GELORA.CO - Sejarah membuktikan Presiden Soekarno telah menunjukkan kepada khalayak global menjadi pemimpin Indonesia dengan kualitas world leadership yang mumpuni, skill diplomasi yang luar biasa dan kemampuan retorika yang memukau.
Begitu juga Presiden Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memiliki kelebihan tersendiri dalam takaran yang berbeda sebagai pemimpin NKRI
Wakil Presiden Islamic Conference Youth Forum, Tantan Taufiq Lubis mengatakan, Indonesia pasca SBY hampir dapat dikatakan mengalami kemunduran yang luar biasa dalam politik luar negerinya.
"Ini terjadi tidak hanya karena soal nyali atau sekedar kurang pengalamannya sosok Jokowi sebagai panglima diplomasi, namun juga karena beliau memperlihatkan sikap enggan untuk menghadiri forum-forum internasional serta tidak pro aktif dalam menyikapi isu-isu global yang berkaitan dengan keamanan dunia dan kemanusiaan serta isu lainnya," ujar Taufiq dalam keterangannya.
Jokowi tercatat absen dalam forum General Assembly PBB sebanyak empat tahun berturut-turut. Selain forum PBB, Jokowi juga absen menghadiri KTT negara-negara G-20 yang berlangsung di Buenos Aires, Argentina. Di pertemuan itu, hanya Indonesia yang datang diwakilkan oleh wakil presidennya.
Absennya Jokowi dalam berbagai forum internasional seperti Sidang Umum PBB, menurut Taufiq, menunjukkan bahwa mantan gubernur DKI Jakarta itu tidak menganggap penting membangun dialog, komunikasi antarnegara dan antar pemimpin negara untuk membangun kesepahaman mengenai tatanan dunia yang berkeadilan dan beradab.
"Jokowi seolah memaknai prinsip politik bebas aktif Indonesia itu dengan bebas bolos dan boleh tidak aktif. Jarang sekali publik mengetahui kenapa beliau berhalangan hadir berturut turut dalam forum global," ujarnya.
Padahal, terang Taufiq, dalam UU 37/1999 tentang hubungan luar negeri Indonesia yang menganut paham bebas aktif membutuhkan kebijaksanaan dan inisiatif tinggi presiden sebagai kepala negara sekaligus pemerintahan.
"Pelaksanaan dari kebijakan polugri itu tergantung komando Jokowi," imbuhnya.
Menlu Retno Marsudi seringkali hadir menambal sisi lemah diplomasi Presiden Jokowi. Namun sayangnya, Taufiq menilai menlu RI periode 2014-2019 ini tidak cukup kapabel memainkan peran-peran diplomatik kebangsaan.
"Hampir tidak ada ide cerdas, gagasan cemerlang dan kebijakan orisinil kreatif yang diproduksi oleh alumnus UGM ini dalam menghadapi dinamika global selama beliau menjadi menteri luar negeri. Ini membuat peran Indonesia di forum internasional semakin nampak lemah dan tidak memiliki makna," tegas Taufiq.
Ia menekankan pentingnya pendalaman, penajaman visi, konsepsi dan implementasi agar prinsip polugri Indonesia tidak menjadi basi, kudet alias kurang update serta tidak mampu menjawab tantangan dan dinamika global.
"Dunia berubah begitu cepat, pemerintah juga harus responsif menghadapi nya agar arah kebijakan luar negeri Indonesia tetap mampu menjaga keseimbangan national interest dan global interest," tutupnya. [rmol]