TITIK kritis dalam persaingan suara dalam suatu Pemilu bukan terletak pada pengakuan tentang siapa yang menyatakan kemenangan terlebih dahulu berdasarkan metoda survei exit poll dan hitung cepat, melainkan terletak pada keberadaan pengakuan kekalahan secara terbuka dan resmi.
Sengketa ketiadaan kandidat yang mengaku kalah, kemudian solusi menurut jalur hukum adalah menempuh proses perhitungan “real count” yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Apabila masalah mendasar itu berupa saling ketidakpercayaan justru masih meningkat, maka independensi KPU tetap saja berpotensi menjadi masalah.
Bahkan penyelesaian sengketa Pemilu melalui jalur hukum lanjutan di tingkat Mahkamah Konstitusi (MK) pun bukanlah satu-satunya solusi yang senantiasa berhasil dalam membangkitkan pengakuan kekalahan secara terbuka dan resmi pada Pemilu 2019.
Apabila rasa kesalingtidakpercayaan pada mekanisme institusi Pemilu sedemikian besar, maka mekanisme “people power” berpotensi menjadi pintu masuk terhadap usaha membangkitkan pengakuan kekalahan secara terbuka dan resmi.
Perasaan saling tidak percaya itu membesar bukanlah tanpa rekam jejak. Jejak terdekat adalah tiadanya penyelesaian transparan dan akuntabilitas secara cepat dan tuntas penyelidikan kasus pencoblosan suara palsu di Malaysia. Yang lainnya berupa pencurian kotak suara seperti pada kasus di Madura. Tertangkapnya kasus sangkaan politik uang.
Yang kedua, adalah terjadinya pencoblosan lanjutan untuk pemilih yang belum mendapat hak pilih di luar negeri. Kapasitas kelembagaan pemilu di luar negeri menimbulkan antrian panjang melebihi daya dukung ambang batas waktu yang tersedia untuk pemilih dapat semuanya menggunakan hak pilih.
Yang ketiga, adalah terdapat lebih dari dua ribuan hak pilih pada Tempat Pemungutan Suara (TPS) di dalam negeri yang tertunda disebabkan kendala teknis di lapangan, seperti kurang tersedianya surat suara pada hari pencoblosan 17 April 2019.
Yang keempat, tertangkapnya insiden perekayasaan hitung cepat di televisi.
Yang kelima, terjadinya aib lembaga-lembaga hitung cepat yang semula dipandang transparan, terbuka, dan terpercaya pada Pemilu 2014, namun terbukti gagal total dalam memprediksi kemenangan Pilkada DKI Jakarta, dan Pilkada lainnya.
Yang keenam, tersedianya informasi komunikasi media sosial, yang menjadi alternatif komunikasi media arus utama. Degradasi independensi pilar-pilar kelembagaan Pemilu terjadi secara kasat mata pada rekam jejak digital youtube.
Mantan Presiden Burhanudin Jusuf Habibie dalam memulihkan rasa saling ketidakpercayaan pada momentum krisis ekonomi tahun 1998 antara lain dengan membangun independensi Bank Indonesia, kejaksaan tidak masuk kabinet, membebaskan tahanan politik, dan membangkitkan independensi media massa.
Mengharapkan secara naif, agar salah satu dari kedua kandidat capres untuk secepatnya menyatakan pengakuan kekalahan sungguh menjadi sumber pengorbanan keadilan hukum yang bersifat strategis untuk membangun suksesi secara damai di Indonesia.[]
Sugiyono Madelan
Peneliti INDEF dan Pengajar Universitas Mercu Buana
[rmol]