Oleh : Hersubeno Arief
“Apakah Prabowo bisa menang?,” Pertanyaan itu muncul di jutaan benak publik Indonesia menggantikan pertanyaan sebelumnya “Apakah Prabowo menang Pilpres?.”
Keyakinan bahwa Prabowo memenangkan Pilpres 2019 dan secara de facto Presiden RI 2019-2024 sudah selesai. Tidak ada keraguan sedikit pun di hati mayoritas rakyat Indonesia. Bukan hanya karena klaim sepihak kemenangan oleh Prabowo, namun fakta adanya kecurangan yang sangat massif di lapangan.
Publik sudah sampai pada pemahaman yang sama “Kalau benar Jokowi menang seperti dikatakan oleh lembaga survei, mengapa harus melakukan kecurangan?,”
Bukankah seharusnya Jokowi benar-benar menjaga pilpres dan proses penghitungan suara berlangsung secara adil, jujur, dan bersih. Dengan begitu kemenangannya tidak perlu lagi dipertanyakan. Tidak perlu diragukan dan ada sengketa hukum di Mahkamah Konstitusi.
Sampai sejauh tidak ada satupun pernyataan Jokowi tentang perlunya menjaga kualitas pilpres dan pentingnya menyelamatkan demokrasi. Dia hanya diam membisu melihat banyaknya kecurangan di depan mata.
Sikap maupun pernyataan Jokowi sama sekali tidak menujukkan seorang kandidat yang baru saja memenangkan kontestasi sebagaimana coba dibangun dan didesakkan ke memori publik oleh lembaga survey melalui quick count.
Yang terjadi Jokowi malah mengutus Luhut Binsar Panjaitan untuk mencoba bertemu Prabowo. Publik memahami melalui sang super minister, mastermind mencoba menawarkan deal-deal politik dengan Prabowo, karena posisinya sedang terdesak.
Sebagai presiden yang tengah berkuasa, Jokowi tinggal memerintahkan birokrasi negara, Polri, kalau perlu melibatkan TNI untuk mengamankan pilpres dan hasilnya.
Cegah semua kecurangan. Tangkap pelaku pencoblosan surat suara secara tidak sah. Tangkap siapapun yang melakukan kecurangan. Mulai dari petugas KPPS, oknum polisi, atau siapapun. Awasi penghitungan suara secara ketat, dan amankan semua proses penghitungan suara.
Pada tanggal 22 Mei 2019, ketika selesai penghitungan suara, KPU melakukan pleno rekapitulasi suara, Jokowi sah secara legal dan formal menduduki kursi presiden untuk periode kedua.
Setelah itu sebagai presiden terpilih, dia tinggal mengundang Prabowo ke istana, atau di tempat netral sebagai simbol rekonsiliasi nasional. Langkah yang sama juga pernah dia lakukan pada Pilpres 2014. Prabowo datang bertemu Jokowi di istana, Jokowi kemudian membalas kunjungan ke Hambalang, dan naik kuda bersama Prabowo.
Case closed. Jokowi kembali menjadi presiden. Tinggal bagi-bagi jabatan dengan parpol pendukungnya. Bagi-bagi konsesi dengan kelompok oligarki pendukungnya.
Rakyat Indonesia bisa kembali dininabobokan dengan janji-janji politiknya. Bagi-bagi kartu beraneka ragam, atau dibuat terpesona dengan pembangunan proyek infrastruktur megah hasil berutang dari pemerintah Cina.
Bukankah seperti dikatakan oleh Luhut pada bulan April ini perjanjian proyek One belt, One road dengan pemerintah Cina akan segera ditandatangani di Beijing.
Cacat sejak awal
Pilpres kali ini, sudah cacat sejak awal. Cacat bawaan yang direncanakan secara cerdik, namun culas. Kecurangan sudah terjadi sejak mulai dari perencanaan, sebelum pelaksanaan, pada saat pelaksanaan, dan setelah selesai pelaksanaan.
Karena itu tidak berlebihan bila banyak yang menyatakan telah terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan massif (TSM). Target utamanya Jokowi terpilih kembali menjadi presiden, bagaimanapun caranya, dan berapapun harganya. At all cost. Termasuk bila harus mengorbankan demokrasi.
Tahap pertama. Dari sisi perencanaan sudah terlihat ketika parpol pendukung pemerintah bekerja keras mati-matian membatasi jumlah capres. Mereka menggolkan aturan presidential threshold (PT) 20 persen kursi atau 25 persen total suara secara nasional sebagai syarat untuk parpol atau gabungan parpol dapat mengusung capres/cawapres.
Dengan PT tersebut para pendukung utama Jokowi sudah bisa membatasi capres yang ada maksimal hanya tiga pasang.
Sampai disitu para pendukung merasa belum aman. Mereka melangkah lebih jauh agar Jokowi dapat menjadi calon tunggal. Lagi-lagi Luhut Panjaitan, inang pengasuh Jokowi yang menjadi operator.
Pada tanggal 6 April 2018 Luhut bertemu secara diam-diam dengan Prabowo di sebuah restorant di Hotel Grand Hyatt, Jakarta. Dalam pertemuan tersebut Luhut menawari Prabowo untuk menjadi cawapres Jokowi.
Bila semua partai koalisi pendukung pemerintah bersatu ditambah Gerindra maka sulit bagi partai lain untuk mengusung capres sendiri. Tinggal Demokrat, PAN, dan PKS.
Dari berbagai data survei yang mereka miliki, jika Jokowi dipasangkan dengan Prabowo, maka tidak ada lawan potensial yang bisa mengalahkannya.
Dalam proses ini sejumlah lembaga survei sudah bekerja. Mereka membombardir publik dengan publikasi survei tingkat kepuasaan atas kinerja Jokowi sangat tinggi. Secara elektabilitas Jokowi juga tidak tertandingi. Di bawah Jokowi, yang mempunyai elektabilitas cukup lumayan hanya Prabowo. Publik dipaksa meyakini Jokowi satu-satunya capres yang dikehendaki rakyat.
Gagal meyakinkan Prabowo, mereka berusaha mati-matian agar maksimal paslon yang maju hanya dua pasang. Andi Wijayanto ketua Cakra-9 —salah satu organisasi sayap pemenangan Jokowi— mengakui tugas itu berhasil mereka laksanakan.
Mereka sukses menggergaji hak demokrasi rakyat dan memaksa pemilih hanya mempunyai dua pilihan : Jokowi atau Prabowo.
Pada saat itu aparat kepolisian dan intelijen menekan gerakan #2019GantiPresiden. Salah satu inisiatornya Neno Warisman dikepung di Bandara Pekanbaru, Riau. Kepala Badan Intelijen Nasional (Kabinda) Riau terlibat dalam aksi itu.
Targetnya gerakan ini tidak boleh membesar. Harus dikempesin. Sangat berbahaya bagi Jokowi.
Tahap kedua, sebelum pelaksanaan. Kali ini yang menjadi operatornya adalah Kemendagri. Tiba-tiba mereka memasukan Daftar Pemilih Tetap (DPT) tambahan sebanyak 31 juta.
Koalisi Indonesia Makmur yang mengusung Prabowo-Sandi mempersoalkannya dan menyebutnya sebagai DPT siluman. Namun Depdagri bersikeras bahwa tambahan DPT itu sudah termasuk dalam DPT sebanyak 196 juta pemilih.
Dengan asumsi partisipasi pemilih sebesar 80 persen, maka DPT tambahan 31 juta, setara dengan 20 persen suara sah. Kisruh itu berlanjut dengan munculnya data DPT ivalid sebanyak 17,5 juta.
Dengan bermain-main di DPT, Paslon 01 sudah punya spare suara “cadangan” yang sangat besar. Jumlahnya setidaknya setara dengan klaim kemenangan oleh lembaga survei sebesar 7-9 persen.
Pada tahap ini semua aparat birokrasi pemerintah mulai dilibatkan. Mulai dari aparat kepolisian yang melakukan pendataan pemilih, penggelontoran anggaran Bansos, dan pembagian dana-dana CSR dari sejumlah BUMN, tekanan terhadap kepala desa, bahkan sampai RW dan RT.
Tahap ketiga, pelaksanaan berupa eksekusi di lapangan. Pada tahap inilah kecurangan yang sangat massif dan terungkap di publik.
Dimulai dari pencoblosan surat suara atas paslon 01 di Malaysia, pertugas KPPS mencoblos sendiri surat suara, Bawaslu menemukan ribuan petugas KPPS yang tidak netral, dan adanya 6,7 juta surat undangan yang tidak sampai ke tangan pemilih, banyaknya kertas suara yang tidak sampai, termasuk hilangnya TPS di wilayah yang diidentifikasi menjadi basis 02.
Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi melaporkan ada sebanyak 1.261 kecurangan. Jumlahnya akan terus bertambah.
Tahap keempat, pasca pencoblosan. Modus juga sangat beragam. Mulai dari perusakan dan pembakaran kertas suara, adanya penggelembungan suara di tingkat PPK, mengganti hasil perolehan suara di C1, dan yang paling banyak adalah kesalahan input data di KPU pusat.
Anehnya kesalahan input itu seragam. Suara paslon 01 bertambah, dan suara paslon 02 berkurang. Kesalahan itu diakui oleh komisioner KPU dan mereka berdalih ada kesalahan input.
Melihat berbagai kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan massif itu terlalu naif bila kemudian Paslon 02 dan pendukungnya hanya berpangku tangan, menunggu perhitungan suara selesai. Bila ada kecurangan di bawa ke jalur hukum melalui Mahkamah Konstitusi. Hasil akhirnya sudah bisa diduga. Dapat dipastikan gugatan itu akan dimentahkan.
Mereka terlalu naif bila mengikuti alur permainan yang memang telah disiapkan oleh kubu paslon 01. Mulai dari lapangan bermain, siapa yang boleh bermain, aturan permainan, wasit dan pengawas pertandingan, termasuk penonton sudah ditentukan.
Wasit dan pengawas pertandingan tidak segan-segan mengeluarkan penonton kubu Paslon 02 yang mempersoalkan kecurangan. Sebaliknya mereka diam saja ketika ada penonton dan pendukung paslon 01 ikut bermain dan mengacaukan permainan.
Demokrasi kita dalam bahaya. Demokrasi kita sedang dibajak oleh kelompok oligarki yang ingin melanggengkan kekuasaan. Mereka memilih seorang penguasa yang lemah untuk didudukkan di singgasana, agar mereka bisa terus bermain secara leluasa, mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia yang melimpah.
Demokrasi kita harus diselamatkan. Rakyat harus menunjukkan kekuatannya. Tunjukkan kekuatan rakyat yang ingin menyelamatkan demokrasi.
Jangan mau diprovokasi. Tunjukkan rakyat Indonesi cinta damai. Tunjukkan bahwa jutaan orang bisa berkumpul menyampaikan aspirasinya tanpa berbuat anarkis. Jutaan orang berkumpul secara damai, tertib, tak selembar rumputpun yang rebah. Aksi 411, 212, Reuni Akbar 212 sudah membuktikannya.
Bawaslu tidak mungkin bertindak sendiri. Mereka harus didukung, dibantu, diperkuat. Mereka tidak akan mampu menghadapi kartel ekonomi dan politik yang dimainkan oleh oligarki. Para oligarki ini adalah deep state, negara dalam negara.
Ini bukan soal kalah menang. Bukan soal Prabowo menjadi presiden atau tidak. Ini soal suara rakyat, soal kedaulatan rakyat yang dibajak. Sekali lagi DEMOKRASI KITA DALAM BAHAYA. end