GELORA.CO - Pemilu 2019 atau pemilu kelima pascareformasi ini seharusnya berjalan lebih baik dan demokratis dibanding pemilu-pemilu sebelumnya.
Wakil Ketua Komite I DPD RI Fahira Idris mengatakan, jika melihat apa yang terjadi terutama saat hari pemungutan dan penghitungan suara 17 April 2019 lalu hingga saat ini, sangat banyak persoalan yang membayangi pelaksanaan Pemilu kali ini.
Ia mendorong semua sisi penyelenggaraan Pemilu 2019 harus dievaluasi total.
"Dari sisi regulasi banyak hal yang harus direvisi. Dari sisi teknis lebih banyak lagi yang harus diperbaiki," tegas Fahira dalam keterangannya, Senin (22/4).
Pemilu 2019 ini harus dijadikan pelajaran bagi semua pihak, terutama par elit atau mereka yang punya kewenangan dan kekuasaan mendesain regulasi dan sistem Pemilu yang sejak awal diakuinya memang kurang aspiratif.
"Cukup sekali kita mengalami pemilu seperti ini," tegasnya.
Menurut Fahira, menyerentakkan Pilpres dan Pileg harus dipikirkan kembali karena begitu banyak dampak dan konsekuensi yang terjadi di lapangan. Selain membuat proses penghitungan suara menjadi lebih lama, juga menguras daya tahan dan tenaga petugas KPU, pengawas lapangan, saksi, hingga tenaga pengaman. Bahkan sampai ada yang jatuh sakit hingga meninggal akibat kelelahan.
Pilpres dan Pileg serentak juga mengurangi perhatian publik terhadap pemilihan DPR, DPD, DPRD sehingga potensi terjadinya kecurangan terbuka.
Temuan terakhir, Bawaslu Kota Surabaya merekomendasikan penghitungan suara untuk pemilihan legislatif di seluruh TPS yang berada di Surabaya karena dugaan salah hitung Formulir C1.
Selain itu, lanjut Fahira, egoisme beberapa parpol yang mematok ambang batas 20 persen pencalonan presiden harus diakhiri karena membatasi hak rakyat memilih lebih banyak calon presiden.
Ambang batas yang sangat besar ini juga dianggap tidak sesuai dengan konsep pemilu serentak. Selain berpotensi memunculkan calon tunggal, ambang batas pencalonan presiden 20 persen juga berpotensi mempertemukan hanya dua kekuatan politik seperti yang terjadi saat ini sehingga potensi gesekan juga besar.
Dari sisi teknis penyelenggaraan, sambung Fahira, juga sangat banyak hal yang harus diperbaiki.
Dari sisi logistik, kotak suara kardus tidak boleh lagi menjadi pilihan pemilu selanjutnya karena sangat banyak kelemahannya. Selain itu, kekurangan surat suara yang terjadi di beberapa daerah dan surat suara tertukar juga tidak boleh terjadi lagi.
Administrasi kepada pemilih juga harus sempurna, karena berdasarkan catatan Bawaslu, masih terdapat pemilih yang tidak mendapatkan formulir C6 (surat undangan mencoblos dan keterangan memilih di TPS mana).
"Hal-hal penting lainnya yang saat ini menjadi masalah, misalnya dibolehkan kepala daerah menjadi tim sukses juga harus dipikirkan ulang dampaknya bagi birokrasi dan rakyat di daerah. Tak kalah penting pengaturan yang lebih tegas terhadap hitung cepat yang kini menjadi polemik panas, agar tidak terulang lagi di pemilu mendatang,” pungkas Senator Jakarta ini. [rm]