Awas Penggelembungan Suara, Inilah Masukan KIPP Indonesia untuk Peserta Pemilu 2019

Awas Penggelembungan Suara, Inilah Masukan KIPP Indonesia untuk Peserta Pemilu 2019

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Daftar Pemilih Tetap (DPT) merupakan elemen paling dasar dari penyelenggaraan pemilu, sehingga tidak bisa dianggap main-main apalagi sepele.

Demikian ditegaskan Wakil Sekjend KIPP Indonesia, Girindra Sandino seperti dikutip dari siaran persnya, Senin (1/4). 

Girindra pun menyinggung temuan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi tentang adanya 17,5 juta pemilih dalam DPT Pemilu 2019 yang dianggap tak wajar.

Dengan rincian sebanyak 9.817.003 pemilih bertanggal lahir 1 Januari; 5.377.40 pemilih bertanggal lahir 31 Desember dan dan bertanggal lahir 1 Januari sejumlah 2.359.304. Sehingga totalnya sebesar 17.553.708.

Pada usia 90 tahun ke atas sebanyak 304.782. Selain itu usia 17 tahun ke bawah sebanyak 20.475. 

Temuan lainnya BPN adalah manipulasi Kartu Keluarga (KK). Seperti di Banyuwangi, biasanya dalam satu KK berisi dua atau lebih, namun faktanya pada DPTHP2 Desember ditemukan dalam satu KK berisi 440 bahkan 1.800 pemilih.

Kemudian data invalid di lima provinsi yakni Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat,  dan Banten dengan total keseluruhan 18.831.149 pemilih. 

Girindra menyebutkan 12 kriteria pemilih invalid meliputi  KK/NIK kurang atau lebih dari 16 digit; KK/NIK di luar provinsi; KK/NIK di luar kode kabupaten/kota; KK/NIK di luar kode kecamatan; KK di luar dapil provinsi; KK Di luar dapil kabupaten/kota; KK lintas kecamatan; tanggal NIK tidak sesuai format tanggal; tanggal lahir tidak sesuai NIK; KK manipulatif, tanggal/bulan error; KK manipulatif, terbit setelah penetapan; dan KK sebelum KTP-el

Sebagai informasi, Nomor Induk Kependudukan  atau NIK adalah nomor identitas penduduk yang bersifat unik atau khas, tunggal dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai penduduk Indonesia. 

NIK berlaku seumur hidup dan selamanya, yang diberikan oleh pemerintah dan diterbitkan oleh instansi pelaksana kepada setiap penduduk setelah dilakukan pencatatan biodata. 

NIK resmi terdiri dari 16 digit. Kode penyusun NIK terdiri dari dua digit awal merupakan kode provinsi, dua digit setelahnya merupakan kode kab/kota, dua digit sesudahnya kode kecamatan, 6 digit selanjutnya merupakan tanggal lahir dalam format hhbbtt (untuk wanita tanggal ditambah 40), lalu empat digit terakhir merupakan nomor urut yang dimulai dari 0001. 

"Sebagai contoh, misalkan seorang perempuan lahir di Kota Bandung tanggal 17 Agustus 1990 maka NIK-nya adalah: 10 50 24 570890 0001," terang Girindra. 

Kemudian, apabila ada orang lain (perempuan) dengan domisili dan tanggal lahir yang sama mendaftar, maka NIK-nya adalah 10 50 24 570890 0002. Sedangkan untuk laki-laki dengan domisili dan tanggal lahir yang sama mendaftar, maka NIK-nya adalah 10 50 24 170890 0001.

NIK dicantumkan dalam setiap Dokumen Kependudukan dan dijadikan dasar penerbitan KTP, SIM, NPWP, dan penerbitan dokumen identitas lainnya.

"Temuan-temuan mengenai amburadulnya DPT Pemilu 2019, bukan saja kepentingan satu pihak, akan tetapi kubu lain juga dirugikan. Jaminan hak konstitusional warga negara berupa hak pilih  dapat hilang, tidak dapat digunakan, jika tidak ada langkah-lanhkah serius yang konkret," tegasnya. 

Kata Girindra, tugas dan kewajiban KPU seperti dalam Pasal 12 dan Pasal 14 UU 7/2017 tentang Pemilu, yakni melakukan pemutakhiran dan memelihara data pemilih secara berkelanjutan dengan memperhatikan data kependudukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

"Secara yuridis, tidak ada instansi pemerintahan atau lembaga negara yang dapat dituntut bertanggung jawab atas penyusunan dan penetapan DPT selain KPU dengan segenap jajarannya," imbuhnya. 

Menurutnya, jika temuan-temuan DPT Pemilu 2019 semrawut merupakan data-data yang validitasnya tinggi, maka tidak tertutup kemungkinan persoalan ini ke depan sebagai penyumbang terbesar kecurangan Pemilu, yakni penggelembungan suara. 

Oleh karena itu, ia mengimbau bagi peserta Pemilu yang mempersiapkan saksi-saksinya agar jeli dan cermat dalam mengawasi jalannya proses pemungutan dan penghitungan suara. 

"Misal harus mengetahui secara rinci tugas PPS, dan ketujuh anggota KPPS. Misal terus memperhatikan KPPS karena tugasnya meminta pemilih menunjukkan KTP-el atau identitas lain sebagai syarat memilih, memeriksa kesesuaian pemilih dengan form C6, memeriksa kesesuaian nama pemilih (NIK harus diperhatikan untuk menghindari pemilih ganda), termasuk memeriksa jika terdapat pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT dan DPTb," urainya.

Di lapangan, lanjut Girindra, saat pemungutan dan penghitungan suara, baik saksi, pengawas TPS, pemantau, maupun masyarakat aktif mendokumentasikan C1 Plano, video atau foto.

"Mencermati sejumlah suara tidak sah, jumlah seluruh suara tidak sah, dan jumlah seluruh suara sah dan suara tidak sah," imbuhnya. 

Masih dalam form C1 Plano, contoh, soal data pemilih (jumlah pemilih dalam DPT, DPTb dan DPK, yang kemudian dijumlah keseluruhan), pengguna hak pilih (jumlah pengguna hak pilih DPT/C7.DPT-KPU, pengguna hak pilih DPTb/C7 DPTb, jumlah pemilih DPK/C7. DPK-KPU).

Kemudian mengecek data penggunaan surat suara pada C1 Plano. Selanjutnya jumlah seluruh suara sah dan suara tidak sah. 

Girinda mengingatkan, sanksi pidana dalam Pasal 488 U 7/2017 tentang Pemilu, disebutkan 'setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian dafar Pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (sattr) tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua belas juta rupiah). [rm]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita