Hasil (Sementara) Pilpres 2019: Mengingkari Akal, Mengganggu Rasa (Emosi)

Hasil (Sementara) Pilpres 2019: Mengingkari Akal, Mengganggu Rasa (Emosi)

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

Oleh : Eddy Junaidi

Jika terbukti curang dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019, Joko Widodo bakal tercatat sebagai presiden terburuk sepanjang sejarah Indonesia. Pasalnya, hasil Pilpres 2019 yang saat ini tengah diproses Komisi Pemilihan Umum (KPU) diduga sudah mengingkari “akal” sehat dan mengganggu “rasa” segenap rakyat Indonesia. Pendukung pasangan Capres dan Cawapres nomor urut 02 (Prabowo-Sandi) meyakini, secara pikir dan zikir, bakal menang Pilpres. Namun menduga ada kecurangan. Jika itu yang terjadi, sejatinya apa yang terjadi dalam pemilu kali ini adalah sebuah kejahatan besar-besaran terhadap akal sehat dan demokrasi (extra-ordinary crime).

Hasil Pilpres sementara, lewat Quick Count (hitung cepat) maupun hitungan real count sementara KPU, secara “syariat” atau hukum prosedural dimenangkan Jokowi-Ma’ruf  dengan segala indikasi kecurangan yang dipertontonkan secara telanjang. Namun demikian, secara “hakikat” kubu Prabowo-Sandi meyakini kemenangan. Pemahaman ini seperti halnya memahami antara “syariat” dan “hakikat”. Ibarat kulit dan isi. Secara hukum prosedural, KPU adalah wasit yang dilindungi undang-undang. Namun, secara kasat mata justru kita disuguhi perilaku KPU yang tidak mencerminkan substansi dari fungsinya sebagai wasit.

Pada akhirnya, substansi dari penghitungan hasil Pilpres saat ini adalah niat dari penyelenggaranya. Padahal rakyat Indonesia dengan gegap gempita telah berpartisipasi, konon sampai 80%, luar biasa. Namun sayang, dikhianati oleh hasrat kekuasaan murahan, sungguh memalukan. Inilah yang sulit diterima oleh akal sehat. Bukan hanya oleh pendukung Paslon 02 tetapi oleh rakyat Indonesia.

Saat ini, Ideologi Adalah Kepentingan Kekuasaan

Inilah ekses dari berpolitik yang tidak lagi menggunakan ideologi. Mungkin tergiur dengan pendapat Karl Marx bahwa ideologi adalah kesadaran palsu. Ideologi tercipta karena akumulasi pikiran berdasarkan norma, agama dan moral dalam bersikap dan berperilaku, termasuk dalam menjalankan kekuasaan.

Ideologi harus terbuka (bukan dogma) dan harus dinamis, sehingga senantiasa mampu mengadaptasi dirinya dengan perkembangan zaman. Ideologi harus mampu menjawab kebutuhan akan citra atau jati diri suatu kelompok sosial, komunitas, organisasi atau suatu bangsa. Ideologi berfungsi menanam keyakinan akan kebenaran perjuangan kelompok yang berpegang padanya. Ideologi dijadikan sarana bagi pendirinya untuk menguasai dan mempengaruhi seluruh kegiatan kelompok atau organisasi tersebut.

Namun seringkali ada ideologi partai politik tidak sejalan dengan aktivitasnya sehingga seperti sekarang ini, ideologi sekadar menjadi positioning statement secara politik belaka alias sloganistik palsu.

Kata ideologi sendiri dicetuskan oleh Destutt de Tracy, seorang filosof Perancis pada tahun 1796. Ideologi dianggap sebagai visi yang komprehensif sebagai cara memandang segala sesuatu, terkait ide dan gagasan pada suatu kelompok masyarakat. Tujuan utamanya menawarkan perubahan melalui proses normatif, seperti Partai Nasdem dengan “Restorasi Sosial”-nya. Entah restorasi apa yang pernah dilakukan partai tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ideologi bersifat abstrak jika tidak diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Secara implisit, setiap pemikiran politik mengikuti sebuah ideologi walaupun tidak diletakkan sebagai sistem berpikir yang eksplisit. Banyak parpol di Indonesia menjadikan ideologi yang diusungnya hanya sebagai “mitos” dan bersifat utopis belaka.

Ideologi berasal dari kata ‘idea’ yang berarti gagasan, konsep dengan pengertian dasar adalah cita-cita sementara ‘logi’ berarti pengetahuan. Sehingga pengertian ideologi adalah pengetahuan, ide-ide dasar, keyakinan serta kepercayaan yang bersifat sistematis dengan arah dan tujuan yang hendak dicapai dalam kehidupan nasional suatu bangsa dan negara.

Unsur-unsur dalam ideologi yaitu harus ada seperangkat gagasan yang terstruktur dan sistematis untuk menjadi pedoman hidup sebagai tatanan yang hendak dituju suatu kelompok, dipegang teguh serta diyakini oleh kelompok tersebut.

Ideologi bagi suatu negara berperan penting dalam memberi kekuatan hidup serta membimbingnya dalam mengejar kehidupan yang lebih baik. Menurut Karl Marx, bisa saja ideologi sebagai kesadaran palsu karena ideologi merupakan suatu hasil yang diciptakan sebagai konsep berpikir yang ditentukan oleh kepentingannya. Bagi Thomas Hobbes, ideologi adalah cara melindungi kekuasaan agar pemerintah dapat bertahan dan mengatur rakyatnya.

Pandangan ekstrem kita peroleh dari seorang Machiavelli, ideologi adalah cara menyembunyikan kepentingan, mendapatkan, serta mempertahankan kekuasaan dengan memanfaatkan konsepsi-konsepsi dan tipu daya. Sebagian orang menyimpulkan sebagai, “tujuan yang menghalalkan segala cara”.

Era pragmatisme transaksional menggerus nilai-nilai ideologis partai politik (parpol) di Indonesia. Tidak terbayang warisan dan pendidikan politik apa yang diwariskan pada generasi milenial, kini dan nanti?

Jika ideologi sebagai ajaran, sila mana yang membenarkan “berbohong”? Pengingkaran inilah yang mengajak rakyat sesat pikir, dan kemudian menghancurkan sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan sekadar penggerusan nilai-nilai demokrasi.

Salahkan Era Post–Truth

Era Post-Truth adalah keadaan dimana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik. Tarikan emosi mendominasi kebenaran faktual. Adalah seorang diktator yang senantiasa memberangus kebenaran faktual dan digantinya dengan kebenaran versi dirinya. Dalam konteks Pilpres 2019 ini, kubu Paslon 02 merasa memiliki formulir C1 yang memenangkan dirinya, tapi dibungkam dengan berbagai opini publik melalui Quick Count dan hasil sementara Real Count KPU.

Era post-truth (pasca kebenaran) membuat seolah kebenaran tidak lagi bernilai, namun ditentukan oleh siapa berkata apa. Dengan dilabeli kekuasaan dan hukum prosedural semua seolah-olah menjadi “benar”, ya … sa’karepmu. Era ini ditandai dengan “kebencian” sebagai bagian dari sindrome ketidak-berdayaan dari yang merasa tertindas.

Jangan heran, jika politik identitas kemudian kembali menjadi pilihan, khususnya politik Islam. Layaknya sebuah rumah, identitas adalah suatu naungan, kita merasa aman, nyaman dan dibenarkan.

Hakikat fakta di era ini adalah: “Jarang memberitahu saya yang benar, lebih sering memberitahu saya bahwa saya salah”.

Kita seolah menjadi objek dari sentimen emosi, bukan disuguhi fakta yang berupa realita oleh media massa mainstream. Lebih menjengkelkan lagi, media tidak merasa bersalah karena hal itu. Masyarakat pun menjadi terbelah dua: yang mendukung kubu 01 dan pendukung kubu 02.

Hasil Pilpres di media mainstream membuat rakyat menjadi bodoh, tetapi juga berpotensi mengubah berita menjadi disinformasi.

Disinformasi adalah informasi yang salah tempat, tidak relevan, ter-framing, dan supervisional. Informasi dari KPU dan Quick Count hanya menciptakan ilusi dari bangunan kecurangan-kecurangan untuk membenarkan tujuan. Padahal, kita semakin jauh dari fakta sesungguhnya dan malah menjadi ironi bangsa Indonesia.

Bagaimana tidak, dengan sistem hitung KPU sampai dengan tanggal 25 April 2019 ini, penghitungan sementara KPU (yang sering salah hitung) menyuguhkan angka stabil 55% untuk paslon 01 dan 45% untuk paslon 02. Sementara, kubu 02 mengklaim menang 62% walau sudah dicurangi.

Sangat kejam dan tidak beradab jika penyelenggara Pilpres 2019 ini memberi logika seperti ini. Seolah ada pengkhianatan terhadap “akal” dan “rasa” mereka yang memang sedang “sakit” dan sesat pikir.

People Power dan Pengerahan Brimob

Era post-truth di Indonesia pada Pilpres 2019 juga ditandai dengan “Government of Lies”, dimana kebohongan bukan lagi dianggap kesalahan besar. Hal ini menyebabkan akal budi manusia kesulitan untuk melihatnya secara jelas.

Ruang publik tidak lagi kondusif untuk akal sehat sehingga yang terjadi pada Pilpres 2019 ini adalah pendidikan buruk bagi anak cucu kita. Nalar kita dimanipulasi karena dipaksa harus sesuai dengan emosi sosial. Celakanya, pendukung paslon 02 menyerukan people power walau telah dibantah oleh BPN (Badan Pemenangan Nasional) secara formal. Akumulasi emosi pendukung 02 yang kecewa dan galau dengan hasil sementara KPU  rentan terhadap ajakan people power, bak api ketemu sumbu.

Pemerintah menanggapi dengan negatif, dan justru mengerahkan Satuan Brimob ke Jakarta dengan alasan pengamanan. Apa yang akan dipertontonkan dalam drama Pilpres ini, apakah jika terjadi konflik Negara sanggup melindungi rakyatnya?

Tidak terbayangkan, ketika penghitungan manual dengan basis C1 diperoleh data berbeda antara yang diperoleh kubu 01 dan kubu 02. Apakah KPU bisa berlaku adil dan memberi solusi? Sampai di sini, paham ya? 

Hal kritikal akan terjadi pada penghitungan manual  karena niatnya adalah berbohong untuk mencapai tujuan.

Kita menjadi bangsa yang tidak beradab di era post–truth, cakarnya mencengkeram petinggi bangsa yang bangga berkuasa dengan cara tidak patut. Rekonstruksi nalar tidak lagi mengandalkan logika dan moral tapi kepentingan kekuasaan.

Persepsi publik dibuat gamang karena setiap hari disuguhi info palsu. Ibaratnya, secara syariat (hukum prosedural) kebohongan itu adalah fakta objektif. Padahal keyakinan kita secara hakikat meyakini bahwa itu bohong. Tapi rakyat bisa apa? Hanya Tuhan yang Maha Mengetahui dan Maha Berkehendak, karena suara rakyat adalah suara Tuhan. Kebohongan adalah penentangan terhadap sunatullah atau hal yang alami, dan Tuhan sebagai Penguasa Alam Semesta akan menunjukkan dan membongkar fakta objektif dengan caranya sendiri.

Mereka mengaku tidak berbohong karena mereka menyebutnya “kebenaran alternatif”, padahal fakta sejati adalah tunggal. Keyakinan yang terkadang dibumbui fanatisme sehingga menjadi benih intoleransi dan mempengaruhi akal sehat. Akal dan emosi pun menjadi tidak kompak karena menjadi kebenaran alternatif, bukan kebenaran nurani.

Jangan salahkan politik identitas yang akan mewarnai pasca Pilpres di era post-truth ini. Rakyat yang galau akan bernaung pada sentimen emosi, dalam hal ini agama. Tentu Islam sebagai agama mayoritas sebagai rumah bernaung akan meminta petunjuk ulama dalam menghadapi situasi yang tidak kondusif karena penuh ketidakpastian.

Keyakinan akan kebenaran yang bersifat hakiki adalah kunci dalam bersikap. Kebenaran itu tunggal tidak bisa digantikan, seperti adagium era post-truth, bohong merupakan kebenaran alternatif.[tsc]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita