Imbauan Prof Din Tentang Pemilu Damai Yang Berbuntut Panjang

Imbauan Prof Din Tentang Pemilu Damai Yang Berbuntut Panjang

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

Oleh Poetra Adi Soerjo 
(Pendidik Pesantren Modern Internasional Dea Malela Sumbawa-Indonesia)

Sudah cukup lama indonesia kering dari khasanah dialektika keilmuan Islam. Kita tak menemukan lagi diskursif keilmuan yang lebih maju dari perdebatan angkatan 70-an, ketika Cak Nur melemparkan ide sekularisme dan pluralisme yang mendapat tanggapan keras dari berbagai intlektual muslim lain seangkatannya. Apapun thesis Cak Nur tentang rekonsiliasi relasi negara dan kebebasan beragama, tetapi situasi zaman itu tetap kita kenang hari ini sebagai masa kejayaan pemikiran Islam di Indonesia.

Sebagai pembaharu, Cak Nur setidaknya sukses menciptakan rational public discourse maju yang membawa alam pikiran intlektual muslim pada pengembaraan yang jauh dan masuk ke dalam rimba konfusi semantik dan scientific, dengan idenya yang ia klaim sebagai sekularisasi yang diperintahkan oleh Islam. Ilmuwan Islam lain saat itu seperti HM Rasidji dan Imaduddin Abdurrahim memberikan bantahan keras, karena tak ada satupun ide sekularisme yang bisa dirujuk di dalam ayat Al Qur"an dan Hadis.

Saya melihat kebangkitan pemikiran Islam akan terpantik lagi dengan adanya rational public discourse yang mulai memancing kehadiran intlektual muslim Indonesia dari sarang persembunyiannya. Hal yang saya maksud adalah terkait saling berbalas pandangan beberapa teman-teman intlektual tentang Imbauan Prof Din Syamsuddin (Ketua Dewan Pengarah Majlis Ulama Indonesia) agar jangan menggunakan ajaran agama sebagai isu politik dalam Pilpres. Apapun tanggapan yang ada, saya pandang sebagai hal yang positif bagi khasanah pemikiran Islam di Indonesia.

Imbauan Prof Din yang kapasitasnya dalam dunia keilmuan islam sudah sekaliber dunia mendapat sambutan positif dari banyak orang. Karena inti dari imbauannya adalah jangan sampai pilpres dijadikan sebagai ajang pembelahan antar anak bangsa dengan memberi label politik identitas sebagai pembeda satu sama lain. Apalagi labeling yang dilakukan dengan cara menggaris satu kelompok sebagai pancasila dan yang diluarnya terdefinisi sebagai anti pancasila dengan streotif negatif pendukung khilafah.

Namun imbauan yang baik agar pemilu tak mencederai modal sosial luhur anak bangsa untuk menghindari perasaan saling mencurigai satu sama lain sebagai the others, juga mendapat respon negatif. Di antaranya datang dari KH. Hamdan Rasyid (tokoh NU Jakarta),  Dr. Nadirsyah Hosen (Ketua PCINU Australia), dan Khalid Syairazi (Sekjen ISNU). Saya melihat tannggapan mereka bernada pribadi, seperti Syairazi yg menilai Prof. Din sebagai ambivalen dalam memandang kata khilafah.

Di sisi lain Nadirsyah justru mereduksi ide besar dalam imbauan tersebut sehingga hilang substansinya terganti perdebatan tektualis tentang apakah kata khilfah ada dalam Al Qur"an. Padahal Prof Din dalam imbauannya di point 2 cukup tegas memberi batasan definisi dengan membuat kalimat di dalam kurung untuk menghindari hadirnya asosiasi pemaknaan lain. Lalu beberapa yang lain ada yang dengan angkuh melakukan killing the messenger dengan mendowngrade kapasitas pribadi Prof Din terkait kemampuan berbahasa Arab.

Di sini agak naif karena selain karir akademik Prof Din dalam dunia bahasa dan kesusastraan Arab, Prof Din juga satu di antara intlektual muslim Indonesia yang paling tinggi jam terbangnya berpidato dan berceramah menggunakan bahasa arab dalam berbagai forum bergengsi dunia. Din telah masuk dalam deretan intlektual muslim dunia yang menjurubicarai islam wasothiyah yang pikiran dan kata katannya dirindukan dunia.

Terkait hal tersebut di atas, pertama saya ingin mengingatkan kembali kepada ide besar dari imbauan Prof Din agar tidak terdistorsi oleh sinisme yang menutup isi. Saya tak perlu memberikan pemaknaan ulang atas imbauan tersebut selain mempersilahkan kepada para pembaca untuk membaca ulang imbauan Prof Din dengan hati yang bersih sembari menghilangkan anasir merasa lebih pancasila dari yang lain. Isu isu yang dihadirkan dalam pilpres tidak boleh memancing kekisruhan yang meninggalkan jejak luka apalagi membangkitkan luka lama problem politik identitas di indonesia yang sudah lama sama sama kita lampaui dan jika meledak kembali maka ongkos sosialnya sangat tinggi.

Kedua, terkait kata khilafah, substansi dari Prof Din adalah akibat streotif negatif terhadapa kata khilafah yang sudah terlalu liar dan hegemonik membentuk konstruksi makna baru dalam benak massa, sebagai seakan kata khilafah adalah jelma pikiran dan tindakan jahat berbahaya dan bahkan dosa besar untuk hanya disebut sebagai kata, maka Prof Din hendak mendudukkan pengertian. Dalam hal inu Prof Din sudah secara lugas, bahkan dengan santun dan rendah hati memberi tanggapan atas kritik yang ia terima dengan bahasa ingin belajar bahasa arab dari pengeritiknya. Inti dari tanggapan Prof Din adalah untuk mengurai dan mendudukkan kembali kata khilafah pada tempat yang benar dari kesalahan pemberian definisi operasional oleh beberapa kelompok yang menjadikannya sebagai perjuangan politik anti kebangsaan di satu sisi dan di sisi lain juga dari kejamnya pendefinisian baru yang tercipta akibat perppu larangan HTI.

Bagi Prof Din bagaimanapun khilafah adalah bagian dari ajaran dan khasanah keilmuan yang tak mungkin bisa diekslude begitu saja dari perdaban kebudayaan islam. Jangan karena larangan terhadap HTI membuat kita menghapus sirna seluruh definisi lain dari khilafah. Apa yang dari agama dalam relasinya dengan negara tetaplah harus menjadi basis spritualitas untuk membangun peradaban. Itu yang dimaksud Prof Din bahwa khilafah memikiki konteks pengertian non politis. Yang dalam kaitannya dengan misi mondial manusia sebagai kholifatullah fil ardh, maka khilafah dalam tafsir kontekstual dapat berbentuk sistem peradaban yang menampilkan prinsip washatiyah dan rahmatan lil alamin dalam scope nation state indonesia. Sementara terkait apakah ada kata khilafah di dalam Al Qur"an saya pandang ini bukan tema substantif, karena kita semua paham dalam pelajaran bahasa arab  paling dasar terkait hubungan maknawi dalam perubahan kata dalam bahasa arab.

Ketiga, saya sangat berkepentingan untuk mengkelarifikasi terkait tuduhan ambivalen kepada Prof Din, karena bagi saya dan kami sebagai murid murid beliau dan demikian orang keumuman memandang watak dasar seorang Din Syamsuddin adalah paling keras memegang prinsip dan paling tidak bisa melihat ketidakadilan. Satu hal yang selalu kami tangkap dari ceramah beliau tentang dari mana sumber sikap dan keberanian serta kenapa beliau tidak pernah mengalami split personal untuk mencla mencle dalam sikap dan pandangan politiknya adalah karena pengertian beliau tentang aqidah itu sangat kuat, sehingga tak ada ketakutan selain kepada Allah ketika hendak bersikap.

Inilah susahnya Umat Islam karena yang ditakuti hanya Allah sehingga ia merdeka dalam bersikap, gak mudah dibelokkan untuk mengentertain kepentingan siapapun. Sementara posisi pertengahan yg selalu beliau tunjukkan (tengah bukan berarti ambivalen) adalah karena Prof Din sangat kental dengan jiwa almamaternya di Pondok Modern Gontor yaitu sebagai perekat umat, dan berdiri di atas dan untuk semua golongan. Inilah dasar pijakan pikiran dan sikap Prof Din yang kami baca yang membuatnya obsesif dengan Wawasan Wasatiyah Islam.

Sebenarnya tidak terlalu susah untuk memahami pikiran dan sikap seorang Din Syamsuddin, apalagi menyimpulkannya sebagai ambivalen. Yang diperlukan hanya totalitas untuk utuh memahami pikiran dan sikapnya dalam berbagai peristiwa, dengan mendengar langsung ceramah ceramahnya. Bukan dari pemberitaan media yg sering tidak utuh mendescribe maksud sebenar dari luasnya pandangan beliau tentang islam, manusia dan negara.

Ketidakutuhan dalam memahami pendirian Prof Din bahkan membuatnya seringkali dilabeli sebagai ulama yang memiliki anasir pemikiran liberal, dan dalam hal lain juga seringkali dituduh konservatif -dua kutub yang sangat tidak wujud dalam satu individu.  Tapi sebagai murid saya tahu persis bahwa Prof Din tidak terlalu memberi waktu untuk mengentertain cara pandang orang atasnya. Beliau cendrung membiarkan orang bebas menilainya dengan kaca mata yang dimiliki masing masing.

Bagi Saya pribadi di MUI semisal, diibandingkan Kiyai Ma"ruf Amin, Prof. Din Syamsuddin justru dianggap berada di kutub yang lain. Karena fatwa-fatwa MUI seperti yang terkait dengan sekularisme dan liberalisme, atau terkait penistaan agama oleh Ahok, justru banyak digawangi oleh Kyai Ma"ruf yang memegang jabatan sebagai Ketua Bidang Fatwa sebelum menjadi Ketua Umum.

Din justru banyak dipahami oleh orang sebagai figur yang ingin mengayomi seluruh elemen umat. Di Muhammadiyah, Din bisa diterima oleh kelompok yang berpikiran progresif "liberal" dan juga kelompok konservatif sekaligus. Begitupun relasinya di luar Muhammadiyah, Bahkan sebagai Utusan Khusus Presiden dia memprakarsai Pertemuan Ulama dan Cendekiawan Muslim Sedunia di Bogor, Mei 2018.

Memang tidak mudah dan selalu ada rintangan untuk mengambil posisi tengahan seperti itu, apalagi harus berbaik kepada semua. Itu pula yang membuat ada orang yang membuat kesimpulan serampangan bahwa Prof Din Ambivalen, karena tergantung sudut pandang dan kaca mata masing-masing.

Terkait gerakan 212, perlu juga saya tegaskan bahwa pada Gerakan 411 dan 212 Prof. Din justru tidak ikut, itulah kenapa saat ditanya kenapa tidak ikut Reuni 212, dijawabnya "saya tidak ikut karena bukan alumni". Tapi ketika diundang pada Pembukaan Konfrensi Internasional tentang Khilafah oleh HTI di Gelora Bung Karno -jauh sebelum HTI dilarang, Prof Din justru memberanikan diri untuk hadir.

Kepada HTI waktu itu, Prof Din menyampaikan dengan lantang, "saya tidak bersetuju dengan pandangan HTI tentang khilafah, tapi saudara-saudata semua adalah bagian dari Keluarga Besar Umat Islam". Itulah kenapa di dalam pidatonya di GBK, Din Syamsuddin menegaskan bahwa khilafah adalah bagian dari khasanah keilmuan keiIslaman, tapi pembentukan khilafah di Indonesia harus dalam kerangka NKRI yang berdasarkan Pancasila.

Sikap linier juga ditunjukkan Din selama memimpin Muhammadiyah 10 tahun dan sebagai Ketua Umum MUI selama 1,5 tahun, Prof. Din sering menyatakan bahwa Muhammadiyah atau MUI harus menjadi Tenda Besar bagi seluruh umat Islam, tempat nyaman bernaung bagi yg setuju maupun tidak setuju.

Soal khilafah politik sebagai bentuk pemerintahan, Prof. Din Syamsuddin berpikiran dan bersikap tegas: tidak menyetujuinya. Tapi sebagai tokoh umat dia terusik dgn cara Pemerintah memperlakukan HTI yg dinilainya tidak berkeadilan. Ini sejalan dengan apa yang sering dia serukan kepada kader kader muda: "be a peace and justice loving people" (jadilan orang yg cinta damai dan keadilan).

Jadi kalau dinilai Prof Din ambivalen, saya katakan sangat tidak, tapi kalau yang melihatnya dari sudut kepentingan tertentu itu yang membuat kaca matanya menjadi bias.[tsc]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita