GELORA.CO - Sejumlah organisasi massa Islam telah membentuk panitia pelaksana untuk menggelar Ijtima Ulama III. Rencananya, Ijtima Ulama III juga akan melibatkan tokoh politik.
Wacana Ijtima Ulama III dilontarkan pertama kali oleh Ketua Umum DPP Front Pembela Islam (FPI) Sobri Lubis. Dalam sebuah video yang beredar di media sosial, Sobri mengatakan, Ijtimak Ulama III digelar untuk merespon dugaan kecurangan pada Pemilu 2019.
Ketua Umum Persaudaraan Alumni 212 Slamet Maarif membenarkan Ijtima Ulama III dilaksanakan untuk mengevaluasi Pemilihan Presiden 2019.
Dia mengatakan, para ulama 212 telah bertemu di Hotel Alia, Jakarta. "Insya Allah, dalam waktu dekat, kami akan ada pertemuan, akan undang wartawan untuk jumpa pers," kata Slamet di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (25/4).
Menurut Slamet, PA 212 menghimpun laporan dari ulama-ulama di berbagai daerah. Mereka juga menghimpun laporan terkait sikap para jamaah dan santri di daerah. Setelah itu, lanjutnya, mereka sepakat menyelenggarakan ijtima ulama yang ketiga. "Disepakati, langkahnya harus ada pertemuan besar, semacam ijtima ulama, mungkin yang ketiga," tandas Slamet.
Slamet menambahkan, ijtima itu diharapkan bisa menghasilkan satu fatwa yang akan mereka pakai dalam mengambil tindakan selanjutnya, dalam menyikapi Pilpres 2019. Nantinya, menurut Slamet, akan ada perwakilan ulama dari setiap provinsi, seperti dua ijtima sebelumnya.
Ijtima Ulama sudah pernah digelar dua kali oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama pada 2018. Dua ijtima ulama yang digelar itu, semuanya membahas dukungan dalam Pilpres 2019. Lantas, bagaimana pemaparan GNPF Ulama dan sikap pemerintah terkait hal ini. Berikut penjelasan selengkapnya.
Moeldoko: Indonesia Punya Sejarah Yang Kurang Bagus
Prabowo Subianto seolah mendengar saran dari Persaudaraan Alumni 212 setelah Pilpres. Bagaimana Anda menyikapinya?
Saya pikir begini, sekali lagi, kita tidak bisa mengabaikan kepentingan masing-masing. Saya pikir semuanya juga masih fokus kepada penghitungan. Sekali lagi, dorongan dari berbagai kalangan itu sangat bagus dan juga diperlukan. Karena, semua dari kita menginginkan kondisi yang stabil dan aman.
Adakah kewaspadaan pemerintah dalam menyikapinya?
Kami juga mewaspadai bilamana nantinya ada sebuah upaya, dalam hal ini gerakan yang ingin memanfaatkan situasi atau rasa ketidakpuasan itu, dialirkan menjadi sebuah gerakan. Hal ini juga kami harus mempersiapkan dengan baik, karena kami harus ingat bahwa Indonesia memiliki sejarah yang kurang bagus.
Maksudnya?
Peristiwa Trisakti itu menjadi sebuah pembelajaran bagi kita semua. Jangan nanti ada upaya-upaya yang memanfaatkan situasi ini dengan cara-cara seperti itu. Kita semua pasti memahaminya. Kalau ada cara-cara bagaimana menciptakan sebuah trigger, bisa diantisipasi dengan baik dan seterusnya. Oleh karena itu, kami siap menghadapi situasi seperti itu.
Adakah indikasi yang tidak puas mempersiapkan gerakan?
Kalau indikasinya, kami ikuti dari waktu ke waktu, bahwa situasi seperti itu bisa saja diciptakan. Saya harus tegas mengatakan itu. Untuk itu, saya juga mengimbau jangan mencoba-coba untuk membuat cara-cara seperti itu. Pasalnya, akan banyak merugikan masyarakat. Kita harus menyelesaikan dengan cara-cara kesatria, bukan dengan cara-cara yang tidak baik.
Hal ini perlu Anda sampaikan dengan maksud apa?
Agar kita semua kembali kepada terciptanya sebuah kondisi yang semua dari kita bisa menikmati dengan baik.
Adakah Ijtima Ulama III menggunakan isu kecurangan sebagai indikasi gerakan tersebut?
Iya, bisa ke arah situ. Karena apa, persoalan kecurangan itu selalu dihembuskan. Terstruktur, sistematis, masif, dan ada satu lagi, yang luar biasa.
Menurut Anda, Ijtima Ulama III perlu dihentikan?
Menurut saya, ini sebuah upaya yang harus kita hentikan. Tidak boleh kita menjustifikasi sebuah persoalan yang belum tuntas.
Kalaupun ada kekurangan yang dilakukan, atau ketidaksengajaan yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU), itu karena dengan segala keterbatasannya, maka selesaikan saja dengan cara-cara yang konstitusional. Apa urusannya Ijtima Ulama. Urusan politik kok dicampuradukkan, sehingga membingungkan Masyarakat
Sebaiknya, Ijtima Ulama III tidak perlu digelar?
Dalam situasi seperti sekarang ini, masyarakat membutuhkan suasana yang nyaman. Jangan menciptakan suasana yang menakuti masyarakat.
Terkait pertemuan Jokowi dan Prabowo, seperti apa konsepnya?
Itu nanti akan ketemu momentumnya. Kami tidak bisa memaksa. Kami tidak bisa menentukan waktu, karena masing-masing masih memiliki kesibukan sendiri-sendiri. Tapi, sangat bagus karena berbagai kelompok masyarakat mendorong agar ada sebuah upaya sungguh-sungguh ke arah sana. Pada dasarnya, dari pihak Pak Jokowi kapan pun beliau menginisiasi untuk terjadinya sebuah hubungan yang harmonis kembali. Tapi sekali lagi, dari pihak Pak Jokowi berkeyakinan akan ada momentum pertemuan.
Apakah pertemuan ini setelah 22 Mei?
Sangat mungkin setelah 22 Mei. Bisa juga sekaligus Idul Fitri. Atau, bisa saat kebetulan menjelang Idul Fitri. Akan ketemu momentumnya.
Yusuf Martak: Sudah Terbukti, 411 Dan 212, Semua Adem Ayem
Apa saja yang dibahas dalam Ijtima Ulama kali ini?
Kembali lagi kepada agenda daripada ijtima, yaitu akan mendengar, akan merangkul masukan dan pendapatnya setelah diadakan pemaparan. Yang akan memaparkan dari Badan Pemenangan Nasional (BPN), yaitu dari paslon nomor 2. Karena, yang merasa dirugikan dan menerima kecurangan-kecurangan itu, adalah paslon 02. Kecurangan yang kami maksud di sini adalah Pilpres.
Bagaimana dengan Pileg?
Adapun kecurangan-kecurangan yang diduga dilakukan calon legislatif, baik dari partai manapun yang berkoalisi dengan partai manapun, itu di luar pembahasan ijtima ulama ketiga.
Kenapa pihak Anda merasa perlu mengadakan acara Ijtima Ulama yang ketiga ini?
Jadi begini, kembali lagi ke Ijtima Ulama ynag pertama dan yang kedua, yaitu mendiskusikan dan merumuskan, serta menampung seluruh aspirasi dari para ulama, dan para tokoh nasional. Hingga keluarlah rekomendasi dua kali, ijtima pertama dan ijtima yang kedua, yaitu rekomendasi paslon. Karena ini ada permasalahan-permasalahan yang lebih penting dan lebih krusial lagi, maka kami sebagai ornas-ormas yang menjadi tulang punggung alim ulama, tidak berani mengambil sikap. Jadi, kami kembalikan lagi melalui Ijtima Ulama, sehingga nantinya didiskusikan, dirumuskan, diputuskan oleh alim ulama, para habaib dan tokoh-tokoh nasional. Kami tidak pernah mengambil satu langkah yang tidak sesuai dengan aspirasi umat yang ada bersama kami.
Berapa target peserta yang akan hadir?
Kurang lebih, kami tidak muluk-muluk, karena ini mendekati bulan suci Ramadan dan sebagainya, walaupun mereka antusias, sekitar 1500 orang.
Bagaimana nanti kalau ngumpul, lalu jadi aspirasi dan jadi gerakan. Tak boleh kubu sebelah mengklaim menang. Sama juga, kami tidak akan mungkin mengartikan ada macam-macam. Justru, karena banyaknya isu simpang siur, banyaknya temuan-temuan di daerah seluruh Indonesia, kecurangan dan lain sebagainya yang divideokan.
Maka itu, kami membahasnya, dan akan mengundang BPN untuk menjelaskan agar para alim ulama, para habaib semua, dan tokoh-tokoh nasional bisa mendengar langsung dari sumber-sumber yang positif, yang jelas. mulai dari BPN, dari pakar IT, dari pakar hukum dan lain sebagainya. Itu sebetulnya suatu ajang yang bagus sekali.
Ada kekhawatiran, kalau hanya satu sisi, tak akan ada keberimbangan informasi...
Kalau kekhawatiran, setiap kita naik pesawat pakai seatbelt khawatir, tapi Alhamdulillah selamat. Sudah banyak kok contohnya, 411 kami tidak anarkis, 212, reuni 212, munajat, semuanya adem ayem. Kami hanya berharap bisa membawa rahmat dan berkah kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia ini kok, supaya tidak carut marut seperti sekarang.
Sudah berapa periode belum pernah kejadian seperti saat ini. Belum pernah saya mengikuti Pilpres seperti ini. Kalau memang sekadar berkompetisi mencari kemenangan, kenapa harus takut sedemikian rupa. Hal ini adalah sesuatu yang menjadi pertanyaan kami.
Dari acara ini, apakah ada rekomendasi untuk pemungutan suara ulang (PSU)?
Menurut hemat kami, adanya ulangan itu apabila ada kesalahan teknis dan force major. Kalau ada dua orang yang sedang bertanding, satu orang melakukan kecurangan yang ditemukan, bagaimana yang menerima kecurangan dirugikan. Harus diulang? Kan tidak juga.
Jadi saya pikir, tidak tepat merekomendasikan pencoblosan ulang, kecuali di beberapa daerah yang memang kebetulan ada permasalahan. Kalau yang dicurangi diam, sama saja dengan mentoleransi perbuatan curang.[rmol]