Oleh: Banda Bening, pegiat Media Sosial
Warga Jakarta “mempersekusi” Prabowo usai debat. Jalan Kertanegara dan sekitarnya, tempat kediaman capres 02 di Ibu Kota, macet dan ramai tengah malam tadi. Ada apa gerangan?
Rupanya kerumunan rakyat sedang menunggu Prabowo pulang debat. Rakyat ingin memberi selamat. Puas dengan performa Sang Ksatria yang tampil sesuai karakter dirinya yang tegas, lugas, tandas.
Prabowo yang “dicegat” di tengah jalan tetap melayani dengan tersenyum. Tetap segar tak tampak lelah. Entah darimana energinya. Beliau ceria menyambut uluran tangan rakyat yang berdesakan ingin bersalaman.
Pemandangan yang menggetarkan. Saya terharu. Sungguh. Spontanitas rakyat alangkah menakjubkan. Datang tengah malam dari berbagai arah dengan bergairah. Seolah tak sabar, rakyat ingin segera Prabowo menjadi presiden untuk memimpin negeri ini. Hanya menyaksikan videonya saja mata saya basah.
“Jangan ketawa!” Tegur Prabowo pada pendukung 01 yang tertawa saat Prabowo menjelaskan lemahnya pertahanan Indonesia dalam debat.
“Saya bicara kemampuan pertahanan kita sebagai negara berdaulat. Ini sangat penting. Kalian anggap lucu?”
Ruang debat mendadak hening.
Spontan saya meninju udara. “Yes!” Hampir saja saya tepuk tangan di depan tv, nonton sendirian. Itu yang ingin dilihat rakyat: Prabowo yang tegas! Sorot matanya tajam menikam orang-orang bebal. Ekspresinya menghujam. Suaranya meruntuhkan mental benalu kedunguan. Tumbang tumbanglah singgasana kemunafikan.
Performa Prabowo dalam debat kali ini memang beda, sangat berkarakter. Asli dan alami. Ia perlihatkan dirinya tak dapat bermain-main terkait kedaulatan dan nasib rakyat. Ia tak dapat lagi berbasa-basi. Indonesia harus tegak sebagai negara berdaulat. Daulat negara adalah daulat rakyat. Tak boleh tangan-tangan asing diberi keleluasaan menghisap kekayaan negeri ini.
Prabowo tak segan-segan menunjukkan pada petahana bahwa yang benar itu benar, yang salah itu salah. Tak sungkan lagi menunjukkan kekeliruan pengelolaan negara. Bahkan dengan suara menggelegar. Seperti pekik elang menggentarkan ular. Yang kepak sayapnya membuat gerombolan tikus lari ketakutan.
Saya melihat Jkw memang memucat. Suaranya melemah, agak mengambang, berusaha tenang. Seperti mengalami kebuntuan narasi dan menjadi gamang.
Saat Jkw mengatakan bahwa dalam 20 tahun ke depan tak ada perang, Prabowo tersentak. Dengan lugas ia ingatkan Jkw, bahwa pandangan itu salah.
Tidak boleh negara, lanjut Prabowo,
beranggapan tak akan ada perang selama 20 tahun ke depan. “Anda telah menerima nasihat yang salah!” tandas Prabowo sembari mengutip ungkapan,
Si vis pacem para bellum (jika kau mendambakan perdamaian, bersiap-siaplah menghadapi perang).
Prabowo mempersoalkan bandara dan pelabuhan yang diberikan pada asing pengelolaannya. Jkw beralasan itu pelabuhan dan bandara komersial. Asing dipersilakan berinvestasi dengan imbalan hak pengelolaan. Prabowo tak dapat menerima alasan seperti itu.
“Pelabuhan dan bandara bukan barang dagangan!” ujar Prabowo tegas. Sebab
bandara dan pelabuhan itu obyek vital. Pintu masuk kedaulatan yang harus aman dari tangan asing. “Tak boleh obyek vital diserahkan pada asing dengan alasan investasi!” Tandas Prabowo lagi.
Sangat nyata ketimpangan wawasan tentang kedaulatan negara antara Prabowo dan Jokowi. Beda kelas. Prabowo sangat matang dan punya kepedulian tinggi. Sangat memahami makna strategis obyek vital dan ancamannya jika dikelola asing.
Ketika Jkw sangat yakin menjelaskan tentang pemanfaatan teknologi informasi untuk mempercepat pelayanan publik. “Kecepatan sangat penting. Yang lambat akan ditinggalkan yang cepat,” ujar Jkw.
Seandainya Prabowo pribadi nyinyir, rasanya ia akan sindir Jkw tentang kecepatan sang petahana menabur janji. Tapi sangat lambat menepati, bahkan tak menepati sama sekali.
Namun Prabowo tetap fokus pada kepentingan rakyat. Langsung menuju yang inti. “Untuk apa kecepatan dengan memanfaatkan teknologi, kata Prabowo, kalau pada akhirnya kekayaan negeri kita mengalir ke luar negeri.
“Buat apa? Semua itu tak ada gunanya! Teknologi harus berguna untuk mengamankan kekayaan negara,” tandas Prabowo lugas.
Prabowo juga menyinggung prihal distrust. Bahwa ada ketidakpercayaan publik pada elit pemerintahan yang makin meluas. Sembari membeberkan fakta tentang aparat yang ditugaskan memberi arahan pada masyarakat untuk menenangkan paslon 01.
“Itu merusak demokrasi, sekaligus memperbesar rasa tak percaya rakyat pada aparat pemerintah. Apa anda tak menyadari itu,” ujar Prabowo.
Debat Pilpres kali ini memang beda. Sejak awal, pada pembukaan, Prabowo telah menampilkan kesejatian dirinya sebagai penjaga negeri saat bicara tentang ideologi.
Ia singgung tuduhan ngawur tentang isyu khilafah. Bahwa itu isyu murahan dalam narasi hampa. Omong kosong belaka dalam propaganda kubu petahana.
Namun debat berakhir manis. Terlepas dari upaya pencitraan petahana yang ingin menghadirkan dirinya sebagai sosok yang teduh, sikap dan statement penutup kedua capres telah mencairkan suasana. Menurunkan tensi panas antarpendukung.
Yang pasti, rakyat sudah mendapat gambaran terang-benderang, siapa benteng NKRI yang sesungguhnya.
Siapa yang punya wawasan matang dan mumpuni tentang negara dan kebangsaan.
Siapa yang selalu berpikir tentang nasib rakyat dan masa depan anak bangsa.
Prabowo Subianto telah menghadirkan dirinya yang sejati dalam debat, sesuai yang ingin disaksikan rakyat. Pribadi yang tak bermain-main dalam membela kedaulatan dan nasib rakyat.
Seolah-olah saya melihat, kepada Prabowo telunjuk sejarah sudah mengarah. (*)