GELORA.CO - Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menyebut ketahanan sosial Indonesia tengah terancam. Pemerintah diharapkan bisa cepat bertindak mencegah perpecahan di tengah masyarakat. Karena Indonesia negara Bhineka Tunggal Ika yang tak membedakan satu sama lain.
"Ketahanan sosial menjadi terancam oleh musuh bersama kita, yakni kesenjangan sosial, ketimpangan ekonomi, dan ini yang belum diberikan solusi secara tentu atau utuh. Begitu juga indeks kebahagiaan masyarakat belum signifikan, kalau pemerintah bisa mengelola indeks kebahagiaan masyarakat, tentunya tidak akan muncul ancaman terhadap ketahanan sosial," ungkap Zuhro di sela simposium nasional Ketahanan sosial dan demokrasi di Universitas Brawijaya, Sabtu (23/3/2019).
Dikatakan Zuhro, sudah waktunya melakukan evaluasi tentang kondisi bangsa menginjak usianya ke-74 tahun pada 17 Agustus 2019 mendatang. Bagaimana nasib Indonesia 2045 nanti, ketika berusia 100 tahun. Karena tidak bisa menutup mata adanya gejala keterbelahan di masyarakat, dan harmoni sosial yang terancam.
21 tahun pasca reformasi Indonesia secara bertubi-tubi menggelar pemilu, dari Pilkada serentak 2015, 2017 yang meninggalkan kontroversi di salah satu daerah (DKI Jakarta), dan ada lagi pilkada serentak untuk 171 daerah.
"Dan pilkada yang digelar, selalu menyisakan sengketa, hanya pada 2018 nyaris konflik tak terjadi. Sekarang pertanyaan, pemilu itu untuk siapa dan untuk apa? Katanya demokrasi langsung itu untuk rakyat, tapi itu hanya prosedur dan tahapannya saja, secara subtansi kita tidak dapatkan," beber Zuhro.
Munculnya tagar 2019 ganti presiden, lanjut dia, menjadi pertanyaan mendasar saat ini. Apakah ini sebuah refleksi atas ketidakpuasan dan kekecewaan atas kinerja pemerintah. Warisan Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2017 seperti belum tuntas, rasa kecewa, tidak puas seakan belum mendapatkan solusi dari pemerintah.
"Makanya banyak lembaga survei mencatat, tingkat kepuasan di masyarakat sangat tinggi atas kinerja Pak Jokowi, tetapi elektabilitasnya rendah. Ini tidak masuk akal, semestinya kepuasaan diikuti juga elektabilitas seseorang," tegasnya.
Menurut dia, hanya Indonesia yang berani melakukan lompatan-lompatan dalam mendesain pemilu. Dari demokrasi perwakilan menjadi demokrasi partisipan dari rakyat oleh rakyat. "Mungkin tidak ada di negara lain, seperti Indonesia sekarang ini, yang berani melakukan lompatan-lompatan dalam mendesain pemilu," tuturnya.
Sementara pengamat politik Universitas Brawijaya Wawan Sobari melihat, kondisi sosial ekonomi Indonesia tercerai berai dikala demokrasi liberal dijalankan. Berbeda dengan negara-negara maju di Eropa maupun Amerika Serikat, dimana indeks pembangunan manusianya cukup tinggi, tetapi demokrasinya berjalan dengan baik.
"Coba lihat mereka negara-negara di Eropa dan Amerika sendiri, indeks pembangunan manusianya 1 sampai 10, tapi kita demokrasi sangat liberal, sosial ekonominya tercecer jauh. Kita 140-an untuk indeks pembangunan manusianya, tingkat pendidikan masih rendah, angka harapan hidup juga rendah, serta daya beli juga begitu," ungkap Wawan terpisah.
"Kondisi itulah menyebabkan untuk mengambil jalan pintas, pemilih dibeli, praktek vote buying. Karena kita tidak sejahtera secara sosial ekonomi," sambung Wawan. [dtk]