistik dan metodologi survei cuma ada dua, survei atau sensus. Survei itu base on sample, sensus itu populasi. Kalau quick count itu base on sample. Berarti quick count juga adalah survei. Itu aja dia sudah nggak ngerti,” kritik Syahganda.
Syahganda lantas membeberkan propaganda hasil survei capres petahana, Jokowi yang dilakukan pengusaha survei politik, Denny JA.
“Jadi saya tahu Denny JA tidak pernah lebih dari 50 persen survei itu Jokowi menang. Tapi dia mempropagandakan terus Jokowi 50-an persen. Saya tanya Den, Jokowi lu mau bikin sampai berapa? 60 persen Gan, dia bilang. Lu gila, gue bilang. Intelektual lu pelacur. Karena Denny JA teman saya di aktivis 80 sampai sekarang,” ungkapnya.
Apa yang dilakukan oleh Denny JA itu dinilainya sesuatu di luar nalar. Syahganda pun bersumpah pernah diajak Denny JA ikutan jadi pelacur intelektual tapi ditolaknya.
“Dia bilang lu ikut gue aja Gan, lu akan jadi kaya. Den gue bilang gue bukan kayak lu. Lu intelektual pelacur. Gue bukan intelektual pelacur. Karena gue dikader oleh Hariman Siregar dan lain-lain untuk menjadi orang idealis di republik ini. Itu demi Allah Denny JA itu ngajak saya jadi pelacur juga. Tapi ya sudahlah ini kebohongan-kebohongan,” tuturnya.
Hal itu disampaikan Syahganda di hadapan Ketua Bawaslu, Abhan dan anggota Bawaslu, Rahmat Bagja saat beraudiensi dengan Komando Barisan Rakyat Lawan Pemilu Curang (Kobar Perang).
“Jadi harapan saya kepada pimpinan Bawaslu, please selamatkan bangsa ini, jangan sampai kita main-main, orang-orang teriak NKRI harga mati tapi penipu semua,” pungkasnya.
Dalam quick count hasil Pilpres 2019 yang dirilis beberapa lembaga survei gabungan Persepsi, Jokowi-Maruf memperoleh suara terbanyak dibandingkan rivalnya, Prabowo-Sandi.
Sepenggal kisah itu bagi saya adalah contoh yang busuk. Melihat kejadian itu harusnya dibongkar tuntas. Karena kebusukan yang dibungkus meski dengan sutra termahal di dunia apapun tercium baunya. Untuk membuat bau itu maka segeralah buang itu semua dan kubur dalam-dalam.
Saya jadi teringat waktu masa kampanye ditelepon oleh senior di media tapi kini dia sudah Phd., dan dosen sebuah perguruan tinggi swasta yang mencetak banyak intelektual, berkata pada saya bahwa semua lembaga survei, tapi untuk kasus “gorengan” elektabiltas itu adalah siapa yang bayar.
Tapi untuk kasus yang selalu menyebut petahana hebat itu sudah keterlaluan tak melihat di lapangan, kenyataan dan lainnya. Jadi yang disurvei itu yang mana? Jangan-jangan hanya utak-atik tabulasi saja.
Abang senior juga sempat bilang katanya lembaga survei itu sudah diingatkan aktivis senior bahwa kamu boleh cari duit, tapi jangan seperti itulah ulahnya.
Saya jadi teringat soal drama Scapin atau lebih dikenal di Indonesia dalam naskah drama legendaris “Akal Bulus Scapin” karya Jean Baptiste Poquelin “Moliere” (1622-1673).
"Yang Maha Kuasa rupanya sudah memberkati aku dengan kepintaran untuk menciptakan kelok-kelok manis fikiran, segala macam intrik yang halus, yang oleh orang-orang awam yang tidak tahu apa-apa di sebut akal bulus," kata Scapin, si pelayan yang cerdik itu.
“Dan ku kira aku bisa mengatakan tanpa memuji-muji diri sendiri. Bahwa belum pernah orang melihat seorang tukang yang lebih pandai dari aku dalam menciptakan berbagai macam akal dan intrik. Seorang tukang yang bisa lebih berhasil dari aku dalam pekerjaan yang mulia ini."
Dengan akal bulusnya, Scapin mengakui satu per satu kejahatannya terhadap tuannya. Dari menghabiskan sebotol anggur Spanyol, menilep arloji tuannya, hingga memukuli tuannya sendiri. Tapi semuanya berlalu tanpa ada hukuman dari tuannya.
Dalam naskah drama itu, Scapin “mengakali” setiap masalah dengan jenaka. Semua masalah adalah masalah kecil, masalah remeh baginya. Termasuk, masalah hukum.
Coba perhatikan dialog SN dan DJA, kebayang wajah innocent tetapi ada nampak keyakinan seperti tampang dalam memenya yang dia produksi. DJA yang suka menyingkap meme berlembar-lembar setiap waktu di masa kampanye demi jadi timses dan lembaga survei isinya, menyerang oposisi dan membela petahana.
Setiap lembar meme-nya bikin dia paling pintar seolah orang lain tak boleh menanggapi dirinya, karena dari setiap meme yang dilempar di group WA ia tak pernah mau berdebat (Lempar meme sembunyikan mulut). Seperti akal bulus yang sempurna. Ruang WA adalah dialog tapi bagi DJA tak pernah ada mau dialog.
Bagi para pemangku survei di Indonesia DJA adalah dewa, tapi tahukah Anda sebelum dia buat lembaga survei sendiri dia ada di Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan dia bikin Lingkaran Survei Indonesia (LSI-DJA). Ada apa ini? tanya saja rekan-rekan di LSI, jangan tanya LSI Lingkaran.
Kasus SN membongkar DJA mungkin bisa jadi sebuah tragedi. Tetapi bagi banyak orang yang berakal sehat sepertinya menonton Pilpres saat ini adalah kesemrawutan yang harusnya diurai kekusutan demi helaian kecuranganya. Jangan dijadikan ada yang membuka kecurangan malah ditangkap polisi.
Maka saat ini masa kita harus percaya pada pelacur lembaga survei itu yang menjadi sang penipu dan lantas dipercaya tetapi yang sebenarnya, kenyataan dia buat menangis dan dosa bagi bangsa yang memiliki nilai luhur dan martabat tinggi ini. Tabik! []
Aendra Medita
Wartawan Senior [rmol]