Oleh: Wongso Dipakiwari
Percaya survei atau percaya rapat terbuka?
Itulah pertanyaan penting yang kini sedang bergelayut di banyak benak orang. Para pendukung Jokowi percaya pada hasil survei. Hasil-hasil lembaga-lembaga survei menunjukkan bahwa Jokowi-Amin unggul 10-30 persen dibandingkan dengan Prabowo-Sandi. Hasil itu konsisten dalam serial survei yang mereka lakukan. Namun para pendukung Prabowo-Sandi sangat skeptis dengan hasil survei tersebut. Lembaga-lembaga survei itu dinilai tak memiliki legitimasi moral. Mengapa?
Inilah jawabannya. Lembaga-lembaga survei itu tak memberikan disclaimer bahwa mereka dibayar siapa untuk mengerjakan sebuah survei yang sangat mahal tersebut. Hal ini penting sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik. Pada sisi lain, sebagian lembaga-lembaga survei tersebut juga merangkap sebagai konsultan politik. Mereka memberikan nasihat, membuatkan strategi, dan bahkan menjalankan nasihat maupun strategi tersebut melalui serangkaian kampanye. Sebuah paket lengkap. Bahkan mereka bisa menyediakan endorser, influencer, dan tim buzzer – jangan kaget jika peneliti, dosen, tokoh masyarakat, opinion leader, dan pesohor medsos bagian dari jejaring mereka. Karena itu, antara upaya mengemukakan temuan lapangan dengan upaya memengaruhi pendapat publik menjadi bercampur baur. Hal ini sudah menjadi rahasia umum.
Namun para penyelenggara survei tentu sudah memiliki jawabannya. Mereka sudah teruji sejak pilpres 2004. Sejarah panjang itu menjadi bukti kredibilitas mereka. Namun pendukung Prabowo-Sandi memiliki bukti lain. Pada pilgub DKI Jakarta yang lalu, Ahok-Djarot diunggulkan dengan angka telak oleh lembaga-lembaga survei, namun hasilnya justru dimenangkan Anies-Sandi dengan angka yang justru telak. Hanya survei Litbang Kompas yang memenangkan Anies-Sandi. Tapi itupun Litbang Kompas tak memublikasikannya dengan alasan akan memengaruhi perilaku pemilih. Lho? Heran bukan? Bukankah selama ini mereka bebas merdeka memublikasikan hasil surveinya? Itulah dunia. Saat pilgub Jawa Tengah, pasangan Sudirman Said-Ida Fauziah juga hanya diberi angka yang sangat kecil oleh lembaga survei. Tapi hasilnya justru di atas 40 persen. Sangat jauh sekali. Karena itu perlahan-lahan publik mulai gamang terhadap kredibilitas lembaga survei. Pada akhirnya, suara survei tergantung siapa yang bayar. Itulah asumsi yang mulai mengapung di benak orang. Pilpres 2019 merupakan pertaruhan besar bagi lembaga survei.
Pada pilpres 2014 ditandai oleh kampanye Jokowi yang dipadati massa. Ada antusiasme yang luar biasa. Fenomena itu sekarang justru ada di Prabowo dan Sandi. Lautan manusia tak hanya terjadi di kantong-kantong suara Prabowo dan Sandi seperti di Jawa Barat, Banten DKI Jakarta, atau di Sumatra, tapi juga terjadi di Jateng, Jatim, Yogyakarta, Sulawesi, NTB, bahkan di Papua. Sedangkan kampanye Jokowi justru tak segempita dan tak sepadat kampanye Prabowo atau Sandi. Bahkan muncul perlawanan-perlawanan publik. Mereka berani membentangkan spanduk Prabowo-Sandi di saat Jokowi datang berkampanye. Mereka juga berani mendekat Jokowi lalu berfoto dengan simbol dua jari telunjuk dan jempol yang menjadi ikon Prabowo-Sandi.
Apakah itu pertanda Prabowo-Sandi akan menang? Bagi pendukung Jokowi tentu itu tidak menggambarkan kondisi yang sesungguhnya. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa oposisi selalu bersemangat. Karena itu yang datang itulah yang akan memilih Prabowo-Sandi, sedangkan yang tidak datang justru para pendukung Jokowi. Namun banyak indikasi yang justru mementahkan argumen itu. Pertama, mereka mengerahkan aparat untuk memobilisasi massa. Kedua, mereka memberi uang saku dan sembako untuk orang-orang yang mau datang. Fenomena paling hot adalah ketika Pemprov Jateng membuat acara dengan dana miliaran namun hasilnya tak gempita. Rapat terbuka Jokowi di Stadion Kridosono Yogayakarta juga tak semelimpah yang diharapkan. Padahal Jateng dan Yogyakarta adalah basis Jokowi paling kuat.
Fenomena kerumunan selalu indikasi puncak gunung es. Butuh energi besar dan topangan massif untuk mendorong kerumunan untuk sampai ke puncak. Jika puncaknya besar maka di dasarnya jauh lebih besar. Karena itu merobohkan keberlimpahan rapat terbuka kampanye Prabowo dan Sandi dengan dalih pengerahan sempurna yang menyisakan orang-orang di belakangnya adalah argumen yang tak berdasar. Bahwa ada militansi yang kuat memang benar, tapi bahwa massa militan merupakan satu-satunya pendukung Prabowo adalah salah besar. Selalu ada pendukung yang pasif.
Lalu mengapa pendukung Jokowi pada 2014 buyar di 2019 ini? Pada akhirnya orang kembali kepada basic need. Sesuai hierarki Maslow, kebutuhan manusia dimulai dengan kebutuhan pangan, lalu sandang, papan, dan akhirnya ekspresi diri. Akibat terlalu fokus pada infrastruktur, Jokowi lupa pada kebutuhan pokok dan lapangan kerja. Dengan jumlah penganggur yang masih besar dan angka kemiskinan yang lumayan banyak maka masalah lapangan kerja dan harga kebutuhan pokok yang murah merupakan isu riil yang dihadapi masyarakat sehari-hari. Jokowi memang sukses membangun infrastruktur, namun harga-harga barang tak stabil dan naik terus. Demikian pula lapangan kerja yang tetap sulit. Isu-isu elektoral inilah yang terus disuarakan Sandiaga Uno dalam kampanyenya maupuan dalam debat cawapres. Pada sisi lain, isu ekonomi dan kebebasan yang menjadi kebutuhan kelas menengah juga terus disampaikan ke publik.
Selaku incumbent, Jokowi terbebani oleh perjalanannya lebih dari empat tahun sebagai presiden. Ia hanya bisa memenuhi isu infrastruktur. Sedangkan iklim bisnis tak moncer, harga-harga barang terus naik, lapangan kerja diserobot pekerja dari Tiongkok yang terus bergelombang datang ke Indonesia, ekspor melempem, minyak sawit kena embargo Uni Eropa. Satu-satunya sandaran Jokowi adalah Tiongkok. Negeri ini memang membawa investasi, tapi barangnya dan orangnya dari Tiongkok semua. Karena itu Indonesia terus defisit terhadap Tiongkok. Pada sisi lain, isu kebebasan menjadi catatan buruk di era Jokowi. Indeks kebebasan dan demokrasi makin turun. Semua inilah yang membuat pemilihnya kecewa. Jokowi hanya menyenangkan relawannya, bukan menyenangkan pemilihnya -- apalagi yang dulu tak memilihnya. Jokowi bukan presiden rakyat Indonesia, tapi presiden relawannya. Mereka inilah yang kini makmur, karena itu mereka tak tahu bahwa rakyat makin menderita.
Arus perubahan tak tertahankan.[tsc]