Oleh: Haris Rusly Moti
Di Turki pada 15 April 2016, sejumlah perwira dan prajurit militer terlibat aksi kudeta terhadap Presiden Turki, Reccep Tayyip Erdogan. Mereka menduduki dan menguasai stasiun radio dan televisi milik negara. Kudeta itu gagal karena tidak didukung oleh rakyat.
Pada 7 Januari 2019, di negara Gabon, sebuah negara di Afrika Tengah, militer Gabon mengambilalih radio nasional. Malalui radio nasional itu mereka mengumumkan telah merebut kekuasaan dari dinasti politik Presiden Gabon Ali Bongo yang telah memerintah selama 50 tahun. Mereka juga mengumumkan pembentukan Dewan Restorasi Nasional yang disiarkan melalui radio.
Jika kita perhatikan, hampir seluruh aksi politik pengambilalihan kekuasaan, baik itu melalui jalan kudeta maupun jalan revolusi selalu menjadikan stasiun radio dan televisi nasional sebagai sasaran. Mereka menduduki dan menguasainya. Melalui radio dan televisi, mereka menggalang dukungan dari rakyat atas aksi politik mereka.
Jika pada kudeta militer, prajurit militer dengan kelengkapan senjata dan tank-tank dikerahkan untuk mengepung dan menduduki stasiun radio dan televisi. Demikian juga dalam aksi-aksi revolusioner, kekuataan massa dikerahkan untuk mengepung, menduduki dan menguasai stasiun radio dan televisi.
Kudeta Demokrasi
Di Jakarta 17 April 2019, kudeta atau makar terhadap kedaulatan rakyat itu dilakukan secara soft. Mereka menguasai hampir seluruh televisi nasional. Nyaris tidak ada lagi opini tandingan terkait hasil Pilpres 2019.
Persis aksi kudeta militer yang menguasai stasiun radio dan televisi. Melalui tangan-tangan pemodal dan kekuasaan, mereka juga menguasai televisi nasional untuk mengumumkan hasil quick count. Tidak perlu pengerahan militer atau pengerahan massa untuk menduduki stasiun tivi dan radio. Karena hampir semua pemilik media mainstream adalah para taipan dan saudagar yang mendukung calon Presiden petahana.
Ketika pemilihan umum, Pilpres dan Pileg dilakukan secara serentak. Rakyat di seluruh pelosok bergegas menjemput perubahan dengan mendatangi TPS-TPS setempat. Mereka menyalurkan aspirasinya dengan mencoblos pejabat-pejabat negara pilihan mereka.
Namun, proses demokrasi itu kemudian dibajak (hijack) hasilnya oleh dua perusahaan bisnis, yang dibentuk untuk mencari keuntungan. Pertama, lembaga survei. Lembaga jual beli angka survei ini adalah bisnis yang mengeruk keuntungan sangat banyak di dalam negara yang sedang runtuh tatanannya.
Kedua, media massa mainstream nasional. Para jurnalis idealis pada umumnya mereka tidak bisa betah dan hidup di dalam situasi media massa yang dikendalikan oleh modal taipan dan saudagar. Hampir seluruh televisi nasional dikuasai oleh pemodal taipan dan saudagar nasional yang bersekutu dengan oligarki penguasa politik yang serakah dan korup.
Dua institusi bisnis tersebut, yaitu lembaga survei dan difasilitasi media massa mainstream, mereka telah membajak yang kesekian kalinya terhadap kedaulatan rakyat. Melalui sarana quick count, mereka meng-hijack atau membajak suara rakyat. Mereka mengumumkan pemenang Pilpres jauh sebelum lembaga resmi memutuskan pemenangnya.
Pengumuman hasil quick count yang difasilitasi oleh media massa mainstream tersebut dapat kita katakan sebagai teror yang telah melumpuhkan secara psikologis calon penantang. Teror psikologis seperti itu dapat dikatakatan sebagai sebuah rencana dan rangkaian besar untuk melakukan kecurangan. Lembaga survei dapat saja dicurigai dan diduga dibayar untuk membenarkan sebuah kecurangan pemilu melaui hasil quick count yang mereka umumkan.
Hampir seluruh televisi nasional diduduki dan dikuasai oleh pihak petahana. Bahkan TV One, media yang selama ini kita kenal sebagai media yang kritis terhadap Pemerintahan Joko Widodo, pada hari itu berubah menjadi panggung pemenangan bagi petahana.
Panggungnya petahana direlokasi dari MetroTV ke TV One. Burhanudin Muhtadi dan Hanta Yunda, pendukung Capres petahana yang biasanya tampil di MetroTV mengumumkan quick count-nya, direlokasi untuk tampil di TV One, televisi yang selama ini ditonton pemirsa oposisi yang kritis terhadap pemerintah. Sebuah serangan psikologis menggunakan senjata musuh.
Capres Prabowo dan tim pemenangannya memang mengulangi kesalahan yang kedua kalinya. Sibuk menggalang massa dan terlalu pintar bicara di media, tapi tidak punya kemampuan mengamankan suara rakyat yang dibajak di ujung permainan melalui sarana quick count yang difasilitasi media massa mainstream. Tim pemenangan yang dilingkari oleh teman-teman lawasnya sang Petahana memang tidak mengerti filosofi dan hukum-hukum pertarungan politik.
Saat ini, tidak ada lagi demokrasi di Indonesia. Hukum juga sudah runtuh. Kedaulatan rakyat telah dibajak dan dikudeta. Para taipan dan saudagar yang mendukung kacungnya untuk tetap memimpin negara, mereka mengendalikan dan membiayai lembaga survei dan media nasional.
Makar terhadap kedaulatan rakyat oleh perusahaan bisnis survei dan media massa mainstream tersebut tak bisa dibiarkan. Sudah waktunya rakyat dari berbagai agama dan golongan harus bertindak menghentikannya. Kekuatan rakyat (people power) adalah konstitusi tertinggi.