Oleh Oleh : Andang Burhanuddin*
Capres Prabowo Subianto membuka sebuah fakta yang selama ini coba ditutup-tutupi di dunia intelijen. Dia meminta publik untuk tidak segera menyimpulkan suatu kejadian.
Contohnya adalah peristiwa teror. Bisa jadi peristiwa itu adalah sebuah teror yang direncanakan untuk mendeskreditkan kelompok lain.
"Saya belajar ilmu militer, ilmu perang, di situ ada ilmu macem-macem, intel, ilmu sandi yudha, jadi kadang-kadang karena saya mengerti paham pelaku, jadi saya mengerti kalau ada kejadian jangan serta merta percaya pada kejadian itu," kata Prabowo di depan para pendukungnya yang menamakan diri Aliansi Pencerah Indonesia (API) dan Eksponen Muhammadiyah di Jakarta Minggu (3/3).
Prabowo melanjutkan. ”Jadi umpamanya, ada aksi teror, ledakan, ledakan bom. Langsung sudah dicap yang melalukan adalah umat Islam. Padahal belum tentu, bisa umat Islam, bisa juga bukan umat Islam," ujarnya.
Target kelompok ini menurut Prabowo untuk memecah belah kesatuan. Contohnya adalah soal bom. Strategi itu digunakan untuk mengadu domba.
Kadang di suatu negara ada Islam Sunni, Islam Syiah. Muncullah pihak ketiga yang mengebom masjid Suni dan Syiah. Setelah itu mereka didorng untuk saling menyerang. "Itu klasik, namanya pelajaran itu adalah divide et impera, divide and rule, pecah belah untuk berkuasa,” tambahnya.
Pernyataan Prabowo ini mengingatkan kita kepada Julian Paul Assenge, aktivis asal Australia yang sangat terkenal di dunia karena membuat situs Wikileaks. Situs ini acap kali membocorkan informasi maupun percakapan rahasia dunia intelijen dari negara adidaya AS dan sekutu-sekutunya.
Lembaga intelijen, kata Assange, sangat menjaga rahasia karena mereka sering melanggar hukum dan melanggar perilaku yang baik. Alias berbuat jahat.
Contoh paling nyata adalah invasi AS dan sekutunya ke Irak pada tahun 2003. Melalui invasi yang disebut sebagai “Operation Iraqi Freedom” alias Operasi Pembebasan Irak, Presiden George W Bush Jr berdalih Irak memiliki senjata pemusnah massal.
Selain itu penguasa Irak Saddam Hussein juga disebut sebagai pendukung aksi teror meruntuhkan menara kembar World Trade Center, New York yang terjadi pada 11 September 2001.
Sejumlah investigasi yang dilakukan, termasuk oleh lembaga resmi negara National Intelligence Estimate (NIE), membuktikan tudingan Saddam memiliki senjata pemusnah massal, tidak terbukti. Tudingan itu bohong besar, alias HOAX!
Dalam laporan yang dirilis Washington Post, NIE yang dibentuk atas permintaan kubu Demokrat menyatakan tiga tuduhan utama pemerintahan Bush kepada Saddam, yakni kepemilikan senjata nuklir, senjata biologis, dan senjata kimia, tidak terbukti.
Namun apa lacur, korban sudah berjatuhan akibat tuduhan palsu itu. Hampir setengah juta orang tewas, termasuk Presiden Saddam Hussein yang tewas digantung.
BBC mengutip data dari tim peneliti dari Amerika Serikat, Kanada, dan Irak memperhitungkan jumlah korban jiwa dalam periode itu mencapai 461.000 orang. Perhitungan didasarkan survei secara acak atas 2.000 rumah tangga di 18 provinsi pada periode Mei hingga Juli 2011.
Jumlah korban tersebut lebih besar bila ditambahkan dengan konflik sektarian antara Syiah dan Sunni menyusul tumbangnya Saddam. PBB memperikirakan jumlahnya mencapai 5.000 orang.
Penelitian yang dilakukan Universitas Washington, Universitas Johns Hopkins, Universitas Simon Frase dan Universitas Mustansiriya tersebut mencakup kematian antara Maret 2003 hingga Juni 2011, atau enam bulan sebelum penarikan mundur pasukan AS menyebutkan jumlah korban sangat besar.
Mereka memperkirakan jumlahnya mencapai 56.000 orang. Belum termasuk mereka yang meninggal karena melarikan diri dan berimigrasi ke negara-negara lain.
Jumlah tentara AS yang Tewas juga tak kalah besarnya. The Department of Veterans Affairs, pada Mei 2007, melaporkan dalam Gulf War Veterans Information System jumlah Kematian Militer AS dalam Perang Teluk: 73.846 orang. Tewas dalam tugas: 17. 847 orang. Tewas dalam non-tugas: 55.999 orang.
Tak berlebihan Prabowo menyebut perilaku intelijen berkumpul otak-otak yang jahat dan kejam. Akibat informasi palsu, politik pecah belah, ratusan ribu, sampai jutaan orang tewas.
Kuat dugaan Prabowo perlu menyampaikan hal ini, karena para pendukung kubu lawannya selalu mendengung-dengungkan isu bahaya kelompok radikal yang mendukungnya.
Prabowo dituduh didukung oleh PKS, FPI, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan juga kelompok-kelompok teroris Islamic State of Iraqi and Syria (ISIS).
Isu ini sengaja digunakan oleh pendukung paslon 01 untuk menakut-nakuti kelompok non muslim, dan Islam sekuler agar tidak mendukung Prabowo. Mereka menerapkan praktik pecah belah, agar tetap terus berkuasa.
Apa yang disampaikan Prabowo di komunitas Muhammadiyah ini juga sangat relevan, karena lembaga ini pernah berurusan dengan tuduhan teror.
Pada tanggal 11 Maret 2016 Siyono seorang guru ngaji asal Klaten tewas di tangan Densus 88 Polri. Dia dituduh terlibat aksi terorisme. Kasus ini banyak menyedot perhatian dan PP Muhammadiyah turun tangan karena keluarganya meminta bantuan hukum. Banyak kejanggalan dan kesalahan prosedur yang dilakukan pasukan Densus 88.
Apa yang disampaikan Prabowo membuat kita jadi teringat pada dua ledakan “bom” saat berlangsung debat kedua antar-capres 17 Februari. Salah satu bom meledak dekat jalan yang dilewati iring-iringan Jokowi.
Apakah itu juga bagian dari operasi intelijen? Apakah itu bagian dari pekerjaan “Otak-otak yang jahat dan kejam” yang disebut Prabowo?
Wallohu Alam…
*) Pemerhati Kebijakan Publik