Alhamdulillah, otak manusia, otak kita-kita ini, dibekali komponen yang mampu menghasilkan konsep yang sangat sederhana, yaitu ‘commons sense’ alias ‘pikiran sehat’. Yakni, konsep abstrak yang mengandalkan ‘kearifan’.
Banyak sinomin ‘common sense’. Termasuk ‘good sense’ (nalar baik). Bisa juga diseterakan dengan ‘prudence’ (bijak). Tak salah disebut ‘judgement’ (pikiran jernih, pikiran adil), dan banyak lagi.
Jadi, akal sehat, nalar yang baik, kearifan, pertimabngan yang sehat, dan istilah-istilah lain yang menjadi padanannya adalah landasan berpikir untuk mengambil tindakan yang sesuai dengan tuntutan alam (lingkungan). Itulah ‘common sense’.
Contoh praktisnya adalah, kalau Anda berjalan sendiri di kawasan yang terkenal bahaya, tentu Anda tidak memamerkan arloji mahal atau smartphone model terbaru. Atau, kalau Anda tahu ada tawuran remaja di depan, Anda akan ambil jalan alternatif. Di level yang lain, kalau Anda tahu semua orang sudah menunjukkan penolakan dengan jelas, tentu Anda tidak perlu memaksakan diri agar mereka mau menerima Anda. Itulah ‘common sense’ atau akal sehat. Alias pikiran jernih.
Anda akan selalu mengambil sikap yang natural. Yang sesuai dengan ‘keinginan lingkungan’ saat itu.
Sikap dan tindakan natural dihasilkan oleh bagian otak depan manusia. Yaitu, bagian otak yang menerima informasi dan kemudian mengolah informasi itu sebagai dasar untuk menghasilkan ‘kreasi’. Sayhdan, sikap dan tindakan yang alami itu adalah ‘kreasi’.
Sekali lagi, sikap dan tindakan yang alami itu adalah produk buah pikiran yang sehat dan sejalan dengan ‘kehendak lingkungan’. Di dunia politik, ‘kehendak lingkungan’ itu lumrah disebut sebagai ‘aspirasi publik’.
Nah, berdasarkan ‘aspirasi publik’ itu, para pemimpin dan pemuka masyarakat akan menunjukkan sikap dan tindakan yang selaras. Orang lain menyebut ‘tindakan selaras’ itu “follow suit”. Yaitu, mengikuti keinginan orang banyak. Dalam terminologi kenabian, ini disebut “sami’na wa atha’na” (aku dengar dan aku patuhi).
Istilah “follow suit” (sami’na wa atha’na) bermuara ke sikap ‘compliance’ (kepatuhan) terhadap ‘aspirasi publik’ itu.
Sikap ‘compliance’ kepada ‘aspirasi publik’ menjadi sirna ketika ada manusia yang serakah. Manusia rakus. Manusia yang minus etika. Tetapi, mereka adalah manusia yang merasa memiliki kekuatan. Memiliki perangkat untuk memaksakan kehendak pribadinya dan kelompoknya.
Inilah yang sedang kita saksikan saat ini. Pak Jokowi dan kelompoknya merasa memiliki perangkat untuk memaksakan kehendak. Beliau tidak rela “sami’na wa atha’na” pada aspirasi publik. Akibatnya, Pak Jokowi harus melakukan apa saja untuk menaklukkan ‘aspirasi publik’ yang menolak hasrat beliau untuk berkuasa dua periode. Dalam banyak contoh, beliau pelihatkan hasrat itu melalui langkah-langkah yang sifatnya arogan.
Segala cara adalah satu-satunya jalan untuk mematikan ‘aspirasi publik’ yang menolak Pak Jokowi itu. Aspirasi publik harus dimatikan karena keberadaannya menciptakan kontradiksi.
Misalnya, ketika mayoritas publik memilih Prabowo di pilpres 2019 ini, Pak Jokowi merasa dia yang menang. Ketika publik mengatakan sudah cukup, Jokowi menjawab dia mau terus. Ketika publik ingin kejujuran, dia malah ’jorjoran’. Ketika publik menuntut keadilan, Jokowi menghadirkan kesewenangan. Jadi, serba bertentangan. Serba kontradiktif.
Supaya kontradiksi itu tidak ada, Pak Jokowi harus membuang ‘common sense’. Harus membuang akal sehat, pikiran sehat, nalar baik, dan kearifan. Ini semua harus dibuang karena menghalangi hasrat beliau.
Jadi, ‘common sense’ alias ‘akal sehat’ alias ‘pikiran jernih’ harus dilenyapkan karena konsep ini adalah antibiotik bagi kesewenangan. Merawat dan menggunakan pikiran jernih, akal sehat, hanya akan melemahkan tekad untuk melakukan tindakan sesuka hati.
*Penulis: Asyari Usman (wartawan senior)
[swa]