PETAHANA Joko Widodo memilih menunggu menggunakan surat keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai dasar hukum “de jure” untuk menyatakan menang Pilpres 2019.
Prabowo Subianto sebagai penantang menggunakan banyaknya jumlah sampel berita acara hasil pemungutan suara tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS) sebagai indikator sementara untuk mengambil keputusan menyatakan menang dalam Pilpres 2019.
Kemenangan suara menggunakan legitimasi hukum surat keputusan KPU bukanlah menjadi sumber kebenaran hukum yang bersifat final dalam membangun keadilan hukum ketatanegaraan Pilpres. Mahkamah Konstitusi dijadikan sumber keadilan hukum Pilpres yang bersifat final.
Akan tetapi legitimasi menggunakan instrumentasi hukum bukanlah dasar mutlak untuk keberlanjutan kekuasaan suatu pemerintahan dan ketatanegaraan.
Ketika itu, Presiden Soeharto yang mendapat legitimasi hukum TAP MPR tahun 1998, namun tiga bulan kemudian Presiden Soeharto menyatakan berhenti setelah legitimasi hukum kalah kuat bersaing dibandingkan resistensi terhadap legitimasi dukungan kepercayaan sosial kemasyarakatan.
Joko Widodo berhasil mendapatkan legitimasi hukum pada tahun 2014 setelah Prabowo Subianto mengakui kekalahan dalam Pilpres 2014 pasca keputusan bersifat final dan mengikat dari Mahkamah Konstitusi. Persoalan menjadi berbeda setelah munculnya gagasan “people power” akibat rekam jejak indikasi kecurangan-kecurangan yang mengganggu rasa hati nurani dasar legitimasi sosial kemasyarakatan.
Petahana Joko Widodo yang menolak cuti jabatan kepresidenan telah membuatnya terkendala moralitas untuk bersikap tegas guna menolak secara terbuka terhadap acara syukuran kemenangan sementara Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno.
Keyakinan kemenangan Joko Widodo berasal dari publikasi hitung cepat di televisi dan media arus utama. Sumber pijakan legitimasi publikasi dari Lembaga Survei hitung cepat mempunyai rekam jejak keliru prediksi pada Pilkada DKI Jakarta dan Pilkada lain, namun Lembaga Survei arus utama tadi tidak terdengar secara luas telah melakukan pergantian Direksi, Komisaris, dan Manajer perusahaan. Televisi yang tertangkap mengubah persentase kemenangan tanpa proses sidang penyelidikan terbuka.
Joko Widodo juga tidak menyatakan kemenangan secara terbuka, tegas, dan kokoh, melainkan sebatas memamerkan pengakuan sukses atas kegiatan pelaksanaan Pemilu, antara lain dari Perdana Menteri Mahathir Mohammad Malaysia, Perdana Menteri Singapura, dan Presiden Erdogan Turki.
Tidak ada ucapan selamat atas kemenangan Pilpres dari Presiden Amerika Serikat, Perdana Menteri Inggris, Perdana Menteri Jepang, dan Perdana Menteri Australia. Artinya, belum ada dasar legitimasi sosial kemasyarakatan dari dukungan pengakuan kemenangan Pilpres 2019 oleh para pemimpin negara dan pemerintahan yang sangat berpengaruh di tingkat dunia.
Sementara itu Menkopolhukam Wiranto dan Bawaslu tidak memberlakukan pelarangan kegiatan syukuran kemenangan di rumah Prabowo Subianto. Walhasil, persaingan antara legitimasi hukum dan legtimasi sosial kemasyarakatan menjadi uji legitimasi kemenangan suara Pilpres 2019. []
Sugiyono Madelan
Peneliti Indef dan pengajar Universitas Mercu Buana
[rmol]