Oleh: Denni Risman
Jagad medsos hari-hari ini diramaikan oleh Nasi Padang. Ada dengan nasi Padang? Ini kan lagi Pilpres, kenapa nasi Padang jadi ramai.
Selidik demi selidik, rupanya nasi Padang ini terbawa ‘rendong’ dalam kontestasi Pilpres. Karena Jokowi kalah telak di Sumbar, pendukungnya menyuarakan boikot makan nasi Padang.
Oalah Yuang…yuang. Anda tidak tahu bagaimana orang Minang (Sumatera Barat) memilih calon pemimpinnya. Mereka punya patokan 3 T, Takah, Tageh dan Tokoh.
Takah artinya patut atau layak ndak dia jadi pemimpin. Tageh, apakah dia punya ketegasan, punya sikap yang kuat dalam memimpin. Tokoh, betulkah dia sosok seorang pemimpin. Sosok yang ditinggikan seranting, didahulukan selangkah.
Pilihan itu tidak terjadi dalam dua pilpres ini, 2014 dan 2019. Lihatlah sejarah Pilpres pasca reformasi, sejak tahun 2004.
Pada tahun 2004, orang Minang memilih Amien Rais sebagai capresnya di putaran pertama. Sumbar jadi lumbung suara terbesar Amien Rais. Tapi karena kalah suara, akhirnya yang maju di putaran ke dua, SBY dan Megawati.
Lihatlah perbandingan 3T antara Amien Rais dan SBY. Secara perbandingan, SBY masuk dalam tiga kategori itu. Tapi orang Minang memilih Amien Rais karena lebih ‘Tageh’ dari SBY. Perbandingan itu mereka lihat dari rekam jejak Amien Rais saat perjuangan reformasi.
Pada putaran ke dua saat kontestan tinggal dua, Susilo Bambang Yudhoyono melawan Megawati tentu orang Minang memilih SBY sebagai Capresnya.
Begitu juga pada tahun 2009, saat SBY maju ke dua kali dan melawan Megawati yang berpasangan dengan Prabowo, mereka tidak melihat Prabowo dalam kategori pemimpin 3 T. Karena Prabowo hanya sebagai Cawapres. Patokan pemimpin adalah Capresnya, bukan Cawapresnya. Hasilnya, orang Minang kembali memih SBY sebagai Capresnya.
Pada Pilpres 2014, saat Prabowo tampil sebagai capres bertanding dengan Jokowi. Sudah jelas patokan 3 T itu cocok pada sosok Prabowo. Mereka tidak peduli dengan massifnya opini di nasional tentang Jokowi, orang desa, sederhana dan merakyat. Bagi orang Minang seorang pemimpin itu haruslah Takah, Tageh, dan Tokoh.
Ketika ulangan pertarungan di Pilpres kembali terjadi di 2019, pilihan itu tetap tidak berubah. Walau diketahui ada 12 bupati dan walikota yang mendukung Jokowi, namun 3 T itu sudah jadi prinsip untuk memilih pemimpin.
Jadi wajar kalau Prabowo menang tebal dari Jokowi dalam dua Pilpres di Sumbar. Karena Prabowo lebih takah dari Jokowi. Prabowo lebih ‘Tageh’ dari Jokowi. Dan Prabowo lebih ‘Tokoh’ dari Jokowi. Kecuali lawannya AHY. Tentu hasil akan beda.
Lalu di mana salahnya nasi Padang?
Pekanbaru, 24 April 2029